Objektivitas pers seharusnya jadi topik utama di Hari Pers Nasional kali ini. Bercermin dari kasus status tersangka Hasya, mahasiswa UI yang meninggal dunia dalam kecelakaan usai dilindas oleh pensiunan polisi. Ada pelajaran tentang objektivitas pers dalam pemberitaaan. Walau Polda Metro Jaya tekah mencabut status tersangkanya, bahkan berjanji untuk memulihkan nama baik alm. Hasya. Terbukti ada tindakan tidak objektif di penyidik Polda Metro Jaya. Karena ada ketidaksesuaian prosedur dalam penyidikan kasus kecelakaan. Hingga penyidik pun kini dalam proses siding kode etik.
Tidak dapat dipungkiri, berita memang
harus sesuai fakta. Tapi pers sepatutnya “tidak kehilangan” objektivitas. Untuk
mempertanyakan, kenapa orang yang tertabrak dan meninggal dunia dijadikan tersangka?
Di mana logika dan hati nuraninya? Sikap objektif inilah yang semestinya selalu
diusung pers saat menyajikan berita. Untuk tidak memihak dan tetap berimbang. Insan
pers harus berdiri di tengah. Sebagai satu-satunya sumber informasi yang valid
dan bisa diterima publik. Namun bila objektivitas pers sudah terkontaminasi,
lalu ke mana lagi masyarakat bisa mencarinya?
Bila disepakati, objektivitas
berita sebagai suatu keadaan berita yang disajikan secara utuh dan tidak bersifat memihak.
Maka prinsip “cover both side” menjadi penting dikedepankan. Bukan hanya
menyajikan fakta dan argumen dari salah satu sumber berita saja. Tapi mampu di-cross check ke pihak-pihak lain yang
layak menjadi sumber berita. Objektivitas pers, lagi-lagi, jadi prinsip yang
harus dijunjung tinggi pers nasional. Sebagai standar profesionalisme yang mencerminkan
keadilan, kenetralan, faktualitas, dan nonpartisan.
Jadi pertanyannya, apakah pers hari ini
masih objektif?
Tentu dapat diperdebatkan. Tergantung dari
sudut pandang apa dan siapa yang bicara? Tapi intinya, objektivitas sangat
patut menjadi tema besar pers nasional di mana pun. Agar pembaca tidak bingung
atau sulit memilah mana berita yang benar mana yang tidak benar. Bila hari ini,
ada tempat untuk mencari berita yang objektif dan berimbang. Itulah pers atau
media. Berita yang bersandar pada fakta dan data di lapangan. Bukan sekedar
memenuhi hausnya informasi masyarakat yang makin kepo.
Objektivitas pers, tentunya tidak hanya
berbasis logika. Tapi melibatkan hati nurani dan etika. Berita yang mampu
mengungkap keadaan yang sebenarnya. Tanpa dipengaruhi pendapat atau opini pihak
manapun. Pers yang oibjektif dan independent, maka setiap berita yang disajikan
mampu menjadi informasi yang mencerdaskan. Bukan justru menimbulkan kebingungan
atau “ketakutan” masyarakat. Bagaimana tidak takut, bila di banyak kasus, faktanya
sebagai “korban” justru menjadi “tersangka”? Secara jujur, saya pun takut.
Objektivitas pers memang patut
dikedepankan. Agar masyarakat pun mampu melihat suatu peristiwa dari sudut
pandang yang benar. Karena berita yang baik belum tentu benar. Dalam konteks
obketivitas, bila perlu pers menjadi “pemantik” bagi masyarakat untuk bertindak
dalam segala aktivitas informasi dan komunikasi. Utamanya di media sosial. Berita
tidak perlu penuh sensasi, kadang juga bukan untuk mencari salah. Tapi berita,
cukup untuk tidak menyudutkan pihak tertentu. Berita yang hanya menyajikan
fakta dan data yang sebenarnya.
Westerstahl dalam McQuail (2005) tentang
objektivitas menyebut pers harus
menjunjung tinggi dua hal, yaitu 1) faktualitas yang bertumpu pada kebenaran
dan relevansi dan 2) keadilan yang bertumpu pada keberimbangan dan netralitas.
Maka berita yang objektif tidak cukup hanya benar dan relevan bila tidak
memenuhi berimbang dan netral. Karena itu, berita apa pun harus bersifat
faktual dan adil. Bukan berita yang menyesatkan atau berita yang tidak didasari
iktikad baik sumber berita.
Maka di Hari Pers Nasional ini, ada secercah
harapan. Untuk menngingatkan pentingnya objektivitas pers. Agar lebih berani menyingkirkan
segala hal subjektif dalam berita. Tetap netral dan proposrsional dalam
pemberitaan. Berita yang tidak harus memojokkan pihak tertentu. Sebagai
pembelajaran kepada masyarakat akan pentingnya sikap objektif. Karena sejatinya,
berita bukan hanya untuk diketahui. Melainkan harus dipahami sebagai kebenaran.
Objektivitas berita adalah logika yang
dibalut hati nurani. Bukan hanya kecepatan informasi, apalagi distribusi berita
yang luas. Apapun alasannya, berita harus layak dipercaya. Karena 1) beritanya
mencerdaskan, 2) beritanya sangat akurat, dan 3) beritanya berimbang. Berita
yang bertumpu pada esensi, bukan sensasi. Agar berita yang objektif mampu
memberi dampak positif bagi masyarakat sekaligus mampu memperbaiki tatanan informasi
masyarakat ke arah yang lebih baik.
Apalagi jelang Pilpres ke depan. Bukan
tidak mungkin, banyak berita yang makin gampang “digoreng” ke sana ke mari. Berita
bohong atau hoaks tanpa bisa dipertanggungjawabkan. Jadi pers harus tetap
objektif. Untuk terus menyuarakan kebenaran yang hakiki, tanpa keberpihakan
sedikit pun. Untuk menyajikan berita, bukan cerita. Salam Hari Pers Nasional
#JurnalistikTerapan #HariPersNasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar