Di pagi yang cerah, Pak Darto berdiri di halaman rumahnya yang sederhana tapi nyaman. Usianya sudah 65 tahun. Suara burung berkicau, angin membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Ia tersenyum, menghirup udara dalam-dalam. Kini, setiap hari baginya terasa seperti liburan panjang yang tak ada habisnya.
Namun, jalan menuju hari tua yang tenang itu bukanlah hal yang mudah. Ketika
masih muda, Pak Darto hanyalah staf administrasi di sebuah perusahaan
distribusi. Gajinya pas-pasan, apalagi ia sudah berkeluarga dengan dua anak
yang masih kecil. Tahun 1995, gajinya hanya sekitar Rp2,5 juta per bulan. Dari
jumlah itu, ia nekat menyisihkan Rp500 ribu ke dalam program dana pensiun yang
ditawarkan perusahaan. Banyak rekan kerjanya yang mencibir, “Setengah juta tiap
bulan? Sayang sekali! Lebih baik buat cicilan motor atau beli perhiasan istri.”
Pak Darto hanya tersenyum. ia selalu teringat pesan almarhum ayahnya: “Kalau
kamu bekerja, jangan hanya pikirkan hari ini. Pikirkan juga bagaimana hidupmu
saat tak lagi mampu bekerja.” Cita-citanya sederhana, selagi kuat ia akan
bekerja keras. Tapi saat pensiun, ia hanya ingin menikmatinya dengan tenang.
“Hidup memang cuma sekali, tapi aku ingin sekali itu bisa kujalani dengan
tenang sampai akhir” Pak Darto membatin.
Puluhan tahun berlalu. Kadang gajinya naik, cicilan rumah dan biaya sekolah
anak menekan dompetnya, bahkan sempat ada krisis ekonomi yang membuat banyak
harga melonjak. Berkali-kali ia tergoda berhenti menabung untuk pensiun. Tapi
setiap kali melihat kalender di meja kerjanya, ia sadar: waktu terus berjalan,
dan suatu hari tenaganya akan habis. Ia sadar, cepat atau lambat dirinya pasti
akan pensiun.
Akhirnya, di usia 56 tahun, Sembilan tahun lalu, ia resmi pensiun. Saat
itu, tabungan dana pensiunnya telah berkembang dari setoran Rp500 ribu per
bulan menjadi lebih dari Rp1,2 miliar, hasil akumulasi iuran ditambah
pengelolaan investasi. Dari jumlah itu, ia kini menerima manfaat bulanan
sekitar Rp7 juta. Sangat ukup untuk hidup nyaman bersama istrinya di hari tua.
Apalagi anak-anaknya sudah berkeluarga dan tidak tinggal serumah lagi.
Kini, di usia senjanya, Pak Darto berkiprah sosial di taman bacaan.
Menjadikan salah satu rumahnya di kaki Gunung Salak sebagai tempat membaca
anak-anak kampung. Membimbing anak-anak membaca setiap week end. Hampir semua
aktivitasnya dijadikan ladang amal di hari tua. Kini ia mampu membayar
kebutuhan hidupnya sehari-hari, menjaga kesehatan tanpa merepotkan anak-anak,
bahkan sesekali mengajak istrinya berlibur. Sebuah ujung perjalanan seoarag
pekerja yang sangat indah.
Suatu sore, ketika cucu-cucunya datang berkunjung, salah satu dari mereka
bertanya polos,
“Kakek, kok Kakek enggak kerja lagi tapi tetap bisa senang-senang?”
Pak Darto hanya tertawa kecil. Ia mengelus kepala cucunya sambil menjawab,
“Kakek dulu waktu muda rajin menabung untuk masa tua. Jadi sekarang, meskipun Kakek
sudah berhenti kerja, alhamdulillah masih bisa hidup tenang, bahkan bisa main
sama kalian setiap hari.”
Matanya berkaca-kaca. Ada rasa haru yang sulit dijelaskan. Semua perjuangan
kecil Pak Darto di masa mudanya terbayar sudah. Ketika masih bekerja, ia selalu
menahan diri untuk bergaya hidup, ia selalu menyisihkan gaji untuk masa pensiun
yang kini berbuah manis di hari tua.
Malam itu, ketika duduk di teras bersama istrinya, ia berbisik pelan, “Syukurlah
Bu, kita dulu tidak menyerah. Selalu menabung untuk hari tua. Sekarang lihatlah,
semua pengorbanan kita akhirnya membuahkan hasil. Pensiun tanpa merepotkan
anak-anak, Bisa cukup tanpa perlu utang atau bekerja lagi”
Istrinya menggenggam tangannya erat. “Iya, Mas. Hari tua kita ini
benar-benar hadiah terindah. Kita tinggal menikmati dan bersyukur. Sambil tetap
menebar manfaat ke orang lain lewat kegiatan sosial ”
Dan di bawah langit malam yang bertabur bintang, Pak Darto menutup matanya
sejenak, menikmati kedamaian. Ia sadar, keputusan sederhana di masa muda, menyisihkan
Rp500 ribu per bulan untuk dana pensiun telah berubah menjadi warisan yang tak
ternilai: masa tua yang penuh ketenangan, kebebasan, dan cinta. Sebuah hadiah
indah di ujung perjalanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar