Hidup itu paradoks. Dan paradoks itu ada pada hidup manusia.
Ingin
baik tapi kerjaannya jahat. Ingin sejahtera namun sehari-harinya bermalas-malasan.
Hidunya sudah kaya raya tapi masih korupsi. Kerjanya sebagai polis tapi justru
ditangkap karena mengkonsumsi narkoba.Persis seperti Indonesia. Katanya negara kaya,
berlimpah kekayaan alamnya. Tapi masih banyak rakyatnya yang hdiup miskin. Itu
semua contoh paradoks. Sesuatu yang bertentangan, berlawanan dengan yang
seharusnya.
Dunia
literasi pun sebuah paradoks. Berapa banyak orang yang menyebut “membaca
itu aktivitas penting" tapi nyatanya hanya sedikit orang yang “mau membaca sebagai kebiasaan”. Berapa banyak orang ingin peduli sosial. Tapi
faktanya tidak diikuti Tindakan peduli sedikitpun. Banyak yang diomong namun
sedikit yang diperbuat. Maka wajar "kenyataan"
kian jauh dari "harapan".
Paradoks. Hari ini katanya cinta Indonesia. Tapi di saat yang sama,
kerjanya mencemooh bangsa Indonesia. Bilang “iya” tapi berarti “tidak”. Manusia
pradoks. Persis seperti orang galau di media sosial. Update status yang tidak dilakukannya,
tidak dirasakannya. Apa yang tidak perlu
dikatakan, malah dikatakan. Apa yang mau dikatakan, justru dikatakan.
Hidup
memang paradoks. Apa yang dilakukan tidak berbanding lurus dengan
hasilnya. Ada yang lurus ilmunya, lemah kelakuannya. Ada yang melotot matanya,
malas membacanya. Ada yang kuat ekonominya, bengkok logikanya. Ada yang kaya
materinya, tapi miskin jiwanya. Paradoks
selalu saja ada pada manusia. Sehebat apapun dia.
Manusia itu
bisa kuat di satu sisi. Tapi lemah di sisi lain. Selagi masih
manusia, pasti tidak mungkin selalu
benar. Pasti ada salahnya. Ada saat benar, ada saat salah. Sebab itu, manusia berbeda dan beragam, beraneka gaya. Agar ada ruang untuk
saling melengkapi. Agar bisa kerjasama, bisa
interaksi satu sama lainnya.
Bila ajaran lurus dan rajin ibadah identik dengan banyaknya harta dan hidup
kaya. Maka koruptor-koruptor itu pasti dianggap pemilik ajaran lurus dan rajin
ibadah. Jika orang yang mengajar itu identik dengan kebenaran. Maka para pengajar itu pasti masuk surga. Bukan begitu
cara berpikirnya.
Lurus itu
bukan manusianya. Tapi Allah anugerahkan akhlak yang baik kepadanya. Lurus itu
bukan manusianya. Tapi Allah anugerahkan iman yang benar kepadanya. Lurus itu
bukan manusianya. Tapi Allah anugerahkan ilmu yang bermanfaat kepadanya. Agar
menjadi hikmah, bukan melulu paradoks.
Manusia itu penuh paradoks. Maka manusia tidak mungkin maha benar, tidak mungkin maha suci apalagi maha hebat. Tidak mungkin. Karena manusia hanya bisa ikhtiar untuk benar, ikhtiar untuk suci, dan ikhtiar untuk hebat. Semua tergantung ikhtiar-nya lalu diakhiri dengan doa. Bahkan untuk menuju Allah pun, manusia hanya bisa ikhtiar sekuat-kuatnya. Karena manusia adalah paradoks.
Paradoks dalam hidup
manusia. Siapa pun, bila
tidak mampu memuji maka tidak perlu mengejek. Bia tidak mampu meninggikan maka
jangan merendahkan. Bila tidka
mampu melakukannya maka tidak usah banyak bicara. Alias jangan mencari-cari yang jelek-jelek dari apa-apa yang baik. Agar tidak jadi
paradoks.
Ketahuilah sahabat. Paradoks ada di dekat kita.
Karena gunung punya ketinggiannya sendiri. Tapi air pun punya
kedalamannya sendiri. Jadi, ada hal yang tidak perlu dipertentangkan. Bahkan hidup siapa pun tidak perlu dibanding-bandingkan. Jadilah diri sendiri dan apa adanya.
Sambil mengecilkan paradoks dalam hidup.
Paradoks itu bukan cacat, bukan pula dilema. Tapi paradoks adalah rahmat Allah yang membuat manusia
selalu eling. Bahkan paradoks bisa jadi kekuatan bila mau dan mampu menempatkannya dengan keren. Jadi
rileks saja. Bila di satu sisi “dilemahkan” maka di
sisi lain pasti akan “dikuatkan”. Itu semua hukum
paradoks, tentu sesuai dengan hukum-Nya. Salam
literasi #TBMLenteraPustaka #Tamanbacaan #KampanyeLiterasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar