Setiap sore, Pak Darto mendorong gerobak nasi gorengnya ke depan stasiun. Tangannya cekatan, meski keriput sudah jelas terlihat. Usianya kini 65 tahun.
“Masih
jualan, Pak?” tanya seorang pelanggan muda.
Pak Darto
tersenyum, “Iya, Mas. Selagi masih kuat, saya dagang setelah pensiun.”
Begitulah Pak Darto menjalani hari-harinya setelah tidak bekerja lagi, atas
sebab pensiun.
Tidak banyak
yang tahu, dulu Pak Darto pernah jadi karyawan perusahaan ekspedidi selama 30
tahun. Gajinya cukup dan hidupnya sederhana. Sayangnya, ia tidak pernah
menabung untuk hari tua. Gajinya selalu habis untuk kebutuhan hidup keluarganya
plus sesekali rekreasi keluarga.
“Saya pikir
pensiun itu urusan nanti,” katanya suatu malam pada istrinya.
“Ternyata,
nanti itu datang lebih cepat dari yang saya kira. Tanpa persiapan harus pensiun”
Kini,
penghasilan dari gerobak nasi gorenglah andalan pak Darto. Untuk menyambung
hidup keluarganya. Tidak punya tabungan pensiun, tidak ada dana darurat. Ia
menyesal, tapi tidak ingin menyalahkan siapa pun.
“Saya hanya
ingin anak-anak muda belajar dari saya. Sisihkan sedikit gaji saat bekerja
untuk masa tua, untuk masa pensiun. Biar nanti, nggak harus jualan seperti saya
di usia segini.”
Pak Darto
dulu, suaranya lantang, badannya tegap dan senyumnya lebar. Setiap pagi ia
bersama anak buahnya bongkar muat barang untuk dikirim ke luar kota. Maklum
orang lapangan, Pak Darto selalu bersemangat saat bekerja sehari-hari.
"Kerja
itu harus cekatan, apalagi kita di perusahaan ekspedisi. Pelayanan harus cepat
biar konsumen puas dengan kerja kita!" katanya lantang kepada anak buahnya.
Lagi-lagi
sayang, Pak Darto lupa bahwa mempersiapkan masa pensiun juga harus cekatan. Harus
berani punya dana pensiun seperti DPLK. Untuk hari tua yang lebih tenang. Ia
begitu mencintai pekerjaannya, begitu sibuk bekerja sehari-hari hingga tidak
pernah benar-benar merencanakan hidup setelah pensiun. Katanya dulu, pensiun
gimana nanti?
Ketika gaji
datang, ia pakai untuk kebutuhan keluarga: bayar sekolah anak, bantu orang tua
di desa, dan sesekali traktir teman-temannya jajan di kantin. Terkadang ngopi
sore bareng sepulang kerja. Ia merasa cukup. Tidak miskin, tapi juga tidak
pernah menyisihkan uang untuk hari tua. Boro-boro punya dana pensiun.
"Aku
kan karyawan senior, nanti juga dapat uang pensiun," katanya pada istrinya
yang sempat menyarankan ikut DPLK saat bekerja..
"Terlalu
ribet, toh masih lama pensiunnya." ujarnya dulu.
Waktu
Berjalan. Tahun demi tahun berlalu. Anak-anaknya tumbuh dan mulai bekerja.
Teman-temannya mulai pensiun satu per satu. Pak Darto pun akhirnya harus
melepas seragam kantornya. Karena usia sudah 55 tahun, ia harus pensiun. Masa
baktinya di perusahaan kesayangannya sudah selesai.
Hari pertama
pensiun, ia bangun pagi seperti biasa. Tapi tidak ada seragam yang dipakai
untuk ke kantor. Tidak ada temannya lalu-lalang lagi. Tidak ada tempat kerja
yang dituju. Pak Darto terkadang lupa sudah pensiun.
Dan yang
lebih sunyi lagi: tidak ada gaji lagi, tidak ada dana yang cukup untuk masa
pensiunnya. Uang pensiun dari kantornya ternyata hanya cukup untuk bayar
listrik, air, dan sedikit belanja tiga tahun setelah ia pensiu. Bahkan di masa
pensiun, obat untuk tekanan darahnya yang mulai naik pun tidak mampu dibeli.
Anak-anaknya
ingin membantu, tapi mereka juga punya keluarga masing-masing. Ia tak ingin
jadi beban. Maka ia mulai berjualan nasi goreng keliling, dengan modal gerobak
sederhana. Berdagang nasi goreng kecil-kecilan. Semua dilakukannya diam-diam,
tanpa banyak bicara.
Suatu Hari. Di
sebuah reuni teman sekantor, pak Darto ikut hadir. Temannya terkejut melihat Pak
Darto yang gagah perkasa semasa kerja, kini terlihat kurus, wajahnya lebih tua
dari usianya.
“Pak, kok
terlihat kurusan. Bukankah sudah menikmati masa pensiun?
Pak Darto
tersenyum tipis namun agak kecut. “Betul.
Tapi saya lupa tidak siapkan tabungan pensiun. Hari tua juga butuh uang, perlu
tabungan. Sementara sekarang sudah tidak punya gaji lagi. Ternyata pensiun berat
bila tidak punya uang” ujarnya.
Salah satu
temannya yang sudah pensiun dan jadi petani yang sukses pun terdiam. Ia
akhirnya mengajak Pak Darto main ke kebunnya. Agar tahu, untuk apa uang tabungan
pensun DPLK yang diterimanya setelah pensiun?
Pak Darto
pun terkejut dan takjub, begitu luas lahan pertanian temannya sesama pensiunan.
Dulu keduanya bekerja di perusahaan yang sama. Hanya bedanya, Pak Darto tidak
mau menabung untuk pensiun, sedangkan temannya punya DPLK yang bisa dinikmati
di hari tua.
Di hari
tuanya, Pak Darto hanya berdagang nasi goreng untuk menghidupi masa tuanya. Perjalanan
hidup dan masa bekerja yang akhirnya disesali Pak Darto hingga kini.
Kini sambil
berkeliling dengan gerobak nasi gorennya, Pak Darto pun selalu mengingatkan
pelangganya untuk memilki dana pensiun. Akan pentingnya mempersiapkan hari tua
sejak dini. Ia bicara dari pengalaman, bukan teori lagi. Ia bicara dengan suara
pelan, tapi penuh makna.
“Kalau kamu
mencintai keluarga, cintai juga diri kalian di hari tua. Sisihkan hari ini,
agar kalian tidak menyesal di masa pensiun.”
-----
Belajar dari
kisah Pak Darto, ternyata menabung untuk
masa pensiun atau hari tua bukan pilihan, tapi kebutuhan. Karena gaji besar
saat bekerja, penghasilan lancar saat kerja bukan jaminan untuk pensiun
sejahtera. Persiapan pensiun itu harus dimulai saat masih kerja dan produktif, bukan justru di susia menjelang
pensiun. Bila tidak berjaya saat kerja tapi meraan di hari tua, milikilah dana
pensiun. Salam #SadarPensiun #EdukasiDanaPensiun #DPLKSAM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar