Rabu, 17 Februari 2021

Paradoks Di Taman Bacaan, Bilang Iya Berarti Tidak

Hidup itu paradoks. Dan paradoks itu ada pada hidup manusia.

Ingin baik tapi kerjaannya jahat. Ingin sejahtera namun sehari-harinya bermalas-malasan. Hidunya sudah kaya raya tapi masih korupsi. Kerjanya sebagai polis tapi justru ditangkap karena mengkonsumsi narkoba.Persis seperti Indonesia. Katanya negara kaya, berlimpah kekayaan alamnya. Tapi masih banyak rakyatnya yang hdiup miskin. Itu semua contoh paradoks. Sesuatu yang bertentangan, berlawanan dengan yang seharusnya.

 

Dunia literasi pun sebuah paradoks. Berapa banyak orang yang menyebut “membaca itu aktivitas penting" tapi nyatanya hanya sedikit orang yang mau membaca sebagai kebiasaan”. Berapa banyak orang ingin peduli sosial. Tapi faktanya tidak diikuti Tindakan peduli sedikitpun. Banyak yang diomong namun sedikit yang diperbuat. Maka wajar "kenyataan" kian jauh dari "harapan".


Paradoks. Hari ini katanya cinta Indonesia. Tapi di saat yang sama, kerjanya mencemooh bangsa Indonesia. Bilang “iya” tapi berarti “tidak”. Manusia pradoks. Persis seperti orang galau di media sosial. Update status yang tidak dilakukannya, tidak dirasakannya. Apa yang tidak perlu dikatakan, malah dikatakan. Apa yang mau dikatakan, justru dikatakan.


Hidup memang paradoks.
Apa yang dilakukan tidak berbanding lurus dengan hasilnya. Ada yang lurus ilmunya, lemah kelakuannya. Ada yang melotot matanya, malas membacanya. Ada yang kuat ekonominya, bengkok logikanya. Ada yang kaya materinya, tapi miskin jiwanya. Paradoks selalu saja ada pada manusia. Sehebat apapun dia.


Manusia itu bisa kuat di satu sisi. Tapi lemah di sisi lain.
Selagi masih manusia, pasti tidak mungkin selalu benar. Pasti ada salahnya. Ada saat benar, ada saat salah. Sebab itu, manusia berbeda dan beragam, beraneka gaya. Agar ada ruang untuk saling melengkapi. Agar bisa kerjasama, bisa interaksi satu sama lainnya.


Bila ajaran lurus dan rajin ibadah identik dengan banyaknya harta dan hidup kaya. Maka koruptor-koruptor itu pasti dianggap pemilik ajaran lurus dan rajin ibadah. Jika orang yang mengajar itu identik dengan kebenaran. Maka para pengajar itu pasti masuk surga. Bukan begitu cara berpikirnya.


Lurus itu bukan manusianya. Tapi Allah anugerahkan akhlak yang baik kepadanya. Lurus itu bukan manusianya. Tapi Allah anugerahkan iman yang benar kepadanya. Lurus itu bukan manusianya. Tapi Allah anugerahkan ilmu yang bermanfaat kepadanya.
Agar menjadi hikmah, bukan melulu paradoks.



Manusia itu penuh paradoks. Maka manusia tidak mungkin maha benar, tidak mungkin maha suci apalagi maha hebat. Tidak mungkin. Karena manusia hanya bisa ikhtiar untuk benar, ikhtiar untuk suci, dan ikhtiar untuk hebat. Semua tergantung ikhtiar-nya lalu diakhiri dengan doa. Bahkan untuk menuju Allah pun, manusia hanya bisa ikhtiar sekuat-kuatnya. Karena manusia adalah paradoks.


Paradoks
dalam hidup manusia. Siapa pun, bila tidak mampu memuji maka tidak perlu mengejek. Bia tidak mampu meninggikan maka jangan merendahkan. Bila tidka mampu melakukannya maka tidak usah banyak bicara. Alias jangan mencari-cari yang jelek-jelek dari apa-apa yang baik. Agar tidak jadi paradoks.


Ketahuilah sahabat. Paradoks ada di dekat kita.

Karena gunung punya ketinggiannya sendiri. Tapi air pun punya kedalamannya sendiri. Jadi, ada hal yang tidak perlu dipertentangkan. Bahkan hidup siapa pun tidak perlu dibanding-bandingkan. Jadilah diri sendiri dan apa adanya. Sambil mengecilkan paradoks dalam hidup.


Paradoks itu bukan cacat, bukan pula dilema. Tapi paradoks adalah rahmat Allah yang membuat manusia selalu eling. Bahkan paradoks bisa jadi kekuatan bila mau dan mampu menempatkannya dengan keren. Jadi rileks saja. Bila di satu sisi “dilemahkan” maka di sisi lain pasti akan dikuatkan”. Itu semua hukum paradoks, tentu sesuai dengan hukum-Nya. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #Tamanbacaan #KampanyeLiterasi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar