Entah
sampai kapan buta aksara masih menyelimuti masyarakat kita?
Sementara
di luar sana, jutaan orang berebut untuk mendapat “bangku”di perguruan tinggi.
Untuk mengejar cita-cita setinggi mungkin. Agar mampu bersaing dan tidak
terlindas laju peradaban zaman yang disesaki teknologi canggih. Tapi kaum buta
huruf, tetap menjadi warga yang tidak terperhatikan. Warga yang tersisih dan
kian terpinggirkan tanpa ada yang peduli.
Memang
saat ini, tren angka buta huruf di Indonesia terus menurun. Tinggal 3,4 juta
warga lagi atau sekitar 2,7% dari jumlah penduduk. Namun bila masih ada warga
yang buta huruf. Itu beraryi, pendidikan tidak sepenuhnya berhasil. Bahkan
program wajib belajar yang digaungkan puluhan tahun pun belum tuntas, belum
menyentuh semua warga apalagi di kampung-kampung yang tidak terjangkau.
Persoalan
buta huruf, tentu bukan soal sepele. Mari kita tarik benang merahnya.
Orang
tua atau masyarakat yang buta aksara, akibat tidak bisa baca tulis atau tidak
berpendidikan, sangat cenderung tidak menyekolahkan anak-anaknya. Itu pertanda
ada potensi putus sekolah di anak-anak mereka. Sehingga menciptakan generasi
buta aksara baru. Apalagi bagi orang tua yang miskin atau kesulitan ekonomi
sementara sekolah di negeri ini belum semuanya gratis. Maka, anak-anak itu
bakal tidak mendapat layanan pendidikan yang layak.
Sebut
saja contohnya di Desa Sukaluyu Kec. Tamansari kab Bogor, sebuah kampung di
Kaki Gunung Salak Bogor. Dengan tingkat mata pencaharian 71% tidak bekerja atau
tidak memiliki –penghasilan tetap maka muncullah 81% warganya hanya
berpendidikan SD dan 9% SMP. Maka dapat disinyalir bahwa di lokasi ini terdapat
kaum buta aksara. Di sinilah saya berkiprah untuk memberantas buta aksara
melalui GErakan BERantas BUta aksaRA (Geber Bura) dan memberi akses bacaan
anak-anak melalui Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka.
Orang-orang
pintar pasti tahu. Masih adanya warga buta aksara dan anak yang putus sekolah
pasti memberi kontribusi terhadap rendahnya HDI (human development index,
indeks pembangunan manusia) Indonesia. Bila buta aksara ada, maka HDI masih
rendah. Bila angka putus sekolah masih tinggi, maka HDI pun hanya mimpi.
Jangankan diajak membangun negeri atau mengambil keputusan, masyarakat yang
buta aksara dan putus sekolah pun terus bergelut dengan kemisikinan dan
kebodohan.
Maka
untuk memberantas buta aksara atau putus sekolah, sungguh bukan hanya butuh
terobosan baru. Tapi justru dibutuhkan intensifikasi dalam bentuk program yang
berkelanjutan. Bukan sekedara proyek atau program sesaat yang direncanakan para
perencana pemerintahan. Karena itu, duduk dan dengarkan masyarakat. Agar
masalah itu datang dari masyarakat bukan dari para perencana atau pembuat
proposal agar dianggap “punya program” pemberdayaan masyarakat di wilayahnya.
Sudah
pasti semua setuju. Buta aksara harus diberantas dan putus sekolah harus
ditekan. Kalimat dan tekad itu sudah sering kita dengan di seminar dan di
diskusi ilmiah. Tapi bila masih ada warga yang buta aksara dan masih ada anak
yang putus sekolah, berarti semua tekad itu gagal dan hanya mimpi. Lalu di mana
letak masalahnya?
Masalahnya,
program berantas buta aksara dan putus sekolah yang ada “belum menjangkau
daerah yang tidak dapat dijangkau”. Artinya, harus ada kesadaran untuk melihat
keadaan masyarakat secara objektif. Belaum dapat dijangkau bukan berarti
lokasinya jauh atau di pedalaman. Tapi mereka adalah masyarakat yang tidak
terperhatikan. Saya menyebutnya kaum buta aksara dan anak putus sekolah
“spasial”; ada di dekat kita tapi tidak terdata buta aksara atau putus sekolah
akibat ketidak-pedulian kita sendiri. Boleh jadi, kita selama ini punya tekad
dan inisiatif keren di atas kertas di otak. Tapi tidak terjun ke lapangan untuk
menemukan realitas yang ada di masyarakat.
Berantas
buta aksara, menekan angka putus sekolah, sungguh hanya terjadi bila mampu
menjangkau daerah yang tak terjangkau bukan secara geografi tapi secara mind
set di kepala. Maka di situ, sangat dibutuhkan kepedulian dan penglihatan
secara objektif. Tentang masyarakat yang buta aksara dan putus sekolah yang ada
di dekat kita tapi tidak terdeteksi secara data pemerintahan.
Berangkat
dari realitas itulah, TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor
memberanikan diri untuk menjalankan GErakan BERantas BUta aksaRA (GEBER BURA)
sebagai bukti kepedulian untuk memberantas masyarakat yang buta aksara. Memang
tidak mudah namun butuh kepedulian dan keberlanjutan. Sekalipun awalnya diikuti
4 ibu-ibu buta aksara dan kini tetap berjalan dengan 8 ibu-ibu yang tiap minggu
belajara buta aksara. Setelah berhasil menjalankan program taman bacaan
masyarakat dengan 60-an anak pembaca akatif dengan kegiatan membaca seminggu
tiga kali dan rata-rata tiap anak mampu membaca 5-8 buku per minggu, kini TBM
Lentera Pustaka bertekad “perang total” untuk memberantas buta huruf.
“Aktivitas
membaca anak-anak di taman bacaan Lentera Pustaka sudah berjalan dengan 60-an
anak pembaca aktif. Kini saya menjalankan program GErakan BERantas BUta aksaRA
(Geber Bura) untuk memberantas kaum buta aksara. Inilah yang saya sebut
“menjangkan daerah yang tidak terjangkau”, daerah yang terperhatikan akan masih
adanya buta aksara dan putus sekolah. Insya Allah, saya jalankan dengan
berkelanjutan” ujar Syarifudin Yunus, Pendiri dan Kepala Program TBM Lentera
Pustaka, seorang pegiat literasi yang menggagas Geber Bura di Kaki Gunung Sala
Bogor.
Maka,
urusan buta aksara dan putus sekolah. Hakikatnya harus dimulai dari kepedulian
dan dilakukan secara berkelanjutan. Apapun tantangan yang dihadapi, ikhtiar
untuk membantu kaum ang tersisih hars tetap tegak di otak kepala kita. Karena
tiak akan mungkin buta aksara atau putus sekolah menjadi 0% bila kita tidak
peduli dan tidak mau terjun ke lapangan. Lebih baik berbuat daripada berdiam
diri.