Rasa tidak puas, memang sering muncul dari kurangnya sesuatu. Sering tidak puas hanya lahir dari hati yang tidak mampu merasa cukup. Merasa kurang, merasa apa yang diinginkan kok tidak tercapai?
Tidak pernah merasa cukup. Hingga lupa nikmatnya secangkir kopi hangat di pagi hari. Hingga lalai dari indahnya senyuman orang-orang terkasih yang selalu ada di kala suka dan suka. Tidak puas karena hanya melihat nikmat yang dimiliki orang lain. Lupa pada nikmat yang dimiliki sendiri. Rasa tidak puas, akhirnya membuat kita lupa bersyukur. Wajar bila anugerah seluas apa pun yang diberikan-Nya, tetap saja merasa kurang. Kenapa sih sering merasa tidak puas?
Lupa ya, kepuasan sejati itu tidak
dijual di luar. Rasa puas itu tumbuh dari dalam, saat kita mensyukuri yang ada
dan dimiliki. Hidup tanpa rasa cukup adalah lomba yang tak pernah usai, selalu
ingin lebih, lebih, dan lebih lagi tanpa sempat duduk menikmati langkah yang
telah dilalui.
Adalah Epicurus, seorang filosof Yunani yang menyebut “bahagia bukan soal memiliki lebih, tapi bisa cukup dengan yang sederhana”. Pada setiap keadaan, bukan berarti kita menyerah tapi diperlukan sikap matang dalam memahami bahwa ketenangan tidak datang dari tumpukan harta, melainkan dari hati yang tahu cara menghargai nikmat hari ini, apapun bentuknya.
Seperti yang dilakukan relawan TBM
Lentera Pustaka kemarin (4/5/2025). Setalah aktivitas di taman bacaan dan
mengajar kaum buta aksara dari pagi hingga siang, sore harinya menjelajah
“kampung baru” sebagai tempat operasi motor baca keliling (MOBAKE) TBM Lentera
Pustaka. Para relawan seakan tidak peduli keadaannya, mereka hanya bersyukur
masih bisa sediakan akses bacaan ke anak-anak kampung. Relawan TBM hanya
belajar merasa cukup, dari begitu banyak kekurangan yang ada. Tentu demi
tegaknya kegemaran membaca dan budaya literasi masyarakat.
Maka pesan literasi hari ini, mungkin
ada baiknya untuk bertanya bukan “Apa lagi yang harus kumiliki?” tapi “Apa yang
sudah aku syukuri?”. Jadilah literat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar