Literasi #KaburAjaDulu. Tiba-tiba #KaburAjaDulu meramaikan jagad media sosial belakangan ini. Kaum milenial dan Gen Z menyuarakan #KaburAjaDulu, sebagai ekspresi atas kekecewaan dan keprihatinan anak-anak muda terhadap kondisi Indonesia, yang dianggapnya justru makin banyak kesenjangan. Antara harapan dan kenyataan semakin “jauh panggang dari api”. Hari-hari ini, masalah Indonesia dianggap dianggap makin kompleks, makin memprihatinkan.
Paling
sederhananya, anak-anak muda hari ini merasakan semakin tidak mudah mencari
kerja, seolah-olah makin tidak punya masa depan yang lebih baik di negerinya
sendiri. Belum lagi ditambah “ketidak-beresan” yang melukai hati nurani masyarakat,
mulai dari masalah gas elpiji 3kg, pagar laut, hingga harga-harga kebutuhan pokok
yang kian memberatkan. Apapun alasannya, keadaan Indonesia dianggap tidak makin
baik. Indonesia memang tidak sedang baik-baik saja, maka muncullah
#KaburAjaDulu. Itulah realitas yang beredar di berbagai platform media sosial.
Anggaran
berbagai instansi pemerintah diketatkan dan dipotong. Kabarnya mencapai Rp. 360
triliun. Ramai pula di mana-mana berita pemotongan anggaran, bahkan menyebut gaji
pegawai membaga negara hanya bisa dibayar sampai dengan Oktober 2025. Tapi di
sisi lain, Deddy Corbuzier baru saja diangkat sebagai staf khusus Menhan. Kabinetnya
gemuk, ada 48 menteri, 56 wakil menteri, dan 5 Kepala Badan. Lebih dari itu,
pemotongan anggaran pun bisa berdampak signifikan terhadap terjadinya PHK tenaga
honorer di instansi pemerintah. Bahkan bukan tidak mungkin, biaya UKT mahasiswa
di kampus-kampus “terpaksa” dinaikkan gara-gara pemotongan anggaran.
Pemotongan
anggaran, kabarnya, untuk kasih makan anak-anak Indonesia melalui program Makan
Bergizi Gratis (MBG). Tapi di sisi lain, malah menjadikan kondisi ekonomi penuh
ketidak-pastian, ekonomi justru stuck. Ekonomi Indonesia dianggap lebih
lambat tumbuhnya daripada negara tetangga seperti Singapura, Malaysia atau
Vietnam. Masih tingginya angka pengangguran, ancaman PHK, dan sulitnya mencari
kerja kini menjadi realitas yang harus dihadapi. Maka beredar ajakan #KaburAjaDulu,
mungkin karena apa yang dinarasikan dan reliatas yang terjadi seakan tidak
nyambung.
Kita memang
harus mengerti. Apa yang dirasakan anak-anak muda Indonesia hari ini adalah
aspirasi sekaligus ekspresi kegelisahan akan bangsanya sendiri. Mencari kerja
semakin susah. Sudah bekerja pun merasa jurang dihargai, bahkan gajinya dianggap
tidak sebanding dengan biaya hidup yang kian mencekik. Status pekerjaan kian
tidak pasti, kapanpun bisa diganti atau diberhentikan sehingga ancaman PHK
selalu menghantui. Kelas menengah kian menurun, kini hanya tinggal 17% dari sebelumnya
21%. Pekerja formal yang katanya ada 40% dari total angkatan kerja pun bila ditelisik
secara dokumentatif mungkin hanya 24%. Selebihnya bekerja di sektor informal,
yang lebih bersifat tidak pasti dari segi pendapatan maupun pekerjaannya.
ILO merekomendasikan
apa yang disebut “kerja layak”. Yaitu bekerja yang nyaman, produktif,
bermartabat, bebas diskriminasi, ada perlindungan sosial, dan punya gaji yang
memadai. Bukan bekerja yang kondisinya tidak nyaman, dihantui ketakutan oleg
PHK, atau sehhari-hari mebgeluh akibat gajinya tidak cukup. Maka #KaburAjaDulu semestinya
dipahami sebagai aspirasi kaum Gen Z dan milenial yang menuntut negara untuk menciptakan
iklim ekonomi dan dunia kerja yang layak, yang selalu tumbuh dan membangkitkan optimisme.
Gen Z dan milenial menyuarakan #KaburAjaDulu sebagai bentuk perlawanan moral untuk
mengajak semua pihak berpikir objektif, mengatasi kesenjangan antara harapan
dan kenyataan.
#KaburAjaDulu,
tentu harus dimaknai bukan ajakan secara harfiah untuk “bekerja di luar negeri”.
Akan tetapi sebagai metafora atas realitas dan harapan yang semestinya, di
samping menjadi pesan moral untuk pemimpin dan negara akan pentingnya memperkecil
kesenjangan sosial yang terihat semakin melebar. Ekonomi global memang sedang
melambat, ekonomi bangsa pun tidak seang baik-baik saja. Namun kebijakan dan
program nyata pemerintah pun jangan sampai malah kian menyusahkan masyarakat. Harus
ada kesesuaian antara yang dinarasikan dengan apa yang dilakukan. Di saat
kondisi tidak baik-baik saja, harus jelas perbadaan antara yang pantas
dilakukan dengan yang tidak pantas dilakukan. Intinya, harus nyambung.
Kita semua menyadari,
tidak ada negara yang tanpa masalah. Tidak ada negara tanpa ketimpangan sosial.
Tapi spirit dan perilaku untuk meningkatkan kualitas hidup Masyarakat harus
nyambung antara yag dikatakan dengan yang diperbuat. Dari hati yang paling
dalam dan dari pikiran yang jernih, jelas yang dirasakan menjadi “lebih baik”,
bukan “tidak lebih baik” atau “biasa-biasa saja”. Ajakan #KaburAjaDulu, harus
dimaknai sebagai kontrol sosial anak-anak muda terhadap bangsanya sendiri.
Untuk mengajak semua elemen bangsa, termasuk pemerintah melalukan introspeksi
diri dan memperbaiki keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
#KaburAjaDulu,
tentu bukan ajakan kabur ke luar negeri. Tapi jeda untuk berpikir ulang dan menata
kebijakan untuk mendekatkan harapan dan kenyataan, untuk menjadikan bangsa
Indonesia lebih baik ke depannya. Itulah suara konkret tentang cinta terhadap
bangsa Indonesia, memberikan pesan moral bukan membiarkan ketidak-beresan yang terjadi.
Salam literasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar