Kang Sabil, seorang guru SMK di Cirebon Jawa Barat dipecat dari sekolah tempatnya mengajar gara-gara menulis kata 'maneh' di postingan instagram Kang Emil, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Jadi, apa yang salah dengan kata “maneh”?
Ini bagian dari
pembelajaran bahasa. Dalam pengamatan saya, kata “maneh” sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari konteks berbahasanya. Sepertinya kata “maneh” ini menjadi
bagian dari ujaran yang terjadi di instagram untuk menjelaskan sebuah makna
dalam situasi pembicaraan. Sebagai kata pendukung yang digunakan untuk
menambah kejelasan makna. Seperti Kang Sabil bertanya “makna” Kang Emil
sebagai Gubernur Jabar, sebagai kader partai atau sebagai pribadi?
Nah, terkait kata “maneh”
yang digunakan Kang Sabil ke Kang Emil di IG, mungkin patut dicermati pemaknaannya.
Secara subjektif, setidaknya ada 3 (tiga) makna yang dapat dicermati:
1.
Bila kata “maneh” dimaknakan “sudah”. Di sini kata “maneh” berfungsi sebagai
kata keterangan (adverbia) yang menyatakan waktu tertentu. Keterangan tentang peristiwa
sudah berlalu. Misalnya kalimat “Abdi maneh diajar ku kuring” yang
artinya “saya sudah diajari oleh dia”. Bila kata “maneh” berarti sudah,
maka kata atau ujaran tersebut tidak ada masalah. Hanya menegaskan waktu saja.
2.
Bila kata “maneh” dimaknakan “kamu”. Di sini kata “maneh” berfungsi
sebagai kata ganti orang (pronomina) yang digunakan
untuk menunjuk subjek atau objek tanpa harus mengulang penyebutan namanya. “Maneh”
sebagai penyebutan orang secara tidak langsung. Tujuannya untuk menghemat
waktu dalam konteks percakapan sehari-hari, di samping merasa ada kedekatan
emosional. Misalnya sebutan “ari maneh”
yang berarti “dasar kamu”. Tapi sayangnya, kata
“maneh” yang berarti “kamu” menjadi tidak sopan alias dianggap kasar bila
digunakan untuk menyapa orang yang lebih tua. “Maneh” yang tidak sopan, tidak pantas untuk menyebut
orang yang lebih tua atau pejabat publik. Maka saya menduga, kat “maneh” yang
sebagai kata ganti “kamu” inilah yang dianggap jadi masalah. Karena dianggap
tidak sopan, tidak santu dalam berbahasa.
3.
Bila kata “maneh” dianggap sebagai gaya bahasa selingkung yang berfungsi
sebagai gaya penulisan yang khas dan identic dengan lingkungan
tertentu, dalam hal ini kultur dan pengguna bahasa Sunda. Maka kata “maneh”
hanya terbatas pada satu lingkungan tertentu, berbeda dengan lingkungan yang
lain. Gaya selingkung memang terjadi dan pasti ada di daerah masing-masing.
Sebagai ciri khas dan unik yang tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Bila
kata “maneh” memang berterima di lingkungan pergaulan Sunda, maka kata itu
tidak ada masalah. Ini soal budaya dan bahasa yang disepakati.
Jadi, apa yang salah dengan kata “maneh”?
Dugaan kuat saya, penggunaan kata “maneh” yang berarti “kamu”
sebagai kata ganti orang inilah yang salah. Karena dianggap tidak sopan, tidak
santun dalam berbahasa. Maka pelajaran pentingnya adalah siapapun pemakai bahasa
harus menjunjung tinggi “kesantunan berbahasa” (language
politeness).
Yule (2015) menegaskan kesantunan berbahasa merupakan tindakan yang menunjukkan kesadaran dan
pertimbangan seseorang saat bertutur. Kesantunan berbahassa menjadi hal utama dalam memilih bentuk ujaran, selain
dari maksud yang sebenarnya. Kesantunan berbahasa itu soaletika dan aturan
perilaku berbahasa yang disepakati bersama sebagai prasyarat norma perilaku
sosial. Harusnya, berbahasa tidak cukup hanya logis
dan realistis. Tapi harus memuat kosakata yang tidak megandung unsur sentimen,
kebencian, atau caci-maki.
Menurut saya, berbahasa di media sosial atau di dunia politik harus “concern”
dengan kesantunan berbahasa. Bahasa menjadi tidak santun, biasanya dilandasi
oleh 4 (empat) ciri perilaku berbahasa, yaitu:
1. Akibat
keinginan mengkritik yang dilandasi sikap dan pikiran negatif.
2. Akibat memberi komentar dan pendapat
atas dasar emosi personal.
3. Akibat bertutur atas dorongan
kebencian dan kecurigaan.
4. Akibat ambisi dan nafsu untuk
memojokkan seseorang atau lawan politik yang tidak disukainya.
Atas
kondisi psikologis itulah, seseorang cenderung memilih kata-kata dan diksi yang
tidak santun. Ada muatan emosi dan kebencian.
Bahasa, memang sudah jadi ruang yang paling bebas dan terbuka untuk
ekspresi apapun. Maka berbahasa pun tidak boleh asal jeplak, harus mampu memilih
kosakata yang pas aplagi di ruang publik seperti media sosial. Dan yang
terpenting, berbahasa pun harus memegang prinsip kesantunan pada setiap ujaran.
Karena bahasa bukan hanya logis dan politis tapi juga harus etis. Selain
menjadi alat pemersatu dan alat komunikasi, bahasa juga harus mampu mempertegas
jati diri dan karakter bangsa yang baik, benar, dan santun.
Sejatinya, kata “maneh” hanya soal kesantunan berbahasa. Maka mulailah
memilih sikap positif dalam berbahasa, di samping tetap menjunjung kesantunan
berbahasa. Agar bahasa tidak kian terpenjara oleh pemakainya sendiri. Salam
literasi #KajianBahasa #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar