Tingkat kepatuhan perusahaan di Indonesia terhadap kewajiban membayar uang pesangon pekerja terbukti cukup rendah. Data Kemanker RI menyebut, hanya 27% perusahaann yang membayarkan kompensasi PHK sesuai aturan.. Sisanya 73% tidak memenuhi kewajiban alias tidak sesuai regulasi. Salah stu buktinya, kasus PHK di PT Sritex yang akhirnya bermasalah. Lebih berat lagi, Survei Angkatan Kerja Nasional BPS (2018) menyebut bahwa 66% pekerja sama sekali tidak mendapat pesangon saat PHK, 27% mendapat pesangon tetapi tidak sesuai ketentuan, dan hanya 7% pekerja yang mendapat pesangon sesuai aturan.
Faktanya, banyak
perusahaan yang “tidak mampu” membayar besaran pesangon sesuai regulasi. Apalagi
di tengah kondisi bisnis perusahaan yang sedang drop, potensi PHK bisa terjadi
kapan saja. Tapi kewajiban membayar uang pesangon tidak bisa dihindari. Hal
inilah yang harus jadi perhatian perusahaan dan manajemen-nya. Akibat kondisi
ekonomi global atau efisensi, suatu perusahaan bisa saja melakukan PHK
(Pemutusan Hubungan Kerja). PHK bisa pula terjadi akibat ketatnya persaingan
bisnis dan turunnya penjualan. Tapi perusahaan harus tahu dan ingat.
Konsekuensi dari PHK adalah perusahaan wajib membayar uang pesangon, yang komponennya
terdiri dari Uang Pesangon (UP), Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), dan Uang
Penggantian Hak (UPH). Kewajiban pembayaran uang pesangon dari perusahaan jelas
tertuang pada UU No. 6/2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja dan PP No. 35/
2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Rendahnya tingkat kepatuhan perusahaan membayar uang pesaongon bukan tanpa
alasan. Beberapa studi
menunjukkan penyebab perusahaan tidak membayar pesangon sesuai ketentuan,
antara lain: 1) masalah keuangan karena perusahaan
tidak punya likuiditas atau arus kas yang memadai, 2) kurangnya kesadaran atau
pemahaman atas hak-hak pekerja dan kewajiban perusahaan, 3) pengawasan yang
lemah dari instansi pemerintah terkait ketenagakerjaan, dan 4) persetujuan
bersama yang lemah atau tidak dilaksanakan secara penuh meski ada kesepakatan PHK, pelaksanaan
pembayaran pesangon sering tidak sesuai dengan apa yang disepakati.
Fakta hari ini, banyak perusahaan yang “belum mendanakan” uang pesangon –
pensiun secara terpisah dari aset perusahaannya. Hampir semua perusahaan menggunakan
skema “pay as you go – PAYG” saat terjadi PHK. Dananya dicarikan dan disiapkan
sendiri. Konsekuensinya, bila tidak ada kecukupan dana, maka pembayaran uang
pesangon akibat PHK jadi tertunda atau bermasalah. Sebab uang pesangon
dibayarkan dari “kantong perusahaan”, yang belum tentu disiapkan sebelumnya.
Skema pay as you go sama sekali tidak tepat. Berpotensi jadi masalah di
kemudian hari, apalagi bila terjadi PHK dengan jumlah pekerja yang banyak.
Maka sebagai solusi, perusahaan semestinya mengubah skema pendanaan uang
pesangon atau pensiun pekerja menjadi “fully funded”. Uang pesangon atau pensiun
yang dipisahkan dari aset perusahaan. Pengelolaan uang pesangon-pensiun yang
diserahkan ke pihak ketiga yang memang tugasnya mengelola uang pesangon atau
uang pensiun untuk pekerja. Dengan cara dicicil dan dianggarkan setiap tahun,
sehingga perusahaan pada akhirnya mampu kebutuhan pendanaan atas uang pesangon
pensiun. Melalui model “fully funded”, ketersediaan uang pesangon pensiun atas
nama perusahaan untuk pekerja menjadi lebih pasti karena terpisah dari aset
perusahaan. Bahkan selama dikelola pihak ketiga, akan memperoleh hasil
investasi yang optimal sehingga dapat mengurangi besaran kewajiban uang
pesangon dari perusahaan. Maka model “fully funded” inilah skema yang tepat
untuk diterapkan perusahaan untuk uang pesangon pensiun pekerjanya.
Patut dipahami, uang
pesangon pensiun adalah sejumlah uang yang diberikan oleh perusahaan
kepada pekerja yang memasuki masa pensiun atau akibat terjadi PHK sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Komponen uang pesangon pensiun adalah 1) Uang Pesangon
(UP) yang dihitung berdasarkan masa kerja dan upah terakhir pekerja, 2) Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) yang diberikan
sebagai bentuk penghargaan atas masa bakti pekerja sesuai aturan yang berlaku,
dan 3) Uang Penggantian Hak (UPH) yang mencakup hak-hak pekerja yang belum
didapatkan selama bekerja, seperti cuti yang belum diambil dan transport.
Semuanya jelas diatur di UU No. 6/2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja dan
PP No. 35/ 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Pertanyaannya, ke
mana perusahaan mendanakan uang pesangon pensiun pekerja? Sesuai regulasi yang
ada, uang pesangon pensiun pekerja suatu perusahaan dapat didanakan melalui
program pensiun sukarela yang disebut DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan). DPLK merupakan “kendaraan” yang paling pas untuk
mempersiapkan uang pesangon pensiun pekerja. Melalui DPLK, setidaknya
perusahaan mendapatkan keuntungan: 1) ada pendanaan yang pasti untuk membayar uang
pesangon pensiun pekerja, 2) ada hasil investasi yang optimal selama didanakan,
3) adanya insentif pajak saat manfaat dibayarkan kepada pekerja, 4) perusahaan
bisa lebih fokus pada bisnisnya, dan 5) perusahaan tidak repot lagi urusan uang
pesangon pensiun pekerja.
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar