Taman
Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka berawal dari garasi rumah. Digagas oleh
Syarifudin Yunus, sebagai ikhtiar kecil untuk menghidupkan tradisi baca
anak-anak usia sekolah; yang sebelumnya jauh dari akses bacaan. Dan kini,
sekitar 60-an anak-anak usia sekolah mulai rajin membaca. Sekalipun perjuangan
untuk mengajak anak-anak lainnya belum usai, bahkan tidak akan pernah usai.
Tiap Rabu sore, Jumat sore, dan Minggu pagi, anak-anak dari 3 kampung di Kaki
Gunung Salak pun kini terus membaca buku yang tersedia secara gratis.
Syarifudin
Yunus yang kini tengah menempuh S3-Program Doktor Manajemen Pendidikan di
Pascasarjana Unpak – beasiswa dari Unindra, sadar betul mengelola Taman Bacaan
Masyarakat (TBM) tidaklah mudah. Karena faktanya di Indonesia, banyak taman
bacaan masyarakat yang “mati suri” akibat tiga hal; 1) buku ada pembaca tidak
ada, 2) pembaca ada buku tidak ada, dan 3) komitmen pengelola TBM yang lemah,
tidak fokus mengelola taman bacaan. Maka di benaknya, taman bacaan harus bisa
menjadi arena yang asyik dan menyenangkan anak-anak.
Dari
bekas garasi rumah yang kini berubah menjadi taman bacaan, Syarif pun
menerapkan konsep “TBM Edutainment”, sebuah cara beda dalam mengelola taman bacaan
masyarakat. Taman bacaan bukan hanya menjadi tempat membaca anak-anak atau
masyarakat. Tapi taman bacaan harus bisa menjadi “motor penggerak” aktivitas
sosial dan kemasyarakatan di mana taman bacaan beroperasi. “TBM-edutainment”;
tata kelola taman bacaan masyarakat yang memadukan edukasi dan entertainment.
Konsep
“TBM-edutainment” inilah yang diterapkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera
Pustaka di Kp. Warung Loa Desa Sukaluyu Kec. Tamansari di Kaki Gn. Salak Bogor
yang bertumpu pada membudayakan membaca bersuara, selalu ada “senam — salam –
doa literasi” sebelum jam baca, laboratorium Baca tiap hari Minggu; kegiatan
pemahaman bacaan di alam terbuka, selalu ada event bulanan, dengan mendatngkan
“tamu dari luar” untuk ber-interaksi dan memotivasi anak-anak agar rajin
membaca, ada “jajajan kampung” gratis setiap bulan, tersedia WiFi gratis tiap
Sabtu dan Minggu, anugerah pembaca terbaik diberikan kepada anak yang rajin
membaca dan mengusung motto #BacaBukanMaen; untuk menjaga keseimbangan antara
perilaku membaca dan bermain anak-anak.
“Konsep
TBM-Edutainment saya gagas agar mampu menjadikan taman bacaan sebagai center
dari edukasi dan entertainment untuk anak-anak. Hal ini sebagai penyesuaian
terhadap era digital dan milenial. Maka harus ada cara yang kreatif dan
beda untuk menghidupkan tradisi baca dan budaya literasi anak-anak. Membaca
harus asyik dan menyenangkan” ujar Syarifudin Yunus, alumni peraih UNJ Award
2017 dan salah satu pegiat literasi Indonesia.
Satu
hal yang selalu diperjuangkan Syarifudin Yunus. Bahwa mengelola taman bacaan
butuh kolaborasi dengan rekan-rekan yang peduli atau korporasi yang “concern”
terhadap tradisi baca dan budaya literasi anak. Karena itu, setiap tahun,
TBM Lentera Pustaka selalu mengajak kalangan korporasi untuk menghibahkan dana
CSR ke taman bacaan yang relatif tidak besar. Hanya untuk membeli buku bacaan
baru dan operasional program taman baca. Maka di tahun 2019 ini, TBM Lentera
Pustaka pun menggandeng CSR Korporasi dari Chubb Life, AJ Tugu Mandiri, dan
Perkumpulan DPLK. Tentu, demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi
anak-anak usia sekolah. Agar tidak terlindas oleh pengaruh era digital yang
jelek. Maka, untuk mendirikan taman bacaan di rumah sangat dibutuhkan komitmen
dan kreativitas agar tetap bertahan. Demi tegaknya tradisi baca dan budaya
literasi anak-anak usia sekolah.
Tradisi Baca Anak
Mengubah
perilaku anak-anak yang terbiasa main menjadi “dekat” dengan buku tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan. Bukan hanya tekad kuat, keberanian, dan
komitmen. Tapi jauh lebih dari itu, sungguh butuh kesabaran dan kemampuan
khusus untuk meyakinkan masyarakat dan anak-anak untuk mau membaca secara
rutin. Apalagi anak-anak yang ada di kampung atau pedesaan seperti di Kampung
Warung Loa Desa Sukaluyu Kec. Tamansari Kaki Gunung Salak Bogor. Membangun
tradisi baca dan budaya literasi, sama sekali tidak mudah. Dan tidak pernah
sama dengan tema seminar atau diskusi tentang pentingnya budaya literasi.
Perjuangan
tidak kenal lelah dalam menebar virus membaca, itulah yang dilakukan Syarifudin
Yunus, Pendiri dan Kepala Program Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera
Pustaka. Pria berusia 49 tahun yang berprofesi Dosen Unindra ini, sejak 5
November 2017, telah mengubah anak-anak kampung yang semula polos, pemalu dan
cenderung sulit berinteraksi dengan orang “dari luar”. Berubah menjadi
anak-anak sekolah yang terbiasa membaca 3 kali seminggu, bahkan bisa
“menghabiskan” 5-10 buku per minggu. Sebuah perilaku dan budaya anak-anak yang
tadinya “jauh” dari buku, kini menjadi lebih “dekat” pada buku dalam
kesehariannya.
Tekad
pria yang berprofesi sebagai Dosen Unindra ini sederhana saja. Tradisi baca dan
buku dianggap mampu menekan angka putus sekolah. Karena anak-anak di Desa
Sukaluyu, 81% tingkat pendidikannya hanya SD dan 9% SMP. Itu berarti, angka
putus sekolah sangat tinggi. Mungkin karena persoalan ekonomi.
Maka
berangkat dari tekad menekan angka putus sekolah dan membangun tradisi baca di
kalangan anak-anak usia sekolah, Syarif begitu panggilannya, lalu mengubah
“garasi rumah” menjadi rak-rak buku yang menjadi cikal bakal TBM Lentera
Pustaka.
Dengan
modal seadanya, mulailah disiapkan taman bacaan. Tanpa disangka, bantuan
rekan-rekan yang peduli pun mengalir. Mulai dari donasi buku bacaan, bantuan
dana untuk fasilitas taman bacaan, hingga perlengkapan taman bacaan. Tanggal 5
November 2017 pun TBM Lentera Pustaka diresmikan oleh Camat Tamansari, Prof.
Dr. Sofyan Hanif (Warek 3 UNJ), Khatibul Umam (Anggota DPR), dan Dr. Liliana
Muliastuti (Dekan FPBS UNJ).
Awal
berdiri, hanya 18 anak yang mau bergabung untuk membaca tiap Rabu-Jumat-Minggu.
Buku yang tersedia pun hanya 700 buku bacaan. Dan kini setelah 2 tahun
berjalan, TBM Lentera Pustaka telah memiliki 62 anak pembaca aktif, yang rutin
membaca 3 kali seminggu dengan koleksi buku lebih dari 3.000 buku. Dan kini,
anak-anak yang terancam putus sekolah pun berubah menjadi anak-anak yang giat
membaca buku. Anak-anak yang “haus” buku bacaan baru.
“Saya
berpikir sederhana. Buku dan bacaan diharapkan bisa mengubah mind set akan
pentingnya sekolah dan belajar. Agar angka putus sekolah bisa ditekan. Karena
saya tidak punya uang banyak untuk menyekolahkan mereka. Maka saya memilih
mendirikan taman bacaan. Agar tidak ada lagi anak yang putus sekolah, di
samping membangun tradisi baca anak-anak” ujar Syarifudin Yunus yang kini tekun
sebagai pegiat literasi.
Semua
Pihak Harus Peduli Tradisi Membaca
Maka
ke depan, tradisi baca dan budaya literasi sudah pasti hanya bisa tegak bila
didukung oleh banyak pihak; aparatur, masyarakat, kaum yang peduli atau
relawan, donatur, dan korporasi. Semua pihak harus peduli tradisi baca dan
budaya literasi. Karena kepedulian sosial bukanlah sekadar niat baik tapi harus
diwujudkan dalam aksi nyata, perilaku nyata untuk terjun langsung ke lapangan
secara konsisten.
Di
TBM Lentera Pustaka, dari garasi rumah hingga hidupkan tradisi baca anak-anak
di Kaki Gunung Salak Bogor. Memang belum usai dan akan terus berlangsung. Agar
menjadi “legacy – warisan” bagi umat. Dan kini TBM Lentera Pustaka pun mulai
merambah ke aktivitas sosial yang lebih besar, menyiapkan kreasi dan inovasi
baru sebagai bagian untuk pengembangan taman bacaan. Agar dapat mengundang daya
tarik anak-anak untuk makin rajin dalam membaca.
Beberapa
program TBM Lentera Pustaka yang telah disiapkan antara lain: 1)
Penyelenggaraan “Gerakan BERantas Buta aksaRA (GEBER BURA)” bagi ibu-ibu
dan bapak-bapak yang buta huruf sebagai bagian gerakan pemberantasan buta
huruf, 2) Implementasi “Wisata Literasi lentera Pustaka Gn. Salak”sebagai
wisata edukasi alternatif yang berbasis membaca buku sambil menyusuri sungai
dan kebun di alam terbuka dengan spot-spot foto yang menarik sambil berlatih
cara mudah memahami isi bacaan melalui teknik metaforma, dan 3) Edukasi
Literasi Finansial (EDULIF) sebagai bentuk program edukasi literasi keuangan
anak-anak setiap bulan. Agar anak-anak mampu mengenal dan mengelola uang secara
sederhana, membelanjakan uang berdasarkan “kebutuhan” bukan “keinginan”.
“Taman
bacaan masyarakat adalah momentum semua pihak untuk ikut berbuat menyiapkan
masa depan anak-anak yang lebih baik dari orang tuanya. Maka, semua pihak harus
turun tangan dan terlibat. Agar niat baik segera berubah jadi aksi nyata”
tambah Syarifudin Yunus.
Jangan
bilang kita cinta anak, bila tidak ada aksi nyata. Karena cinta bukan hanya
serpihan ludah yang terpancar dari lisan semata. Tapi cinta itu tentang
pengabdian dan kepedulian yang tertumpahkan tanpa henti sepanjang masa. Agar
anak-anak tetap mau membaca buku.
Maka
siapapun, jangan pernah menyerah mengelola taman bacaan masyarakat. Karena
selalu ada cara yang kreatif dan inovatif untuk menjadikan taman bacaan
masyarakat agar lebih asyik dan menyenangkan. Berbekal spirit itulah, sikap
optimis untuk membangun tradisi baca dan budaya literasi anak-anak akan menjadi
kenyataan… salam literasi #TBMLenteraPustaka #BudayaLiterasi #PegiatLiterasi