Kamu pernah menyebut kata “racun” nggak? Atau menyebut orang lain sebagai racun? Semoga nggak pernah ya. Karena racun itu jelek. Iya racun, zat yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara sehingga mengganggu kesehatan. Racun yang jadi “biang” penyakit, bahkan kematian. Tapi sayangnya, banyak orang yang nggak paham. Bahwa racun itu bukan hanya zat yang datangnya dari luar doang. Tapi ada juga racun yang datang dari diri sendiri. Namanya “racun jiwa”. Pikirannya sakit, hatinya rusak. Apakagi sikap dan perilakunya penuh racun.
Melihat
orang bahagia, kita yang menderita. Melihat orang maju, kita yang menggerutu.
Melihat orang berjaya, kita yang nggak rela. Orang lain nggak ngomong apa-apa disalah-salahkan.
Orang diam saja, tiba-tiba membenci dan menyerang semau-maunya. Orang nggak
ngapa-ngapain, tahu-tahu mengintimidasi dengan segala cara. Kerjanya hanya menyalahkan
orang lain. Tanpa mau menyalahkan diri sendiri. Itulah racun jiwa, ada pada diri
manusia yang harus “diberanguskan”. Bukan oleh orang lain tapi oleh diri
sendiri.
Tubuhnya
sehat, tapi hatinya penuh racun. Kerjanya membenci, iri dan dengki. Sukanya memusuhi
orang-orang yang nggak pantas dimusuhi. Gemarnya menyalahkan orang lain tanpa
mau “berkaca diri”. Maunya menang sendiri. Semua orang lain salah, hanya kita
yang benar sendiri. Jadi tersiksa hidupmya karena sifat hasad dan benci selalu
tersimpan dalam jiwa. Racun jiwa ada pada dirinya!
Saat
racun jiwa merasuk di kalbu. Pasti energi negatif, emosinya labil, dan kerjanya
mencari kambing hitam. Racun jiwa telah menguras pikiran, perasaan, bahkan hebatnya
mampu menghanguskan amal kebaikan. Sibuk mengomentari apa yang tidak harus
ditanggapi. Sibuk berburuk sangka terhadap apa yang tidak semestinya. Sibuk
menyalahkan dan mencari-cari keburukan. Hingga nggak punya tenaga, untuk
berbenah diri dan berkarya yang produktif.
Sungguh,
betapa lelahnya orang-orang yang hidup dalam racun jiwanya sendiri. Dunia
dipandang segalanya. Hidup dianggap sebatas kompetisi urusan dunia, lalu
menghalalkan segala cara. Akhlaknya hilang lenyap, adabnya pergi tanpa jejak. Pengen
senang tapi harus menyusahkan orang lain. Lalu status WA-nya bilang, Allah nggak
salah menempatkan takdirnya. Berbeda antara yang diomong dan dikerjakan, beda
antara fakta dan opini. Kok bisa? Karena hidupnya penuh racun jiwa.
Tampilannya
beragama. Tapi perangainya jauh dari Allah. Tidak suka melihat musuhnya diberi
nikmat dan anugerah dari Allah. Amalnya buruk, nasihat pun sudah nggak mempan
lagi. Sudah khatam dengan rasa benci, iri dan dengki. Sukanya berperang dan melempar
permusuhan. Racun jiwanya telah menghapus seluruh amal kebaikannya. Sudah lupa pesan
dari Imam Ali, “mereka yang mendengki, seperti meminum racun sendiri tapi
berharap orang lain yang mati”.
Mumpung
lagi puasa, cukup muhasabah diri. Saat puasa, lapar itu untuk menahan diri. Menahan
diri dari racun jiwa; hati yang dengki, pikiran yang kotor, sikap yang buruk,
dan perilaku yang menyalahkan orang lain. Tanpa mau introspeksi diri. Setiap tarikan
nafas isinya hanya rasa benci dan dengki. Sekali lagi penuh racun jiwa.
Boro-boro berbuat baik dan menebar manfaat ke orang lain.
Buanglah
racun jiwa itu, hindari penyakit hati. Karena tidak mungkin, kita yang meminum
racun lalu
berharap musuh kita yang terbunuh. Bertindak seperti Rumi, “jangan kau tanam
apapun kecuali cinta di hati”. Salam literasi #NgabubuRead #BacaBukanMaen
#TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar