Ada benarnya, bila ada yang menyebut hidup itu pertarungan. Seperti bertarung merebut kekuasaan. Hingga MK pun “memaksa” capres-cawapres yang usianya belum 40 tahun tapi bisa ikut pilpres karena sudah pernah jadi kepala daerah. Bertarun untuk bekerja, bertarung selesaikan studi, hingga bertarung untuk bertahan di taman bacaan. Hampir semuanya, isinya pertarungan. Maka saat bertarung, dibutuhkan kekuatan dan keberanian untuk bertarung.
Memang benar, hidup tidak
pernah lepas dari pertarungan. Semenjak masih kanak-kanak sudah berebut mainan,
berebut makanan, berebut perhatian. Sebuah pertarungan masa kecil yang dipupuk sejak
dini. Beranjak remaja pun pertarungan berlanjut. Bertarung meraih sekolah favorit,
bertarung agar bisa jadi juara kelas. Dan di usia dewasa pun, pertarungan kian
memanas. Bertarung meraih jabatan dan pangkat, bertarung untuk gaya hidup.
Bahkan bersaing untuk meraih kekuasaan, untuk saling mempengaruhi satu sama
lainnya.
Bahkan kini, bertarung pun
kian merajalela. Bertarung untuk kemewahan, bertarung untuk meraih gengsi dan
pujian. Hidup yang terlalu keras, semuanya dijadikan arena pertarungan.
Pilihannya hanya menag atau kalah. Jika menang bole hapa saja. Sebaliknya bila
kalah, jangan banyak bicara. Seperti zaman perang dulu, hidup mati. Merdeka
atau punah. Akibat “api” pertarungan yang dikobarkan.
Seperti pegiat literasi
di taman bacaan nasyarakat pun bertarung. Berjuang keras untuk tetap eksis dan
bertahan di era digital. Mencari donatur buku bacaan, membuka relasi untuk bisa
mendukung biaya operasional sekecil apapun. Bahkan bertarung untuk melawan sikap
apatisme dan ketidak-pedulian banyak orang. Taman bacaan yang selalu bertarung
tanpa batas waktu. Hanya untuk menegakkan kegemaran membaca buku anak-anak, di
samping membangun budaya literasi Masyarakat. Sebutlah, pertarungan literasi
yang tidak akan pernah usai. Begitulah ritme kehidupan manusia pada umumnya.
Selalu dihadapkan pertarungan, terpaksa harus bertarung. Kata orang pintar,
harus mampu berkompetisi.
Tidak masalah untuk
bertarung. Sah-sah saja masuk ke gelanggang pertarungan. Apapun dan di mana
pun. Karena begitulah realitasnya, harus bertarung. Bahkan hidup menjadi lebih dinamis
dan berwarna. Saat siapapun memiliki daya juang, punya keinginan untuk meraih
cita-citanya. Bertarung untuk mendapatkan apa yang harus didapatkan.
Namun harus diingat,
semua pertarungan pada akhirnya akan selesai pada satu titik. Saat kita tidak
lagi mampu bertarung. Ada waktu di mana kita hanya bisa menikmati seluruh hasil
pertarungan. Saat kematian tiba, saat nafas sudah ditakdirkan untuk berhenti.
Saat tidak ada lagi yang bis akita lakukan. Selain diperlihatkan nanti, tentang
bagaimana cara kita bertarung untuk menjadi pemenang? Baik atau tidak baik,
bermanfaat atau tidak bermanfaat?
Maka mumpung masih ada
waktu, bertarunglah dengan elegan. Bertarung sesuai aturan main yang sudah
ditetapkan. Bukan justru menciptakan aturan sendiri yang merugikan orang
banyak. Ketika pertarungan tidak dapat dihindari, maka pilihannya jadilah
pemenang yang bermartabat. Agar esok, saat diputar ulang cctv tetap mampu
tersenyum. "Dan bumi (Padang Mahsyar) menjadi terang-benderang dengan
cahaya (keadilan) Tuhannya; dan buku-buku (perhitungan perbuatan mereka)
diberikan (kepada masing-masing), nabi-nabi dan saksi-saksi pun dihadirkan lalu
diberikan keputusan di antara mereka secara adil, sedang mereka tidak
dirugikan.” (QS. Az-Zumar 39: 69).
Jadi, bertarunglah dengan elegan.
Karena sesungguhnya, kita baru tahu siapa yang menang dan kalah di akhir
kehidupan. Dan percayalah, tidak ada pertarungan
yang dapat mengakhiri semua pertarungan selagi masih di dunia. Hingga tiba
waktunya. Kalah bertarung akibat kematian yang tidak berarti dan kebencian tanpa akhir. Itulah bertarung yang sejati.
Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar