Aturan pesangon untuk pekerja atau buruh sesungguhnya bukan hal yang
baru. UU Cipta Kerja pun hanya merevisi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalihnya, karena aturan dan besaran pesangon yang lama dianggap memberatkan
pengusaha sehingga investor tidak mau investasi di Indonesia karena tingginya beban biaya perusahaan. Tentu,
alasan yang dapat diterima walau tidak sepenuhnya benar. Karena faktanya, saat
besaran pesangon diatur 32,2 kali upah (UU Ketenagakerjaan) pun implementasinya
hanya 7% perusahaan yang patuh memberikan pesangon sesuai ketentuan yang
berlaku. Itu berarti, banyak perusahaan yang abai terhadap ketentuan atau
regulasi. Atas dasar itulah , pekerja seringkali bereaksi atau demonstrasi soal
pesangon.
Pada naskah sosialisasi UU Cipta Kerja yang beredar
versi Kemenaker dan DPR RI tercantum paling atas kalimat “Pemerintah memastikan bahwa pesangon betul-betul menjadi hak dan dapat
diterima oleh pekerja/buruh”. Itu berarti, pemerintah berkomitmen untuk
memastikan pembayaran pesangon kepada pekerja betul-betul sesuai aturan.
Perusahaan tidak boleh abai terhadap pesangon yang menjadi hal pekerja saat
melakukan PHK. Maka selain penegakan hukum kepada perusahaan yang ketat,
pemerintah seharusnya mewajibkan “pendanaan pesangon” benar-benar dilakukan
perusahaan. Agar saat terjadi PHK, uang pesangon benar-benar tersedia. Karena
nyatanya, selama ini masalah pesangon adalah soal ketersediaan dana. Untuk itu,
PP yang akan disusun semestinya mengatur tentang pendanaan pesangon yang
dilakukan perusahaan. Di mana didanakan dan bagaimana melaporkannya?
Harus dipahami, pesangon adalah kewajiban perusahaan yang
telah mempekerjakan pekerja. Maka saat PHK terjadi atau pensiun, uang pesangon
pekerja harus tersedia dan siap dibayarkan. Terlepas dari besaran pesangon yang akan
diatur dalam PP, perusahaan atau pemberi kerja harus memiliki kesadaran untuk
"mendanakan" uang pesangon. Akan lebih baik bila didanakan secara
terpisah dari sistem keuangan perusahaan, bukan hanya “dibukukan”. Tapi saat
uang pesangon harus dibayarkan, justru dananya tidak tersedia. Oleh karena itu,
lagi-lagi dengan UU Cipta Kerja ini, pemerintah harus fokus pada upaya
implementasi pendanaan dan pembayaran pesangon. Apakah setiap perusahaan atau
pemberi kerja sudah benar-benar mendanakan? Karena bila tidak, pesangon akan
tetap jadi momok bagi pekerja dan selalu jadi masalah yang tidak kunjung
selesai.
Soal pesangon,
masalahnya adalah 1) tidak tersedianya dana pemberi kerja saat harus dibayarkan
kepada pekerja dan 2) kesadaran pemberi kerja yang masih minim untuk mendanakan
pesangon, termasuk program pensiun. Maka solusinya, pendanaan pesangon harus
dilakukan pemberi kerja sesuai amanat UU Cipta Kerja.
Jadi soal pesangon, seharusnya bukan
dilihat dari besar kecilnya. Tapi kemauan pemberi kerja untuk mendanakan sejak
dini. Bila pesangon pekerja, cepat atau lambat harus dibayarkan. Maka
semestinya, pemberi kerja harus berani untuk mendanakannya. Saat pemberi kerja
mengalami profit, masa sisihkan sebagian keuntungan untuk pendanaan pesangon
pekerja. Karena pesangon atau PHK biasanya terjadi justru di saat pemberi kerja
mengalami masalah finansial atau penurunan bisnis. Itulah pentingnya pendanaan
pesangon.
Sudah semestinya, UU Cipta Kerja menjadi
momentum untuk meningkatkan kepatuhan pemberi kerja terhadap kewajiban pesangon
kepada pekerja, saat terjadi pemutusahn hubungan kerja atas sebab apapun apaagi
akibat pandemi Covid-19. Agar UU Cipta Kerja nantinya bukan hanya sekadar
sensasi tapi subtansi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar