Cukup. Kata yang gampang disebut. Tapi sulit dikerjakan.
Ketika bilang "cukup", berapa banyak orang yang buru-buru
membantahnya. Katanya, manusia tidak akan
pernah ada cukupnya. Karena cukup, hanya dilihat dari material, dari fisiknya. Maka
wajar, banyak manusia lebih senang berbantah-bantahan tentang “cukup”.
Jadi cukup itu seperti apa?
Cukup ya cukup. Tidak
lebih dan tidak kurang. Serba cukup dan selalu bersyukur atas apa yang
dimiliki, atas apa yang dipunya. Cukup tidak tidak berlebihan tidak berkekurangan.
Contohnya, gaji cukup, rezeki cukup, makanan cukup. Bahkan perasaan pun cukup,
pikiran yang cukup. Bolehlah cukup disebut “seimbang”.
Lalu, kenapa ada orang yang merasa tidak cukup?
Mungkin sudah zamannya. Saling berebut menyebut kurang cukup atau tidak
cukup. Tapi tentu tidak ada keadaan tidak cukup yang tanpa sebab. Karena
sejatinya, tidak cukup itu hanya bisa terjadi pada mereka yang lupa bersyukur.
Mereka yang gandrung pada gaya hidup dan nafsu konsumeris. Makin tidak cukup
lagi bila hanya membandingkannya dengan orang lain. Hingga lupa, bahwa apa yang
sudah dimilikinya bukan hanya cukup. Tapi pantas dan sesuai dengan porsi-Nya. Itu
saja, sederhana kan.
Jadi cukup itu harusnya soal hati Nurani, soal pikiran. Sama sekali bukan
material apalagi perasaan. Cukup atau belum cukup itu soal
hati. Siapapun, ketika merasa
"tidak
cukup" maka nikmat sebesar apapun akan kurang. Tapi sebaliknya, saat merasa
"sudah cukup” maka
itulah hak yang pantas untuk disyukuri. Tapi jangan pula merasa “lebih
dari cukup" bila akhirnya jadi jumawa, apalagi angkuh dan takabur.
Maka tidak ada pilihan lain. Katakanlah “sudah cukup”. Apapun, dan dalam keadaan
apapun. Karena cukup
adalah hal yang paling pantas dimiliki saat ini, untuk siapapun. Tanpa perlu
membandingkan, tanpa perlu lebih banyak melihat ke atas.
Jadilah manusia yang cukup. Seperti kata Pak Sindhunata, “Manusia itu harus
rumongso karo ragane - tahu diri dengan raganya. Karena
merasa besar itu salah, merasa kecil itu keliru. Yang baik itu sedhengan
(cukupan). Maka cukup itulah
yang pas di hati. Pas, artinya tidak
kelebeihan dan
tidak kekurangan.
Selain soal hati, cukup pun perilaku. Karena cukup itu
keadaan. Yang hanya bisa
dirasakan dengan hati dan tercermin dalam perbuatan. Bukan semata-mata atas akal
atau ego. Cukup atau
tidak cukup itu
dari hati.
Bila ada hari ini. Orang yang tidak bisa menikmati apa yang ada. Gagal menahan diri. Terlalu sering mengeluh.
Apalagi membandungkan dirinya dengan orang lain. Lalu selalu terperangah ke atas,
sulit menjenguk ke bawah. Itulah orang-orang yang tidak pernah cukup. Hingga
hidupnya diperbudak waktu, diperintah materi.
Maka katakana cukup, cukup dan cukup. Alhamdulillah. Terimalah apa adanya.
Bersyukurlah dengan
keadaan saat ini. Itulah tanda sudah cukup.
Dan ketahuilah, merasa kurang atau lebih itu pada akhirnya akan “membunuh”
kamu sendiri …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar