Tanggal 8 September selalu diperingati sebagai Hari Aksara Internasional. Tujuannya agar masyarakat internasional sadar akan pentingnya melek aksara, baik terbebas dari belenggu buta huruf maupun siap menuju masyarakat literat.
Wabah Covid-19 telah mengubah segalanya. Kesiapan masyarakat untuk
menerima perubahan dalam tatanan kenormalan baru pun menjadi bagian dari
masyarakat literat. Maka diskursus tentang hari aksara tidak lagi dapat dimaknakan
sebagai memberantas buta huruf atau kegiatan baca tulis, Namun lebih dari itu,
menuju tatanan masyarakat literat. Masyarakat yang memiliki kesadaran belajar
untuk memahami keadaan. Itulah yang disebut literasi.
Maka wajar,
hari aksara internasional sama sekali tidak dapat dipisahkan dari budaya
literasi. Di era revolusi industri 4.0 yang penuh dengan kompetisi dan gempuran
digital, upaya membangun masyarakat literat pun kian sulit dibantah. Masyarakat
yang mampu memilah dan memilih informasi. Agar terhindar dari hoaks, terhindar
dari ujaran kebencian dan fitnah. Bahkan mampu menghindari diri dari keadaan disharmoni
sosial. Atas sebab dan alasan apapun.
Maka di Hari Aksara Internasional kali ini, penting untuk
mengingatkan masyarakat untuk lebih meningkatkan kemampuan literasi pada dirinya
secara terus menerus. Agar perubahan zaman dan peradaban yang begitu cepat
dapat diantisipasi, bukan malah menjadi “korban”. Setidaknya ada 6 (enam)
kemampuan literasi dasar masyarakat yang harus diperkuat di era kenormalan
baru, yaitu: 1) literasi baca tulis, 2) literasi numerasi,
3) literasi sains, 4) literasi finansial, 5) literasi digital,
dan 6) literasi budaya dan kewargaan.
Patut dipahami, hari ini literasi
tidak lagi dimaknakan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Tapi literasi
menyangkut kecakapan individu dan komunitas masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan
atau keterampilan dalam berbagai bidang. Literasi yang berbasis kecakapan dalam
mengolah informasi dan pengetahuan untuk dapat bertahan dalam hidup. Maka mau
tidak mau, masyarakat yang literat pada akhirnya hanya dapat dibangun pada
masyarakat yang masih memiliki kesadaran untuk belajar dan mampu memahami keadaan.
Di saat yang sama, masyarakat literat harus ditopang oleh kompetensi yang
memadai di bidang akademik, informasi, sosial, dan nilai-nilai budaya.
Hari Aksara Internasional atau literacy
day. Poin pentingnya, siapapun harus terlibat dalam mewujudkan masyarakat
yang literat. Masyarakat yang sadar belajar dan sadar informasi. Sekaligus
mampu mengambil peran dalam membebaskan sekitar 3,4 juta orang Indonesia yang saat
ini masih dalam keadaan buta huruf. Agar hari aksara tidak lagi diperingati
secara seremonial. Tapi mampu melakukan aksi nyata dan terjun langsung ke
masyarakat untuk melakukan program pemberdayaan, seperti taman bacaan atau pusat
kegiatan belajar masyarakat. Agar masyarakat dapat memberdayakan potensinya
sendiri, di samping mampu meningkatkan martabatnya sebagai warga masyarakat di
tengah gempuran era digital.
Memang tidak mudah membangun masyarakat
yang literat. Masyarakat yang sadar belajar, sadar untuk memahami keadaan. Karena itu, dibutuhkan upaya bersama untuk mewujudkan
masyarakat yang “melek aksara” secara paripurna. Bukan masyarakat yang hanya
gandrung teknologi digital. Tapi gagal menggunakannya dengan baik dan benar.
Bukan masyarakat yang fokus pada masalah. Tapi gagal mencarikan solusi dari tiap
masalah.
Masyarakat literat, semestinya mampu bergerak
dan berubah ke arah yang lebih baik. Bukan berdiam diri atau saling menyalahkan
keadaan, mengeluh sepanjang waktu. Adalah fakta,
riset Central Connecticut State University 2016
menyebutkan tingkat kemampuan literasi Indonesia berada di peringkat kedua
terbawah dari 61 negara, hanya satu tingkat di atas Bostwana. Begitu pula riset
UNESCO yang mengungkapkan hanya 1 dari 1000 orang di Indonesia yang gemar membaca
buku. Tentu fakta-fakta itu harus disikapi untuk berbuat sesuatu untuk membangun
budaya literasi di masyarakat. Agar bangsa sebesar Indonesia tidak mengalami
krisis literasi.
Bertebarannya
hoaks, ujaran kebencian, fitnah, konten-konten negatif di media sosial menjadi bukti
adanya krisis literasi di Indonesia. Belum lagi soal radikalisme dan intoleransi
pun menjadi ancaman besar yang kini melanda masyarakat Indonesia. Krisis
literasi, sungguh keadaan yang miris dan memprihatinkan bila akhirnya benar-benar
terjadi di negeri ini. Karena krisis bukan
hanya soal kondisi ekonomi yang memburuk atau nilai tukar rupiah yang anjlok. Tapi
krisis literasi akan berdampak pada kehilangan jati diri sebagai individu sekaligus
mengancam persatuan bangsa Indonesia.
Maka di momen Hari Aksara Internasional,
persoalan budaya literasi tidak lagi dapat dipandang sepele. Harus ada aksi
nyata untuk membangun budaya literasi di masyarakat. Sebagai antisipasi terhadap
era revolusi industri dan teknologi digital. Porak-porandanya dunia pendidikan
dan pembelajaran di masa Covid-19 menjadi bukti pentingnya literasi dibangun di
masyarakat, bukan hanya di sekolah atau kampus. Dan cara paling sederhana untuk
membangun masyarakat literat adalah meningkatkan kecakapan personal dan sosial
setiap anggota masyarakat melalui kompetensi 4C, yaitu 1) critical thinking (berpikir
kritis), 2) creativity (kreativitas), 3) collaboration (kolaborasi), dan 4) communication (komunikasi) pada bidang
apapun dan untuk apapun.
Mari wujudkan
masyarakat yang literat, masyarakat yang siap siaga terhadap perubahan yang
terjadi untuk kemaslahatan yang lebih besar. Selamat Hari Aksara Internasional!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar