Saat ini dari 150 juta pekerja di Indonesia, hanya 3,3% pekerja yang memiliki dana pensiun sukarela (DPPK atau DPLK). Berarti, ada 96,7% pekerja di Indonesia tidak punya dana pensiun sukarela. Karenanya, ada potensi pekerja di Indonesia akan mengalami kemiskinan di hari tua, saat tidak bekerja lagi. Oleh karena itu, edukasi akan pentingnya dana pensiun sebagai program untuk menjaga kesinambungan penghasilan hari tua harus terus disuarakan. Survei ADB tahun 2024 menyebutkan,, 1 dari 2 pensiunan di Indonesia mengandalkan transferan biaya hidup setiap bulan dari anak-anaknya.
Kenapa pekerja di Indonesia tidak punya
dana pensiun sukarela? Ada banyak persepsi dan jawaban yang bisa disajikan.
Tapi faktor penyebab yang paling utama adalah persepsi individual, kondisi
perusahaan, dan sistem pensiun nasional. Beberapa sebab pekerja tidak punya
dana pensiun sukarela antara lain:
1. Mayoritas
pekerja Indonesia berada di sektor informal. Sekitar 60% tenaga kerja Indonesia
bekerja di sektor informal (pedagang, petani, ojek, UMKM tanpa struktur yang formal).
Karena itu, peerja informal sangat membutuhkan edukasi dan kemudahan akses
untuk memiliki dana pensiun sukarela. Tanpa adanya kewajiban program pensiun,
maka pekerja informal cenderung tidak menabung untuk masa tua.
2. Kesadaran
dan Lliterasi dana pensiun masih rendah. Banyak pekerja belum memikirkan masa
pensiun karena fokus pada kebutuhan harian. Persepsi umum adalah pensiun itu
urusan “nanti” atau mengandalkan anak. Tingkat literasi dana pensiun saat ini
hanya 27%, artinya tidak lebih dari 3 dari 10 orang yang tahu dana pensiun.
Tahu saja belum, apalagi memiliki.
3. Pendapatan
rendah dan tidak stabil. Banyak pekerja berpenghasilan pas-pasan merasa tidak
mampu menyisihkan untuk iuran pensiun. Apalagi bagi pekerja harian atau
kontrak, prioritas utama adalah kebutuhan mendesak (makan, kontrakan, atau sekolah
anak).
4. Tidak
ada insentif yang menarik. Dana pensiun sukarela (seperti DPLK) belum didukung
insentif pajak yang menarik untuk pekerja individu. Hanya pekerja yang
diikutsertakan perusahaan yang bisa diakomodasi. Tidak ada aturan nasional yang
memaksa seluruh pekerja ikut skema pensiun, berbeda dengan beberapa negara yang
menerapkan “mandatory retirement saving”.
5. Budaya
mengandalkan anak atau keluarga di hari tua. Sebagian masyarakat masih percaya
konsep “nanti anak yang menanggung orang tua”. Pandangan ini masih kuat
tertanam di masyarakat pada umumnya.
6. Kurangnya
saluran dan produk dana pensiun yang fleksibel. Produk dana pensiun yang ada sekarang
dianggap terlalu “administrative”, kurang fleksibel. Bahkan dianggap “kolot”,
kurang ada inovasi sesuai jenis angkatan kerja yang semakin variatif, di
samping saluran untuk membeli dana pensiun masih terbata.
7. Kurangnya
edukasi dan tidak adanya akses digitaldana pensiun. Banyak pekerja tidak tahu
dana peniun sukarela (DPLK). Bahkan bagi yangtahu pun kesulitan untuk bisa
membeli DPLK akibat tidak tersedianya akses digital untuk dana pensiun.
Untuk itu, pengelola dana pensiun sukarela
(utamanya DPLK) harus lebih kreatif dalam menyediakan produk DPLK seusai segmen
market pekerja. Dan yang paling penting, selalu melakukan edukasi secara masif
dan menyediakan akses digital untuk membeli DPLK. Tentu, untuk meningkatkan
kepesertaan baru dana pensiun dan memperbesar aset keloaan dana pensiun di
Indonesia.
Bagaimana menurut Anda?
#EdukasiDanaPensiun #DPKSAM #DanaPensiun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar