Ada yang bertanya, kenapa ada saja orang-orang yang gampang meremehkan orang lain di sekitar kita? Saya nggak mau menjawab dari sisi orang yang meremehkan. Tapi lebih pas untuk orang yang diremehkan. Bahwa sejatinya, kita nggak bisa mengontrol pikiran dan sikap orang lain kepada kita. Sah-sah saja orang lain mau berpikir atau berkomentar apapun tentang kita. Sebab kita hanya bisa mengontrol diri sendiri.
Maka jangan terjebak pada skenario dan
drama orang yang kerjanya meremehkan orang lain. Sekarang memang banyak orang
yang gemar memandang kerdil orang lain. Sebab tahunya sedikit, omongannya
banyak. Dia pandai menilai orang lain tanpa bisa menilai diri sendiri. Dia
hanya tahu permukaan saja, tapi tidak paham siapa orang yang diremehkannya.
Apalagi orang yang merasa punya jabatan, pangkat atau kuasa pasti “naluri”
meremehkan orang lain muncul begitu saja. Silakan cek saja. Bila ada orang yang
gemar merendahkan orang lain, pasti merasa punya jabatan, pangkat atau kuasa
personal.
Buat orang yang diremehkan. Kita harus
paham. Orang yang suka meremehkan orang lain atau merendahkan orang lain,
biasanya punya masalah di kepribadian, pengalaman, dan lingkungan. Bahkan
terbukti, jarang bergaul. Sehingga merasa diri lebih hebat dari orang lain.
Sering kali mereka yang meremehkan, sejatinya “sakit” secara psikologis. Merasa
insecure, tidak percaya diri, dan punya rasa benci yang tersembunyi. Selain
nggak punya empati, orang yang memandang remeh orang lain itu biasanya merasa
tersaingi dan penuh prasangka. Stereotip -nya memang doyan meremehkan orang
lain. Terlalu cepat memvonis orang lain, seperti pikirannya sendiri yang belum
tentu benar.
Saat dipandang remeh oleh orang lain,
tenang saja. Rileks dan kalem karena mereka tidak punya pengaruh apapun
terhadap diri kita. Orang yang meremehkan itu hanya tahu kulitnya, tahu
permukaan semata. Bila mau jujur, justru mereka banyak tidak tahunya. Lagi
pula, hidup kan bukan soal menjadi disukai semua orang. Tapi tentang tetap kuat
dan santai di saat nilai diri kita dikerdilkan.
Ketika diremehkan, kita tetap kalem,
fokus, dan bersikap elegan menghadapi mereka. Sebagai tanda, kita lebih
bernilai dari apa yang mereka lihat. Mungkin,hal-hal ini dapat dipertimbangkan ketika
kita menghadapi orang-orang yang gemar meremehkan orang lain:
1. Tetap fokus pada proses, bukan pada reaksi orang.
Tidak usah terpancing dengan omongannya. Tetaplah melangkah sekalipun
diremehkan, karena di saat itu kita bisa lebih fokus dan tidak dikotori oleh
orang-orang toksik.
2. Rileks menganggapi omongannya. Jangan
pedulikan kata-katanya, anggap saja angin lalu. Karena tidak semua opini dan
pendapatnya layak bahkan diragukan kebenarannya. Orang yang terbiasa
merendahkan orang lain biasanya orang arogan dan subjektif banget.
3. Batasi interaksi tanpa perlu konfrontasi. Jauhi
bergaul dengan orang yang gemar meremehkan orang lain. Tidak perlu membalas,
apalagi konfrontasi. Batasi saja interaski dengannya, jangan memberi celah
untuk direndahkan lagi.
4. Pilih diam yang bermakna, bukan pasif yang menyakitkan.
Diam itu bukan menyerah. Karena diam adaah sebaik-baik perbutan menghadapi
orang-orang yang toksik, di samping untuk menata kembali nilai diri.
5. Bersinar tanpa sorotan, menang tanpa perang. Ciri
penting orang yang suka meremehkan adalah cetek, tidak punya kedalaman
pemahaman. Maka mereka tidak punya ruang untuk melihat potensi orang lain. Siapapun
yang bersinar pasti jadi masalah bagi yang hidup dalam gelap. Bekerjalah dalam
diam dan tumbuh dalam senyap.
Dipandang remeh oleh orang lain itu
nyata dan ada. Bahkan dari orang-orang tterdekat atau orang yang kita anggap
teman dekat. Dan kita saman sekali tidak bisa mengontrol siapa yang meremehkan
atau menghargai. Tapi kita bisa menentukan reaksi yang paling sehat, elegan,
dan berkelas. Lima sikap di atas itulah bisa jadi cerminan dari kecerdasan
emosional yang telah ditempa oleh pengalaman dan kesadaran diri yang tinggi.
Sangat lazim, dunia ini penuh dengan
orang yang salah menilai. Tapi kita tidak perlu hidup untuk memenuhi standar
mereka. Bahkan tidak perlu menyenangkan semua orang. Cukup, kita menjadi versi
terbaik dari diri kita sendiri. Cibtai diri sendiri, dan sehatkan pikiran
dengan menjauhi orang-orang toksik. Tetap kuat, tetap tenang, dan biarkan nilai
diri kita tumbuh alamiah tanpa perlu validasi dari siapa pun yang melihat kita
dengan sebelah mata.
Saat dipandang remeh orang lain, lebih
baik membaca buku. Tetaplah berbuat baik dan menebar manfaat. Salam literasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar