Pilkada (pemilihan kepada daerah) bukan hanya menyedot perhatian publik. Tapi menyisakan trauma politik di masyarakat. Kompetisi politik yang harusnya demokratis kemudian berubah jadi ajang perseteruan lawan politik. Saling melempar makian, tukar-menukar kebencian. Hingga menyeret publik ke dalam arus permusuhan sosial. Itulah realitas yang pernah terjadi di pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lampau. Tidak terbantahkan, pilkada telah mengubah konstruksi sosial jadi menegangkan, menyeramkan. Hingga pemenang pilkada ditetapkan pun media sosial tetap ramai dan politik identitas malah makin menguat. Apa yang salah dengan pilkada?
Hari ini, 9 Desember 2020, tidak kurang dari 270 daerah di Indonesia menggelar pilkada
serentak. Pemilihan kepada darerah di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Semoga saja, proses demokrasi itu berjalan lancar. Dan siapapun yang terlibat, akhirnya
mampu berjiwa besar untuk menerima hasilnya. Siapapun yang menang, semuanya
dapat bersatu untuk membangun daerahnya bersama-sama.
Tidak bisa dipungkiri, pilkada kadang menyisakan trauma.
Kamu plih siapa? Kamu dukung
siapa? Itulah pertanyaan yang paling menakutkan. Dijawab salah, tidak dijawab
jadi fitnah. Kompetisi antar paslon (pasangan calon) pun berubah jadi
perseteruan antarpendukung, antarsimpatisan. Sontak media sosial memanas.
Saling menghujat, saling mencari kesalahan. Lalu, berujung tidak menerima hasil
perhitungan suara. Rivalitas yang terus berlanjut di masyarakat. Pilkada malah
menebar trauma politik. Sebut saja, akibat politik identitas di Pilkada DKI Jakarta tahun
2017 lalu, hingga saat ini dampaknya masih dirasakan masyarakat luas.
Keterbelahan publik pun masih belum dapat dihilangkan. Sampai sekarang, luka
politik itu belum bisa sembuh.
Gara-gara Pilkada. Berapa
banyak pertemanan yang terputus di tengah jalan. Pilkada yang jadi sebab mem-blokir
teman di medsos, kawan yang keluar dari grup WA. Akibat perbedaan pilihan
politik, kawan pun berubah jadi lawan.
Bagi Sebagian masyarakat, Pilkada bisa jadi momen yang
mengerikan. Saat mereka “dipaksa” untuk mendukung atau membenci paslon tertentu.
Bebas memilih, namun dipaksa mendukung paslon tertentu. Akibat pendukung yang
meng-intimidasi, akibat arogansi simpatisan. Pilkada katanya, tapi realitasnya “dipaksa
untuk berpihak”. Media sosial dijadikan alat untuk menjelekkan lawan politik. Kampanye
yang bertumpu pada kelemahan figur paslon. Bukan visi dan konsep memajukan daerah.
Ditambah politik uang, pilkada jadi semakin paripurna. Bilangnya tidak memaksa,
tapi dipaksa berpihak.
Maka pesan penting di Pilkada serentak kali ini.
Berdemokrasilah dengan elegan dan bijak. Apapun hasilnya, semua sudah selesai
saat pemenang pilkada ditetapkan. Jangan ada intimidasi, jangan ada kebencian,
jangan ada hujatan. Apalagi permusuhan antarpendukung yang akhirnya menghambat
kemajuan daerahnya. Beri kesempatan paslon terpilih untuk berbuat dan berkontribusi
untuk menyejahterakan warganya. Karena di pilkada, bila tidak sama kenapa tidak
boleh beda?
Siapapun yang terpilih. Siapaun harus memilih
untuk bersama daripada berpisah. Memilih untuk bersatu daripada berpecah. Maka
janga karena pilkada, hidup banyak orang malah jadi “lucu”. Karena tidak bisa
menerima realitas, tidak bisa menerima perbedaan … #PilkadaSerentak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar