Suatu kali, seorang kawan lagi curhat ke kawan lainnya. Bahwa gajinya nggak cukup dan tiap bulan selalu punya utang. Hanya untuk menutupi biaya hidup. Kondisi itu sudah berlangsung lama. Sayangnya, kawan yang jadi dicurhati bukannya buka dompet lalu menyisihkan sebagian uangnya untuk membantu. Ehh, malah dinasihati akan pentingnya menabung dan disuruh beli barang sesuai kebutuhan. Diminta soslui malah menggurui.
Minat jadi guru rendah. Tapi minat menggurui sangat tinggi. Ada
anak yatim yang kesulitan biaya hidup sehari-hari. Malah dinasihati untuk rajin
belajar dan membantu ibunya. Agar kelak menjadi anak yang berbakti. Jadi, kapan
anak yatim dibantu biaya sekolah bila hanya dinasihati?
Minat jadi guru memang rendah tapi minat menggurui tinggi. Dalih
itu bisa jadi benar dan terjadi di gerakan literasi dan taman bacaan di
Indonesia. Ketika banyak orang lebih senang membahas “minat baca” daripada tersedianya
“akses bacaan”. Seminar-seminar dan ruang diskusi yang hanya mempersoalkan
minat baca. Tanpa pernah berjuang dan ikhtiar konkret untuk menyediakan akses
bacaan. Gerakan literasi dan taman bacaan akhirnya “dibesarkan” oleh nasihat
dan narasi. Sementara aksi nyata dan kiprah konkret kian terbatasi. Anak-anak
kampung usia sekolah di pelosok dan berbagai daerah hanya bisa menunggu “kebijakan”
literasi. Entah, sampai kapan literasi dan taman bacaan diisi oleh
nasihat-nasihat? Itulah “PR” bangsa ini yang katanya mau memilih pemimpin baru
di tahun 2024. Lagi-lagi, minat jadi guru memang rendah. Tapi minat menggurui
kian meninggi.
Dari waktu ke waktu, bisa
jadi minat menggurui makin tinggi. Apalagi di era media sosial. Semua orang berebut
“panggung” untuk banyak berbicara, bahkan berdebat. Agar dianggap orang pintar
lalu meraih pujian. Lihat saja di ruang seminar dan diskusi. Agar mendapat
perhatian, dan jadi orang yang paling sering muncul. Sekaligus
latihan meninggikan diri dan merendahkan yang lain. Orang pintar menggurui
kadang lupa, masalah dan problema sosial itu harusnya diselesaikan secara
konkret. Bukan dengan nasihat atau narasi yang baik. Ubah niat baik jadi aksi
nyata.
Jadilah guru, sekalipun bersifat informal. Tidak usah menggurui. Begitulah
prinsip yang diterapkan oleh wali baca dan relawan di Taman Bacaan Masyarakat
(TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Konkretnya, selama 6 hari dalam
seminggu membimbing anak-anak yang membaca buku, mengajar calistung kelas
prasekolah, mengajar baca tulis kaum buta aksara, melayani anak difabel, mengelola
koperasi simpan pinjam, hingga menjalankan aktivitas motor baca keliling ke
kampung-kampung yang tidak punya akses bacaan. Tanpa pamrih tetap ikhtiar ada
dan hadir di taman bacaan, sesuai dengan ketersediaan waktu
masing-masing. Atas nama kemanusiaan dan kepedulian, wali baca dan relawan TBM
Lentera Pustaka dilatih dan dibiasakan untuk berbuat tanpa banyak berbicara. Bila
aksi nyata sudah dilakukan, sebagai Pendiri TBM Lentera Pustaka, saya pun
selalu mengajak dan apresiasi mereka nongkrong di kafe-kafe. Karena literasi
dan taman bacaan, hanya bisa bertahan atas dasar komitmen dan konsistensi dalam
tindakan, bukan omongan.
Jadilah
“guru” di taman bacaan. Karena tidak ada kekuatan untuk perubahan yang lebih
besar daripada komitmen untuk bertindak nyata. Apalagi urusan literasi dan
membaca buku. Harus ada kesepenuh-hatian untuk mengelola dan mengurusinya.
Sebab, Tindakan yang konkret pasti lebih berharga daripada niat yang megah.
Ini hanya soal pilihan,
lebih senang jadi guru atau hanya menggurui. Sejatinya, lebih baik membaca buku
daripada membahas buku di ruang seminar. Untuk berguru pada buku, dan menggurui
diri sendiri. Agar mau memperbaiki diri dan selalu menebar manfaat kepada orang
lain yang membutuhkan. Cukup dari diri sendiri, dari yang kecil, dan dari
sekarang. Salam literasi! #BacaBukanMaen #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar