Sabtu, 16 Agustus 2025

Prinsip Literasi, Jauhi Toxic People

 

Mungkin, ini salah satu prinsip hidup yang patut direnungkan. Bahwa kita nggak bisa memilih siapa yang harus jadi keluarga (anak atau pasangan). Tapi kita sangat bisa memilih siapa lingkungan terdekat kita. Orang-orang yang mau mendukung, dengan penuh Ikhlas dan tulus tanpa pamrih. Dari sekian perjalanan hidup begitulah adanya. Maka, pegang prinsip hidup lalu biarkan orang lain mau bicara dan punya persepsi apapun. Toh, orang lain nggak punya pengaruh dan andil apapuh atas hidup kita. Hanya kita yang berhak, mau apa dan mau gimana ke depannya?

 

Jelas, kita bisa memilih lingkungan terdekat kita. Sebab orang-orang di sekitar itu ibarat cermin. Mereka bisa jadi penyemangat atau jadi penebar virus malas. Mereka bisa jadi pegiat aksi nyata atau hanya pengagum niat baik. Mau bekerja dan bertindak atau hanya sekadar omong, semuanya tergantung siapa orang di dekat kita? Ada yang bisa memotivasi ada pula yang kerjanya "mengerem" yang bikin kita susah maju. Jadi terserah, di mana kita mau bergaul?

 

Nasihat itu pula yang saya sampaikan ke anak bungsu saya, Farah G. Elsyarif yang tahun ini mulai kuliah di Prodi Kesehatan Masyarakat FK Universitas Negeri Semarang (UNNES) kemarin (15/8/2025). Sekaligus merayakan ulang tahunnya yang ke-18 di Semarang sekaligus bersiap mengikuti PKKMB FK Unnes pada Sabtu, 16 Agustus 2025. Sebagai orang yang berjuang sendiri di kota lain, ikhtair kuliah agar kear tepat waktu sangat penting bersikap untuk memilih lingkungan yang baik. Bila tidak, maka kita akan bisa kebawa arus dan kehilangan arah. Tujuan hidup yang digadang-gadang jadi lenyap.

 


Kita nggak bisa memilih siapa yang harus jadi keluarga (anak atau pasangan). Tapi kita sangat bisa memilih dengan siapa lingkungan terdekat kita. Karena itu,cukup diam dan buktikan saja. Biarkan orang lain bermain dengan prasangkanya sendiri. Biarkan mereka kacau dengan pikirannya sendiri. Toh sekali lagi, nggak ada pengaruhnya untuk kita. Karena pada akhirnya, tiap orang akan berjuang di jalannya sendiri dan akan menanggung apa yang ditebarkannya.

 

Kita nggak usah muluk-muluk. Cukup berbuat baik dan tebarkan manfaat di mana pun. Nggak butuh juga validasi orang lain. Upgrade diri diam-diam, selalu belajar dan menambah ilmu. Selebihnya ikhtiar dan berkarya tanpa henti. Tetap focus pada tujuan hidup. Jangan buang waktu untuk hal yang sia-sia, apalagi cuma sibuk di grup WA. Bila fokus, pastinya energi kita nggak terpecah. Dan hasilnya, siapapun bakal bisa lihat dari kejauhan sekalipun.

 

Apapun, tunjukkan lewat karya dan hasil bukan kata-kata. Sebab ngomong itu murah. Tapi hasil itu mahal. Dan kita berhak atas apa yang kita kerjakan. Nggak aka nada yang tertukar di dunia ini. Jalani prosesnya dan nikmati setiap momen yang diraih. Bersamaan dengan itu, jangan lupa bangun circle pertemanan yang lebih sehat. Tinggalkan toxic people. Cari lingkungan yang sehat dan suportif, yang mendorong kita untuk bertumbuh dan lebih kreatif. Ingat, circle yang sehat pasti bikin kita makin bersinar.

 

Sadarilah, kualitas hidup kita ditentukan sama siapa yang kita izinin untuk dekat dengan kita. Pilih orang-orang yang bikin kita berkembang, yang mendukung untuk kebaikan dan kemanfaatan. Di luar itu jauhi dan tinggalkan. Itu namanya bersikap dalam hidup! #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan#CatatanLiterasi

 

Jumat, 15 Agustus 2025

Survei Pensiun di HUT RI: 55 Persen Pekerja Tidak Yakin Sejahtera di Masa Pensiun

Survei terbaru dana pensiun menyebut 55% pekerja biasa di Jabodetabek tidak yakin bisa memenuhi biaya hidup di masa pensiun dan 45% yakin dapat memenuhi biaya hidup. Kondisi ini dapat dinyatakan 1 dari 2 pekerja biasa di Jabodetabek tidak yakin bisa meraih kemandirian finansial di hari tua. Tingkat keyakinan (confidence level) ini bisa menjadi ukuran seberapa yakin pekerja terhadap kondisi masa pensiunnya sendiri, di samping adanya potensi pekerja mengalami kemiskinan di usia tua.

 

Data itu diperoleh dari survei “Tingkat Kesiapan Pensiun Pekerja Biasa di Jabodetabek” yang dilakukan Syarifudin Yunus, edukator dana pensiun LSP Dana Pensiun sekaligus Ketua Dewan Pengawas DPLK Sinarmas Asset Management terhadap 100 pekerja biasa di Jabodetabek pada Agustus 2025 melalui survei dan wawancara. Adapun responden pekerja terdiri dari: 80% pekerja formal seperti guru, pegawai swasta, staf dan 20% pekerja informal seperti wirausaha, driver ojol. Dari rentang usia, respponden terdiri dari: 72% berusia di bawah 30 tahun, 23% berusia antara 30—40 tahun, dan 5% berusia di atas 40 tahun.

 

Menariknya dari survei ini, ketidak-yakinan pekerja untuk memenuhi biaya hidup di hari tua disebabkan oleh a) karena penghasilan sekarang terlalu pas-pasan sehingga sulit untuk menyisihkan untuk tabungan pensiun, b) tidak tahu gambaran kebutuhan berapa biaya hidup yang diperlukan di masa pensiun, dan c) adanya lonjakan biaya hidup dan inflasi harga barang yang menjadi kebutuhannya. Karena itu, pekerja merasa khawatir akan masa pensiun, di samping merasa kenaikan harga barang bisa lebih besar dari kenaikan upah yang diterimanya. Akibatnya, pekerja merasa biaya hidup di masa pensiun dianggap terlalu besar untuk disiapkan. Akhirnya, cara pandang yang dpilih urusan pensiun nanti saja.

 

“Data survei saya, 55% pekerja biasa atau pekerja kebanyakan tidak yakin bisa hidup nyaman di masa pensiun. Tapi 97% dari mereka sadar dan mau menyisihkan iuran untuk pensiun sekitar Rp. 100 ribu s.d. Rp. 500 ribu. Banyak pekerja tidak paham tentang dana pensiun. Inilah tantangan utama dana pensiun khususnya DPLK di Indonesia sebagai kado HUT ke-80 RI” ujar Syarifudin Yunus dalam rilisnya di Jakarta (16/8/2025).

 


Atas temuan kondisi pekerja di hari tua, Syarifudin Yunus merekomendasikan beberapa langkah untuk menbuat pekerja menjadi yakin dalam mempersiapkan masa pensiunnya sendiri, di antaranya: 1) harus berani evaluasi kondisi keuangan saat ini dengan memproyeksi, “kalau saya pensiun di usia X, dengan biaya hidup Y, tabungan saya tahan berapa tahun?”, 2) mulai siapkan rencana pensiun dengan menjadi peserta DPLK (misalnya dengan iuran 1–3% dari gaji tiap bulan), di samping mengurangi utang konsumtif, 3) sesuaikan gaya hidup dengan hidup lebih hemat seperti gaya hidup di masa pensiun yang tidak punya gaji lagi, 4) tingkatan literasi dana pensiun berbandung lurus dengan literasi daya hidup, dan 5) mulai ikut menjadi peserta DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) untuk kesinambungan penghasilandi hari tua. Intinya bila merasa tidak yakin, pekerja jangan diam tapi mulai membuat penyesuaian dengan menabung untuk masa pensiun.

 

Nah, salah satu cara yang bisa dilakukan pekerja adalah mengikuti program pensiun iuran pasti (PPIP) di DPLK. Dengan iuran semampunya setiap bulan maka pada saat pensiun akan memperoleh “uang pensiu” hasil dari akumulasi iuran dan hasil pengembangannya selama menjadi peserta DPLK. Sebab manfaat pensiun di DPLK sangat bergantung pada a) lamanya menjadi peserta, b) besarnya iuran yang ditabung, dan c) hasil investasi yang diperoleh.  Sedangkan manfaat utama pekerja menjadi peserta DPLK adalah 1) adanya kepastian dana untuk hari tua, 2) adanya hasil investasi yang optimal selama jadi peserta, 3) ada keringanan pajak pada saat manfaat pensiun dibayarkan, 4) terbebas dari beban psikologis – ketakutan akan masa pensiun dan 5) lebih siap untuk memasuki masa pensiun.

 

Harus diakui, manfaat dana pensiun memang tidak terlihat dalam waktu singkat. Karena dana pensiun memang didedikasikan sebagai produk keuangan yang menjadi solusi hari tua, untuk mencapai kemandirian finansial di masa pensuiun. Namun dana pensiun pasti memberi keamanan dan kenyamanan pekerja di hari tua. Maka untuk membantu pekerja menyiapkan masa pensiun diperlukan dua hal yaitu 1) edukasi yang masif dan 2) akses digital untuk membeli DPLK.  Karena hari ini sosialisasi dan promosi tentang pentingnya dana pensiun tergolong minim. Salam #YukSiapkanPensiun #EdukasiDanaPensiun #DPLKSAM


Kenapa Pekerja di Indonesia Tidak Punya Dana Pensiun Sukarela?

Saat ini dari 150 juta pekerja di Indonesia, hanya 3,3% pekerja yang memiliki dana pensiun sukarela (DPPK atau DPLK). Berarti, ada 96,7% pekerja di Indonesia tidak punya dana pensiun sukarela. Karenanya, ada potensi pekerja di Indonesia akan mengalami kemiskinan di hari tua, saat tidak bekerja lagi. Oleh karena itu, edukasi akan pentingnya dana pensiun sebagai program untuk menjaga kesinambungan penghasilan hari tua harus terus disuarakan. Survei ADB tahun 2024 menyebutkan,, 1 dari 2 pensiunan di Indonesia mengandalkan transferan biaya hidup setiap bulan dari anak-anaknya.

 

Kenapa pekerja di Indonesia tidak punya dana pensiun sukarela? Ada banyak persepsi dan jawaban yang bisa disajikan. Tapi faktor penyebab yang paling utama adalah persepsi individual, kondisi perusahaan, dan sistem pensiun nasional. Beberapa sebab pekerja tidak punya dana pensiun sukarela antara lain:

1.  Mayoritas pekerja Indonesia berada di sektor informal. Sekitar 60% tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal (pedagang, petani, ojek, UMKM tanpa struktur yang formal). Karena itu, peerja informal sangat membutuhkan edukasi dan kemudahan akses untuk memiliki dana pensiun sukarela. Tanpa adanya kewajiban program pensiun, maka pekerja informal cenderung tidak menabung untuk masa tua.

2. Kesadaran dan Lliterasi dana pensiun masih rendah. Banyak pekerja belum memikirkan masa pensiun karena fokus pada kebutuhan harian. Persepsi umum adalah pensiun itu urusan “nanti” atau mengandalkan anak. Tingkat literasi dana pensiun saat ini hanya 27%, artinya tidak lebih dari 3 dari 10 orang yang tahu dana pensiun. Tahu saja belum, apalagi memiliki.

3. Pendapatan rendah dan tidak stabil. Banyak pekerja berpenghasilan pas-pasan merasa tidak mampu menyisihkan untuk iuran pensiun. Apalagi bagi pekerja harian atau kontrak, prioritas utama adalah kebutuhan mendesak (makan, kontrakan, atau sekolah anak).

4. Tidak ada insentif yang menarik. Dana pensiun sukarela (seperti DPLK) belum didukung insentif pajak yang menarik untuk pekerja individu. Hanya pekerja yang diikutsertakan perusahaan yang bisa diakomodasi. Tidak ada aturan nasional yang memaksa seluruh pekerja ikut skema pensiun, berbeda dengan beberapa negara yang menerapkan “mandatory retirement saving”.

5. Budaya mengandalkan anak atau keluarga di hari tua. Sebagian masyarakat masih percaya konsep “nanti anak yang menanggung orang tua”. Pandangan ini masih kuat tertanam di masyarakat pada umumnya.

6. Kurangnya saluran dan produk dana pensiun yang fleksibel. Produk dana pensiun yang ada sekarang dianggap terlalu “administrative”, kurang fleksibel. Bahkan dianggap “kolot”, kurang ada inovasi sesuai jenis angkatan kerja yang semakin variatif, di samping saluran untuk membeli dana pensiun masih terbata.

7. Kurangnya edukasi dan tidak adanya akses digitaldana pensiun. Banyak pekerja tidak tahu dana peniun sukarela (DPLK). Bahkan bagi yangtahu pun kesulitan untuk bisa membeli DPLK akibat tidak tersedianya akses digital untuk dana pensiun.

 


Untuk itu, pengelola dana pensiun sukarela (utamanya DPLK) harus lebih kreatif dalam menyediakan produk DPLK seusai segmen market pekerja. Dan yang paling penting, selalu melakukan edukasi secara masif dan menyediakan akses digital untuk membeli DPLK. Tentu, untuk meningkatkan kepesertaan baru dana pensiun dan memperbesar aset keloaan dana pensiun di Indonesia.

 

Bagaimana menurut Anda? #EdukasiDanaPensiun #DPKSAM #DanaPensiun

 

Rabu, 13 Agustus 2025

Aksi Demo di Pati untuk Bupati

Luar biasa, aksi demo rakyat di Pati untuk menuntut mundur Bupati Sudewo. Aksi yang menjadi simbol perlawanan rakyat kepada pemimpin yang dipilihnya. Hai para pemimpin, jangan pernah bertindak semena-mena untuk rakyat. Anda dipilih oleh rakyat, tugasnya adalah melindungi dan menyejahterakan rakyat. Bukan malah menyengsarakan dan menantang rakyat!

 

Sekalipun berakhir ricuh, aksi demo yang diikuti 85.000 warga Pati menjadi “peringatan” untuk semua pemimpin di Indonesia, khususnya gubernur, bupati dan walikota yang dipilih oleh rakyat. Bahwa kekuasaan yang dipegang harus sebesar-besarnya untuk menyejahterakan rakyat. Semuanya untuk rakyat, bukan untuk dikorupsi apalagi memperkaya diri sendiri.

 

Tonggak perlawanan rakyat, sudah dimullai dari Pati sebagai salah satu Kabupaten tertua di Indonesia. Bukan tindak mungkin, bila kepala daerah lainnya masih bertindak bukan untukrakyat maka aksi demo rakyat di pati akan menular ke daerah lain. Hati-hati, mulailah instrospeksi diri dan berbenah diri. Bahwa kekuasaan dan kepemimpinan yang diraih semata-mata untuk rakyat.

 

Pesan pentingnya, siapapun pemimpin di daerah. Aksi demo rakyat di Pati adalah simbol pentingnya pemimpun hati-hati dalam membuat kebijakan dan berkomunikasi dengan rakyat. Jelas kesalahan Bupatu Sudewo adalah membuat kebijakan menaikkan pajak PBB hingga  250% dan menantang rakyat untuk demo dengan 50.000 massa. Itu kesalahan fatal seoarang pemimpin. Bupati yang arogan, lupa diri, bahkan tidak tahu diri.

 

Aksi di Pati untuk Bupati, sebuah pelajaran penting bila pemimpin tidak mau bersinergi dengan rakyat dan tidak peduli terhadap aspirasi rakyatnya. Ada beberapa pelajaran penting dari aski demo rakyat di Pati, antara lain:

1. Akar masalah di Pati sudah berlapis. Bukan hanya soal kenaikan PBB-P2 sebesar 250%. Meski itu jadi pemicu utama, akumulasi ketidakpuasan rakyat juga berasal dari kebijakan lain seperti sekolah 5vhari, penggabungan sekolah yang mengancam guru honorer, PHK di RSUD tanpa pesangon, renovasi alun-alun yang mahal, dan proyek videotron yang dinilai mubazir. Semua itu dipersepsikan sebagai kebijakan yang jauh dari aspirasi rakyat.

2. Arogansi kepemimpinan Bupati. Pernyataan Bupati yang menantang warga untuk berdemonstrasi "silakan bawa 50.000 orang" justru memicu kemarahan mendalam pada rakyat. Aksi demo yang diikuti  85.000 rakyat adalah jawaban atas tantangan Bupati. Pemimpin yang justru menjadi pemicu terjadinya aksi demo, di samping memperuncing  keadaan.

3. Bentuk kekuatan kolektif perlawanan rakyat. Pada akhirnya, rakyat bersatu dan turun ke lapangan untuk menentang kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Menentang kebijakan pemimpin yang semena-mena dan cara komunikasi yang amburadul.  Aksi demo berkekuatan 85.000–an warga Pati ini bisa jadi salah satu yang terbesar dalam sejarah kabupaten di Indonesia. Simbol bahwa rakyat masih punya kekuatan kolektif untuk melawan pemimpinnya.

4. Pentingnya pemerintahan melakukan dialog publik. Pemerintahaan di mana pun dan kepada aerah harus membiasakan untuk melakukan dialog publik. Janagn bersikap arogan, subjektif apalagi semena-mena kepada rakyat. Anda dipilih oleh rakyat, berarti harus mengabdi kepada rakyat. Pada waktunya, kebijakan yang tidak aspiratif dan pelayanan publik yang tidak responsif pasti dapat menggerus legitimasi seorang pemimpin dan pemerintahannya.

 


Belajar dari aksi demo rakyat di Pati untuk Bupati. Siappun pemimpin daerah harus aspiratif, responsif, dan empatik. Jangan menantang rakyat atau membuat kebijakan yang menyusahkan rakyat. Setiap kebijkan harus bersinergi dengan aspirasi rakyat. Pemimpin perlu melakukan konsultasi sebelum menetapkan keputusan yang berdampak luas. Lakukan komunikasi yang rendah hati dan dialog terbuka untuk menjaga kepercayaan rakyat, bukan malah bernada arogan atau menantang.  Libatkan partisipasi masyarakat aktif untuk mendorong perubahan positif di daerah.

 

Dari aksi demo rakyat di Pati, kini Bupati Sudewo tinggal menunggu “ketok palu” untuk pemakzulan dirinya. Sebuah proses demokratis dan prosedural untuk melengserkan sang pemimpin. DPRD Pati Bersiap untuk hak angket untuk membahas kebijakan kontroversial Bupati Pati dan potensi pemakzulan dirinya. Sebuah ujung demokrasi yang berjalan melalui mekanisme yang benar, bukan hanya kekuatan massa.

 

Jangan menantang rakyat, jangan membuat kebijakan menyusahkan rakyat. Sebab aksi massa yang besar itu terlalu kuat! Salam literasi #TBMLenteraPustaka #AksiDiPati #EdukasiLiterasi

 

Selasa, 12 Agustus 2025

Sebab Sekolah, Akibat Taman Bacaan?

Sekolah itu memang perlu, pendidikan juga penting. Tapi sayangnya, tidak sedikit orangyang begitu selesai sekolah justru tidak tahu apa-apa, justru tidak paham tentang hidup. Bila sekolah meraih ilmu, masalahnya ada pada penerapan di lapangan. Seberapa manfaat ilmu  untuk orang lain. Bila yang dituntut ilmu (bukan orang lain), seharusnya kita menjadi lebih rendah hati bukan malah kebanyakan teori.

 

Maka bila kita mau mengkritisi sekolah atau pendidikan. Ada pertanyaan penting, sebenarnya saat ini sistem sekolah kita itu makin maju atau mundur? Atau sekolah sebenaranya begitu-begitu saja dan hanya jalan di tempat. Apa sekolah hanya urusan kurikulum semata, apa sekolah hanya sibuk makan siang gratis? Atau cuma urusan gaji guru dan sekarang yang dipersoalkan tentang usia pensiun guru? Tolong dijawab dong, apa sih yang saat ini kita sudah perjuangkan untuk martabat anak-anak yang sekolah? Tentang akhlak, tentang adab, tentang mentalitas, baru kemudian tentang cara berpikir? Sudah sampai di mana anak-anak kita urusan akhlak, adab, mentalitas, dan cara berpikirnya? Jangan sampai ijazah atau sertifikat kelulusan (seperti kat Rocky Gerung) hanya jadi bukti bahwa kita pernah sekolah.

 

Mungkin, kritik pedas bisa kita alamatkan pada sistem pendidikan yang hanya mencetak siswa jago menghafal daripada berpikir. Menjadi anak yang disiplin masuk pagi pulang petang tanpa tahu artinya kreativitas. Dibebankan pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan besok tanpa bisa mengkritisnya, kenapa saya diberi tugas? Terus terang, banyak siswa hari ini tidka siap menghadapi realitas kehidupan. Ada kesenjangan antara harap dan kenyataan di sekolah (patut didiskusikan apa saja?). Terlalu lebar jurang pemisah antara teori dan praktik. Berjejal pengetahuan dan pelajaran tapi minim keterampilan dan   pemahaman akan apa yang dibutuhkan di dunia nyata?

 

Setelah selesai sekolah, sebab dari pendidikan tinggi, orang-orang dewasa akhirnya punya nilai sekolah yang baik tapi tetap bingung caranya berbuat baik dan menebar manfaat. Khawatir mau kerja apa, gelisah soal mengelola keuangan. Hingga bingung bagaimana membangun hubungan yang sehat dan menghadapi kegagalan. Bahkan tidak sedikit yang gagal membuat keputusan penting dalam hidupnya. Itu semua jadi bukti, sekolah bukan sekadar perlu pendidikan bukan hanya penting. Tapi semestinya sekolah mampu membekali anak-anak untuk membangun kemauan. Mau berpikir, mau membaca, mau punya akhlak, mau beradab,  mau berempati, dan mau kreatif. Sehingga nantinya, punya menatlitas yang lebih Tangguh dan bersahabat dengan realitas. Berani mencari solusi dari setiap masalah (bukan kabur dari masalah).

 


Seandainya sekolah berhasil membangun kemauan anak, mungkin taman bacaan masyarakat tidak mungkin sepi. Pasti banyak anak yang antusias melangkahkan kaki ke taman bacaan. Tapi apa boleh buat, ternyata misi sekolah (pendidikan formal) belum nymabung dengan misi taman bacaan (pendidikan nonformal). Itulah “pekerjaan rumah besar” tentang pendidikan di Indonesia. Bagaimana “merekatkan misi” antara pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Selama belum nyambung, maka taman bacaan masyarakat di manapun harus terus berjuang untuk mempertahankan eksistensinya sendiri. Bagaimana pun caranya? Agar kegemaran membaca dan budaya literasi tetap tegak di bumi Indonesia, masih ada kemauan anak-anak untuk membaca di tengah gempuran era digital.

 

Taman bacaan, seperti yang diemban TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor tidak muluk-muluk. Hanya untuk menyuarakan bahwa masih ada aktivitas membaca secara rutin secara bersama-sama di taman bacaan. Menyuarakan taman bacaan dari aktivitas nyata 6 hari dalam seminggu, lalu menuliskan dan mempublikasikannya secara online. Mungkin sebagian orang menilai menulis tidak ada manfaatnya. Tapi bagi AI (Artificial Intellegence) seperti ChatGPT, Gemini, Claude, Perplexity AI, Jasper AI, Copilot, dan Notion AI justru sangat bermanfaat. Karena AI bekerja atas “mesin data” yang ada di dunia maya, mengkolaborasikan data dan tulisan, teknologi komputer, dan algoritma untuk meberikan jawaban yang cerdas untuk si penanya.

 

 

Sejatinya, pendidikan tidak berhenti belajar setelah lulus sekolah. Tidak “mager” setelah mendapat ijazah, bahkan tidak malas akibat sibuk kerja. Bila hidup dianggap sebagai “guru terbesar”, maka realitas hidup di lapangan adalah lahan baru pembelajaran yang harus disentuh. Ada kemauan untuk memperlajari apa yang terjadi di kehidupan nyata, sekaligus untuk terus mengasah diri di luar tembok bernama sekolah. Membaca, bereksperimen, berdialog, dan berani mencoba seperti berkiprah di taman bacaan. Sebuah jalan sunyi pengabdian yang tidak berujung, tanpa pamrih tanpa gaji.

 

Sebab sekolah, ijazah, bahkan gelar pendidikan pada akhirnya hanya membuka pintu. Untuk apa ilmu dan pengetahuan itu diabdikan? Mungkin, kita masih bingung tentang pendidikan, mau gimana dan kemana? Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #BacaBukanMaen




Nasihat Seorang Ayah di Ulang Tahun ke-18 Putrinya

Nak, di tengah malam ini Abi tiba-tiba terbangun. Bersimpuh ke hadapan-Nya untuk memanjatkan doa di hari ulang tahunmu ke-18. Seakan ada yang membisikkan bahwa waktu terus berjalan. Untuk mengajak kita terus melangkah. Menapaki hari istimewa untuk kamu, di hari kelahiranmu 18 tahun lalu. Lalu Abi terduduk di meja kerja, membuka laptop. mencoba merangkai kata-kat. Bukan sekadar ucapan ulang tahun, tapi menjadi renungan akan perjalanan kita selama ini.

 

Sungguh, masih terasa hangat di ingatan. Saat pertama kali Abi dan Ibu menggendongmu. Bayi mungil dengan tangan yang lembut, yang menangis seolah dunia terlalu luas untukmu. Saat itu, Abi berjanji akan menjagamu, mendidik, dan melindungimu ketika dunia terasa keras. Tanpa kata-kata, Abi menyaksikanmu tumbuh, dari langkah kecil pertamamu yang goyah, sampai langkah-langkah penuh percaya diri yang kini kamu ambil sendiri. Menjadi gadis dewasa yang membanggakan namun tetap bersahaja. Menjadi mahasiswa Prodi Kesehatan Masyarakat FK UNNES dan bermukim di Semarang tuntuk empat tahun ke depan, tepat di hari ulang tahunmu ke-18. Selamat ulang tahun putriku, Farah Gammathirsty Elsyarif.

 

Nak, 18 tahun bukan hanya angka. Inilah pintu menuju dunia yang lebih luas, dengan pilihan-pilihan yang akan membentuk siapa dirimu nanti. Ada kebebasan, tapi juga ada tanggung jawab. Ada mimpi, tapi juga ada kenyataan yang kadang tidak sesuai rencana. Ada ikhtiar tapi juga ada doa. Ada saatnya bersyukur, ada pula saat merenung. Abi, Ibu, dana kakak-kakakmu paham, dunia memang tidak selalu ramah. Tapi percayalah kamu sudah memiliki hati yang cukup besar dan pikiran yang cukup bijak untuk menghadapinya sambil tetap menjalankan masa-masa kuliah yang menantang di kota lain.

 

Hari-hari ini Ospek di kampus sudah dimulai. Sebentar lagi kamu ada di dalam ruang kelas untuk kuliah. Memasuki lingkungan baru, mencoba kebiasaan baru di kost-an, bertemu orang-orang dari latar yang berbeda, dan menghadapi tantangan yang belum pernah kamu temukan sebelumnya. Kuliah dari pagi hingga petang, mengerjakan tugas, membuat makalah, hingga menuntaskan studi pada waktunya nanti. Semuanya akan membuka mata dan pikiran untuk masa depanmu sendiri.

 


Maka Abi ingin berpesan di hari ulang tahunmu ke-18 ini. Jagalah dirimu di mana pun berada, kerjakan apapun yang kamu senangi. Belajar bukan hanya di kelas. Sebab dunia kampus menawarkan banyak ruang untuk tumbuh, organisasi dan pertemanan yang akan mengajarkanmu hal-hal yang tidak tertulis di sebuah buku. Kendalikan waktumu dan kelola uangmu dengan bijak. Kuliah adalah awal kebebasan, tapi tanpa kendali, kebebasan bisa berubah jadi beban. Bergaulah yang sehat sebab teman yang baik akan menjadi keluarga kedua yang menopangmu di masa sulit.

Ketahuilah, dunia kampus adalah tempat paling aman untuk menemukan diri sendiri, sambil menatap masa depan dengan optimis. Jalah selalu integritas selama kuliah. Nilai akademis memang penting, tapi nama baik dan kejujuran akan membuka pintu segalanya. Bila ada masalah, katakan ke Abi, Ibu, atau kakak. Karena tidak ada masalah yang tidak ada solusinya. Lebih penting dari semuanya, serahkan semuanya kepada Allah SWT. Senangkan Allah, maka Insya Allah kamu akan disenangkan-Nya.

 

Nak, mungkin suatu hari nanti, kamu akan membaca Kembali surat ini dan mengenangnya. Menyadari bahwa semua doa dan nasihat Abi dan Ibu bukan untuk mengekang, tapi untuk memastikan kamu punya sayap yang kuat sekaligus akar yang dalam. Untuk terus tegak meraih masa depanmu. Tetaplah ikhtiar yang baik, jagalah sholat, dan jangan sia-siakan waktu yang ada. Karena aset terbesar yang kita miliki hanya waktu, bukan yang lainnya.

 

Hari ini, saat usiamu resmi dewasa, ingatlah satu hal: kamu akan selalu ditemani Abi, Ibu, Kak Fahmi, Kak Firda, Kak Farid, dan Aleena keponakanmu. Tidak peduli setinggi apa kamu terbang, rumahmu akan selalu ada di hati Abi, Ibu dan kakak-kakakmu.

 

Selamat ulang tahun ke-18 Farah Gammathirsty Elsyarif. Semoga selalu sehat, berkah, dan lancar kuliahnya. Terbanglah setinggi yang kamu mau, tapi jangan pernah lupa pulang. Selamat kuliah, selamat meraih masa depan! Love you always Nak!

 

Sampai jumpa di Semarang 15 Agustus 2025 lusa ya.

Dengan seluruh cinta, Abi-Ibu-Kak Fahmi-Kak Firda-Kak Farid-Aleena (Jakarta, 13 Agt 2025 – 04.00 WIB).

 




Negara Tidak Bertanggung Jawab Atas Pensiun Kita?

 Ini bahan perdebatan dan diskusi tentang masa pensiun. Bahwa negara tidak bertanggung jawab ata hari tua kita. Negara tidak tanggung jab atas kebahagiaan seoarang pensiunan di masa pensiunnya. Bahkan negara tidak peduli, masa pensiun kita mau seperti apa? Ini pesan moral, layak atau tidak layaknya kita di hari tua tergantung diri kita sendiri. Kebahagiaan di hari tua itu dimulai dari dalam diri kita sendiri, bukan dari janji orang lain atau kebijakan negara.. Jadi, siapkanlah dan muali bangun kebahagiaan di hari tua. Untuk diri sendiri.

Fakta hari ini, 7 dari 10 pensiunan di Indonesia pada akhirnya mengalami masalah keuangan. DI saat bekerja punya gaya hidup dan berjaya. Tapi saat pensiun, standar hidupnya turun drastic. Bahkan 1 dari 2 pensiunan mengandalkan transferan dari anak-anaknya untuk biasa hidup. Belum lagi, 9 dari 10 pekerja di Indonesia saat ini sama sekali tidak siap pensiun,tidak siap berhenti bekerja. Itulah faktanya yang harus diantisipasi pekerja, tentang masa pensiun tentang keadaaan di hari tua.

Maka buat teman-teman yang mau pensiun. Entah 5 tahun lagi pensiun, 10 tahun lagi pensiun atau 3 tahun lagi pensiun. Siapkanlah masa pensiun lebih baik. Ingat, negara tidak bertanggung jawab atas hari tua kita.


Negara tidak tanggung jawab atas masa pensiun kita. Maka kita sendiri yang harus menyiapkannya sejak dini. Mulailah pikirkan, mau seperti apa setelah pensiun? Hanya kita yang tanggung jawab pada masa pensiun kita, maka mulailah merencanakan dan menabung untuk pensiun sekarang, sebelum terlambat. Ambil langkah sendiri dengan menyiapkan dana pensiun sesuai kebutuhan hidup kita di hari tua. Karena kakau bukan kita, mau siapa lagi?

Sebentar lagi pensiun, apa yang sudah kita siapkan untuk hari tua? Akan seperti ap akita di hari tua? Selagi kerja, kitab isa membeli apa saja karena masih punya gaji. Tapi di masa pensiun, kita sama sekali tidak bisa membeli apapun tanpa kepedulian dari diri sendiri. Yuk siapkan pensiun dari sekarang!
Karena, negara tidak bertanggung jawab atas hari tua kita. Salam #YukSiapkanPensiun #EdukasiDanaPensiun #EduaksiDPLK

Senin, 11 Agustus 2025

Kisah Berjuang di Taman Bacaan, Harus Punya Bekas Luka

Ini sekadar sharing, setelah 8 tahun menjalani kiprah di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Ternyata, nikmatnya berjuang di taman bacaan itu harus punya “bekas luka”. Tentang pengalaman nyata yang menyakitkan, bahkan memilukan di taman bacaan. Penderitaan berjuang di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) sebagai bagian proses membentuk sikap spartan dan jiwa yang kuat. Sebab “bekas luka” menjadikan TBM tetap bertahan, tetap eksis untuk melayani masyarakat lebih baik dan lebih baik lagi.

 

Berkiprah di taman bacaan “tanpa luka” pasti nggak akan banyak cerita. Mungkin, daya juang dan survivor-nya pun belum teruji.  Hanya “bekas luka” yang menjadi tanda bahwa TBM itu pernah terluka, telah berjuang, dan kini tetap bertahan. “Bekas luka” di TBM bisa dimaknai sebagai penerimaan dan pembelajaran dari pengalaman hidup yang sulit. Masa-masa sulit mendirikan TBM, susahnya mengajak anak-anak ke TBM, pusing cari dana operasional itulah “bekas luka”. Ketika berhasil melewati penderitaan, jiwanya menjadi lebih kuat, lebih paham, dan lebih bijak. Sebab, kekuatan apapun dan di mana pun tidak pernah datang tanpa jejak, akan selalu ada “bekas luka” yang menjadi tanda.

 

Seperti “bekas luka” yang dialami TBM Lentera Pustaka pada tahun 2017. Bangunan dan tempat baca bekas garasi mobil yang sederhana, hanya 12 anak yang mau bergabung di TBM, koleksi cuma 600 buku, tanpa punya relawan dan hanya ada 2 wali baca. Mengajak relasi untuk donasi CSR untuk dana operasional, sediakan wifi dan honor wali baca. Di awal berdiri, hampir setiap hari telepon, WA atau kirim email untuk cari dukungan ke TBM.

 

“Bekas luka” kian terasa saat saya mendirikan taman bacaan ada warga yang menyebarkan isi pendiri TBM Lentera Pustaka beraliran sesat (agama), orang tua yang datang ke TBM lalu menyuruh anaknya pulang – tidak boleh baca di TBM, hingga tidak percaya TBM itu gratis. Didatangi preman yang minta uang, dimusuhi, bahkan disangka pedofilia. Itu semua bagian cerita dari “bekas luka” di TBM Lentera Pustaka yang sudah saya tuangkan ke buku “100 Kisah Di Langit Taman Bacaan” tahun 2022 terbitan Endnote Press, ISBN 978-623-99780-5-1.

 


Nikmatnya berkiprah di taman bacaan itu karena punya “bekas luka. Sebagai tanda kekuatan dan ketahanan seperti orang yang patah hati, yang bisa jadi pelajaran berharga. Bekas luka juga bukti penerimaan diri dan kesabaran atas kiprah sosial di taman bacaan. Bekas luka adalah pengingat akan pengalaman masa lalu untuk memperbaiki diri sekaligus menghargai diri sendiri. Belajar dari kesalahan untuk membuat keputusan yang lebih baik di masa depan. Dan yang penting, “bekas luka” itu bukan untuk mengenang yang menyakitkan tapi untuk menyehatkan pikiran dan mental saat berjuang di taman bacaan.

 

Kata Khalil Gibran, penderitaan itu menghasilkan jiwa yang kuat tapi harus ditandai oleh “bekas luka”. Bekas luka bukanlah aib, melainkan bukti kehidupan yang telah dijalani dengan penuh keberanian. Kekuatan sejati itu lahir bukan dari hidup yang mudah, tapi dari luka yang diterima dengan sabar dan penuh pengertian. Karena yang menjadikan manusia mau terus berjuang dan punya karakter tangguh adalah bekas luka. Luka-luka itulah yang membuat kita semakin punya komitmen, konsistensi, dan empati untuk orang lain.

 

Maka kumpulkan pengalaman “bekas luka” di taman bacaan. Karena luka adalah sumber energi untuk tetap bertahan dan mengatasi tantangan taman bacaan dan literasi yang menghadang. Sebab dalam hidup, hanya luka yang bisa membuat seseorang lebih kuat dan lebih bijaksana. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLiterasi

 




Minggu, 10 Agustus 2025

Ngobrolin Literasi, Apa Pentingnya?

Kenapa sih ngobrolin literasi dan taman bacaan itu penting? Bila dijawab berkelas, mungkin karena ngobrolin literasi itu bisa bikin kita “jalan-jalan” ke mana aja, tanpa beli tiket pesawat. Bisa juga, karena bisa melatih otak biar nggak lemot. Atau kata kawan saya, biar lebih keren. Sambil ngopi tapi ngobrolin literasi dan buku bareng sahabat sensasinya nggak ada duanya.

 

Begitulah yang terjadi saat dua sahabat literasi dari Jakarta, 1) Dedy, pegawai Perpusnas RI yang sedang meneliti literasi bergerak – mahasiswa S3 Komunikasi Unpad dan 2) Edi Dimyati, pegiat literasi KABACA dan Kampung Buku berkunjung dan ngopi bareng di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor (10/8/2025).  Bersama Pendiri TBM Lentera Pustaka, Syarifudin Yunus didampingi relawannya Susi, Alwi, Farida, Zhia, Nur, Yasin, dan Gina sambil ngopi sekaligus ngalor-ngidul tentang literasi. Tanpa terasa dari pukul 18.00 sampai dengan 21.30 WIB baru balik ke Jakarta. Ngobrolin literasi dan taman bacaan dari Jakarta ke Bogor, tentu bukan kaleng-kaleng,

 

Beragam pengalaman nyata di lapangan, saat bergerak di literasi dan taman bacaan jadi obrolan. Mulai dari kondisi relawan, apa yang dilakukan dan bagiamana kondisi aktualnya, aktivitas kargo baca dan motor baca keliling, jam operasi layanan membaca, program literasi, hingga komitmen pengelola taman bacaan. Semuanya tersaji dalam obrolan yang ringan dan penuh makna.

 

“Enak nih ngobrol di TBM Lentera Pustaka, banyak inspirasi dan ide baru. Buat tukar pikiran sambil ngopi-ngopi, bahas praktik baik literasi dan taman bacaan” ujar Edi Dimyati didampingi Dedy saat ngopi.

 


Tradisi ngobrolin  literasi dan taman bacaan, suka nggak suka memang penting. Selain bisa bertukar pikiran juga punya efek berantai yang bermanfaat untuk mengoptimalkan praktik baik literasi. Bukan cuma soal buku, tapi juga soal membumikan taman bacaan di akar rumput, yang faktual dekat dengan tradisi hidup masyarakat.

 

Selain untuk mendorong kebiasaan membaca anak dan masyarakat, ngobrolin literasi kian penting untuk mengurangi kesenajngan akses bacaan yang ada di kampung-kampung. Apalagi di tengah gempuran era digital. Sebab literasi bukan cuma soal baca tapi juga ikhtiar memproses informasi dengan bijak sekaligus memncari cara untuk tumbuh bersama lewat aktivitas taman bacaan yang konkret. Sulit dibantah, semua orang tahu literasi itu penting untuk meningkatkan akses pengetahuan, apalagi di daerah akses bukunya terbatas. Tapi literasi harus lebih berdaya melalui cara-cara praktis yang ada dan berlangsung sesuai keadaan masyarakatnya.

 

Ngobrolin literasi, memang harus terus disosialisasikan. Utamanya di jalur yang informal, di ruang nyata di mana aktivitas membaca itu berlangsung. Sebagai “charger” untuk kiprah literasi dan taman bacaan yang lebih baik, lebih bermanfaat. Karena siapapun, bila literanynya baik maka kualitas hiudpnya pasti membaik. Salam literasi #ObrolanLiterasi #KunjungankeTBM #TBMLenterapPustaka




Saat Dipandang Remeh Orang Lain?

Ada yang bertanya, kenapa ada saja orang-orang yang gampang meremehkan orang lain di sekitar kita? Saya nggak mau menjawab dari sisi orang yang meremehkan. Tapi lebih pas untuk orang yang diremehkan. Bahwa sejatinya, kita nggak bisa mengontrol pikiran dan sikap orang lain kepada kita. Sah-sah saja orang lain mau berpikir atau berkomentar apapun tentang kita. Sebab kita hanya bisa mengontrol diri sendiri.

 

Maka jangan terjebak pada skenario dan drama orang yang kerjanya meremehkan orang lain. Sekarang memang banyak orang yang gemar memandang kerdil orang lain. Sebab tahunya sedikit, omongannya banyak. Dia pandai menilai orang lain tanpa bisa menilai diri sendiri. Dia hanya tahu permukaan saja, tapi tidak paham siapa orang yang diremehkannya. Apalagi orang yang merasa punya jabatan, pangkat atau kuasa pasti “naluri” meremehkan orang lain muncul begitu saja. Silakan cek saja. Bila ada orang yang gemar merendahkan orang lain, pasti merasa punya jabatan, pangkat atau kuasa personal.

 

Buat orang yang diremehkan. Kita harus paham. Orang yang suka meremehkan orang lain atau merendahkan orang lain, biasanya punya masalah di kepribadian, pengalaman, dan lingkungan. Bahkan terbukti, jarang bergaul. Sehingga merasa diri lebih hebat dari orang lain. Sering kali mereka yang meremehkan, sejatinya “sakit” secara psikologis. Merasa insecure, tidak percaya diri, dan punya rasa benci yang tersembunyi. Selain nggak punya empati, orang yang memandang remeh orang lain itu biasanya merasa tersaingi dan penuh prasangka. Stereotip -nya memang doyan meremehkan orang lain. Terlalu cepat memvonis orang lain, seperti pikirannya sendiri yang belum tentu benar. 

 

Saat dipandang remeh oleh orang lain, tenang saja. Rileks dan kalem karena mereka tidak punya pengaruh apapun terhadap diri kita. Orang yang meremehkan itu hanya tahu kulitnya, tahu permukaan semata. Bila mau jujur, justru mereka banyak tidak tahunya. Lagi pula, hidup kan bukan soal menjadi disukai semua orang. Tapi tentang tetap kuat dan santai di saat nilai diri kita dikerdilkan.

 


Ketika diremehkan, kita tetap kalem, fokus, dan bersikap elegan menghadapi mereka. Sebagai tanda, kita lebih bernilai dari apa yang mereka lihat. Mungkin,hal-hal ini dapat dipertimbangkan ketika kita menghadapi orang-orang yang gemar meremehkan orang lain:

1.       Tetap fokus pada proses, bukan pada reaksi orang. Tidak usah terpancing dengan omongannya. Tetaplah melangkah sekalipun diremehkan, karena di saat itu kita bisa lebih fokus dan tidak dikotori oleh orang-orang toksik.

2.       Rileks menganggapi omongannya. Jangan pedulikan kata-katanya, anggap saja angin lalu. Karena tidak semua opini dan pendapatnya layak bahkan diragukan kebenarannya. Orang yang terbiasa merendahkan orang lain biasanya orang arogan dan subjektif banget.

3.       Batasi interaksi tanpa perlu konfrontasi. Jauhi bergaul dengan orang yang gemar meremehkan orang lain. Tidak perlu membalas, apalagi konfrontasi. Batasi saja interaski dengannya, jangan memberi celah untuk direndahkan lagi.

4.       Pilih diam yang bermakna, bukan pasif yang menyakitkan. Diam itu bukan menyerah. Karena diam adaah sebaik-baik perbutan menghadapi orang-orang yang toksik, di samping  untuk menata kembali nilai diri.

5.       Bersinar tanpa sorotan, menang tanpa perang. Ciri penting orang yang suka meremehkan adalah cetek, tidak punya kedalaman pemahaman. Maka mereka tidak punya ruang untuk melihat potensi orang lain. Siapapun yang bersinar pasti jadi masalah bagi yang hidup dalam gelap. Bekerjalah dalam diam dan tumbuh dalam senyap.

 

Dipandang remeh oleh orang lain itu nyata dan ada. Bahkan dari orang-orang tterdekat atau orang yang kita anggap teman dekat. Dan kita saman sekali tidak bisa mengontrol siapa yang meremehkan atau menghargai. Tapi kita bisa menentukan reaksi yang paling sehat, elegan, dan berkelas. Lima sikap di atas itulah bisa jadi cerminan dari kecerdasan emosional yang telah ditempa oleh pengalaman dan kesadaran diri yang tinggi.

 

Sangat lazim, dunia ini penuh dengan orang yang salah menilai. Tapi kita tidak perlu hidup untuk memenuhi standar mereka. Bahkan tidak perlu menyenangkan semua orang. Cukup, kita menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. Cibtai diri sendiri, dan sehatkan pikiran dengan menjauhi orang-orang toksik. Tetap kuat, tetap tenang, dan biarkan nilai diri kita tumbuh alamiah tanpa perlu validasi dari siapa pun yang melihat kita dengan sebelah mata.

 

Saat dipandang remeh orang lain, lebih baik membaca buku. Tetaplah berbuat baik dan menebar manfaat. Salam literasi!