Terkadang kita lupa. Dia yang di masa muda berbadan tegap, akhirnya akan mengeriput kulitnya. Dia yang di saat muda terkesan merawat badannya, akhirnya pun beruban. Dia yang menumpuk harta dan kekayaan pada akhirnya ditinggalkan. Dia yang dulu sehat akhirnya sakit. Bahkan dia yang dulu dianggap orang terpandang pada akhirnya lemah tidak berdaya. Maka dia yang diberikan umur panjang pun pasti menua, sehebat apapun di masa mudanya.
Di usia yang tersisa. Siapapun, jangan
terlalu keras untuk menyesuaikan diri dengan dunia. Jangan terlalu keras
berteriak untuk menghakimi orang lain lain. Jangan pula terlalu berjuang untuk
segala hal yang pada akhirnya ditinggalkan. Karena di usia yang tersisa, kita
tetap ada bukan untuk menetap di bumi selamanya. Siapapun akan “pergi” pada
akhirnya. Lalu, apa yang sudah disiapkan untuk kepergiannya?
Banyak orang memaksa diri terlihat muda. Bahkan
tidak sedikit yang berjuang untuk tampak tetap muda. Menghindari usia tua, menutupi
uban hingga bergaya seperti anak-anak muda. Kita terlalu percaya diri akan
diberi umur panjang, Hingga akhirnya, nasihat kematian pun selalu dianggap
angin lalu.
Lagi-lagi kita sering lupa. Kemarin kita
masih sempat bertemu kawan lama. Tapi hari ini dia sudah tidak ada. Belum lama
berjumpa dengannya, ternyata mendengar kabar dia meninggal dunia. Bahkan seorang
sahabat tampak sehat dan selalu olahraga, ternyata hari ini dikabarkan terbaring
sakit. Kita selalu menganggap pintu ampunan masih terbuka, padahal belum tentu
bisa sudah tidak bisa lagi mengerjakannya. Selalu menganggap perbuatan baik
bisa ditunda, padahal belum tentu esok masih ada. Di usia yang tersisa,
akhirnya semuanya terlambat.
Di usia tersisa, siapapun. Memang hari ini, kita
masih ada di atas tanah. Tapi esok, bisa jadi tanah yang di atas kita. Hari ini
kita masih terlihat sehat. Tapi esok terbaring lunglai tidak berdaya. Tatapannya
lemah, bahkan belum tentu mengenali siapapum. Lalu, apa artinya usia yang
tersisa?
Maka di usia yang tersisa. Jangan lagi banyak canda
yang tidak perlu. Apalagi terlibat pada pergaulan yang tidak ada manfaatnya. Terbuai
euforia masa muda yang sudah terlewatkan. Hingga lupa untuk selalu berbuat baik
di mana pun. Hingga lupa menebar manfaat kepada orang lain sekecil apapun.
Mumpung masih ada kesempatan.
Di usia yang tersisa. Sakit bisa datang tiba-tiba.
Menjadi tua pasti dialami siapapun. Uban tidak lagi bisa dicegah. Bahkan kematian
tidak pernah menunggu kita untuk jadi orang baik. Karena kematian pasti datang
tepat waktu. Tidak terlalu cepat, tidak pula terlambat.
Di usia yang tersisa. Siapapun hanya jadi
kenangan. Hanya jadi cerita yang terlewati. Karena dia akan melupa. Dia pun
menua. Dan akhirnya dia akan bertemu kematian. Semuanya, hanya tinggal menunggu
waktu. Untuk pergi selama-lamanya. Entah, seberapa siap bekal yang dibawa
kelak?
Muhasabah, itulah momen penting di usia yang
tersisa.
Karena banyak orang meyakini adanya maut,
namun tidak mempersiapkannya. Karena banyak orang tahu ada neraka, namun tidak
pernah takut akan siksanya. Karena banyak orang ingin ke surga, namun tidak beramal
untuknya. Dan yang lebih menakjubkan, banyak orang tahu dunia adalah tipu daya,
namun tetap rakus untuk mendapatkannya. Banyak orang lalai di usia yang tersisa.
Maka, di usia yang tersisa. Hanya perbuatan baik
yang menyelamatkan kita. Hanya manfaat yang ditebarkan yang mengantarkan kita.
Hanya amal ibadah yang memberkahi kita. Hidup bukan lagi ladang pencarian tapi
berubah menjadi ladang amal, di usia yang tersisa.
Di usia yang tersisa, untuk apa hidup bila masih
tidak mau beribadah dan berbuat baik? Karena hanya Allah SWT tempat bergantung kita,
bukan yang lainnya.
Salam literasi #PegiatLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar