Saat pandemi Covid-19, PSBB ketat diterapkan. Semuanya di suruh dari rumah saja. Kuliah dari rumah, kerja dari rumah, belajar pun di rumah. Ditambah wajib pakai masker, cuci tangan dan jauhi kerumunan. Banyak orang sudah bosan, lalu stress. Semua dbatasi akibat Covid-19.
Hari ini, bisa jadi banyak orang sulit menerima
kenyataan. Gagal berteman dengan realitas. Tidak bisa Terima segala hal yang
tidak sesuai dengan harapannya. Lalu stress dan mengeluh sehari-hari. Obsesinya
terlalu tinggi, daya tolaknya pun kuat. Itulah yang disebut “ogah nrimo”, gagal
menerima keadaan.
Menerima alias nrimo itu sikap dan perilaku yang kian
langka. Apalagi bila dicampur-aduk dengan logika dan emosi, makin sulit manusia
menerima. Bahwa ada orang benci sulit meneima. Ada kawan sukses sulit diterima.
Ada orang yang tidak suka gagal diterima. Bahkan Covid-19 sudah mau ulang tahun
ke-1 pun gundah gulana. Bukankah semua yang terjadi pada kita sudah ada dalam skenario-Nya?
Maka mulailah menerima atau nrimo keadaan. Apapun
kondisinya.
Sikap "nrimo" berarti ikhlas “menerima”
realitas atau kenyataan. Karena harapan kadang berbeda dengan kenyataan. Karena
tidak semua yang kita pikir baik, itu baik juga buat orang lain. Karena nrimo
menjadikan kita lebih sehat, leih legowo menerima realitas.
Keadaan seperti apapun, sungguh tergantung pada
niatnya. Ada yang niatnya baik, ada yag niatnya buruk. Semua tergantung pada
niatnya masing-masing. Toh pada akhirnya, si manusia itu pula yag akan tanggung
akibatnya. Karena tidak ada perbuatan sekecil apapun yang tidak ada akibatnya.
Positif atau negatif, pasti sesuatu dengan niatnya. Maka terimalah.
Bila ada yang belum bisa menerima. Atau tidak
"nrimo" realitas. Bisa jadi, mereka sedang hidup dalam harapan. Hidup
dalam mimpun hingga sulit menerima kenyataan. Karena nrimo hanya dimiliki mereka
yang berjiwa besar. Itulah bukti, bahwa sikap menerima itu istimewa. Karena tidak
semua orang bisa "nrimo".
Menerima alias nrimo. Artinya, bila tidak
sama maka jangan dilarang beda. Karena setiap kepala itu berbeda. Apa yang kita
miliki hari ini sudah pantas untuk kita. Apa yang dicapai orang lain pun sudah
pantas untuk mereka, Maka tidak usah berjuang untuk sama. Tapi berjuanglah
untuk menerima keadaan.
Jadi, lebih baik menerima realitas daripada
memperkuat daya tolak. Agar energi tidak habis untuk hal-hal yang negatif,
apalagi memupuk kebencian yang tidak pernah berakhir.
Zaman now, kadang aneh. Sekolah makin tinggi tapi
makin tidak bisa nrimo. Status sosial makin tinggi tapi makin gebyah uyah sulit
menerima. Beda pendapat tidak boleh, beda sudut pandang dimusuhi. Makin banyak orang-orang
yang sulit nrimo.
Ada istilah “nrimo ing pandum”, artinya menerima
dengan legowo.
Artinya, berserah diri terhadap apa yang dianugerahkan
Allah. Soal apapun, untuk apapun.
Seperti cerita tetangga saya. Ia baru saja kehilangan
kedua anaknya. Anak pertamanya, meninggal dunia akibat sakit 2 tahun lalu. Selang
setahun kemudian. Anak keduanya pun dipanggil Illahi karena tertabrak di jalan
saat sedang bermain. Sedih banget. Hebatnya, tetangga saya tetap tegar dan
mampu menutupi rasa dukanya. Seolah tidak terjadi apa-apa. Nrimo sekali. Lapang
dada dan menerima kenyataan. Tanpa perlu menyalahkan yang menabrak, apalagi
menyalahkan Tuhan. Saat saya ucapkan ikut berduka cita, lalu ia menjawab,
“Terima kasih Pak. Anak saya cuma titipan Allah. Kalau diambil sama yang nitip,
ya tidak apa-apa. Saya nrimo”.
Menerima atau nrimo itu bukan pasrah.
Tapi ada usaha dan ikhtiar keras lalu
tetap berdoa. Selebihnya biarkan Allah yang menentukan hasilnya. Karena semua
yang terjadi pasti atas kehendak-Nya.
Nrimo atau menerima. Agar mampu bersahabat dengan
realitas. Dan selalu berpihak paa perbuatan baik. Lalu, ubah niat baik jadi
aksi nyata. Karena baik itu harus dieksekusi, bukan jadi bahan diskusi. Jadilah
diri sendiri, tidak perlu jadi orang lain. Karena anugerah itu ada di diri
sendiri, bukan di orang lain.
Agar kita tidak lupa. Bahwa dari sekian
banyak pikiran dan rencana hebat manusia. Pada akhirnya, pilihan terbaik adalah
sikap nrimo, menerima apapun yang ada. Sungguh, tidak ada kata yang lebih indah selain “menerima
keadaan”. Salam literasi #TBMLenteraPustaka
#TamanBacaan #KampanyeLiterasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar