Rabu, 22 Februari 2023

Anak Pejabat dan Debt Collector, Sebuat Tinjauan Literasi

Tiba-tiba saja hari ini, media massa dihebohkan berita viral. Tentang ulah “anak pejabat” pajak yang menganiaya anak di bawah umur hingga masuk rumah sakit. Ditambah lagi tingkah “debt collector” yang membentak-bentak dan memaki polisi saat mau merampas paksa kendaraan seorang selebgram. Ada-ada saja, anak pejabat dan debt collector.

 

Sebagai masyarakat awam, saya suka bingung. Kok bisa-bisanya, anak pejabat bertindak semena-mena dan menganiaya orang lain. Yang pejabat itu kan bapaknya, bukan anaknya. Bertingkah arogan, sok kebal hukum, dan yang parahnya suka menggunakan kekuasaan bapaknya untuk intimidasi dan melawan hukum. Memang tidak semuanya anak pejabat bertindak buruk. Tapi mau sampai kapan tingkah laku anak pejabat di negeri ini yang arogan model begitu? Apaagi sok pamer harta, gaya hidup, dan kemewahan. Memuakkan, anak pejabat lakonnya kayak begitu.

 

Anak pejabat sering lupa. Pejabat itu artinya pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting, Alias pimpinan di satu instansi. Itu berarti, seseorang diangkat jadi pejabat itu karena prestasi atau keteladanan. Bisa dicontoh anak buah atau mampu jadi panutan. Tapi kenapa lakon anak pejabat malah sebaliknya? Berarti, ada yang “salah” dalam menanamkan nilai-nilai tentang pejabat selama ini. Apalagi bila ulah anak pejabat sampai meruntuhkan integritas dan citra lembaga pemerintahan.

 

Maka wajar Ibu Menteri ikut mengomentari soal ulah anak pejabat. Mengecam gaya hidup mewah yang dipertontonkan ke public sehingga menimbulkan erosi kepercayaan terhadap integritas lembaga pemerintahan. Bikin reputasi jadi negatif akibat ulah segelintir oknum pejabat dan keluargaya. Sudah saatnya status dan nilai-nilai anak pejabat itu dibenahi. Bapaknya yang menjabat kok anaknya yang bertingkah.

 


Satu lagi soal “debt collector” alias penagih utang. Bisa jadi ini cerita lama yang belum usai. Berapa banyak orang yang ketakutan akibat ulahnya? Kasar dan menyeramkan. Selain penuh intimidasi, tidak jarang penagih utang menggunakan kekerasan fisik maupun verbal. Tunggakan utang atau apapun, apa tidak bisa diselesaikan dengan cara baik-baik? Kenapa harus ada intimidasi dan kesan menakutkan? Katanya negara hukum, kenapa hukum tidak ditegakkan?

 

Sebagai awam lagi, saya pun pernah “dipakai” nama dan nomor telepon untuk orang lain yang berurusan dengan pinjol. Saya nggak tahu kapan meminjamnya, berapa dan untuk apa? Kok bisa-bisanya saya dihubungi untuk urusan “utang pinjol” orang tersebut? Apa segitu mudahnya orang ber-utang lalu menyerahkan urusan tunggakan kepada orang lain yang tidak tahu-menahu. Di mana letak keadilan, di mana hak asasi manusia kalau begitu?

 

Orang lain yang ber-utang, orang lain yang menggadaikan. Tapi ujungnya “si pemilik’ yang tidak tahu-menahu yang diuber-uber. Diintimidasi, diteror, dan lain sebagainya. Mau sampai kapan peradaban semacam ini terus ada? Siapa yang datang dan mengajukan ke lembaga pembiayaan, maka dialah yang harus bertanggung jawab. Jangan dilimpahkan kepada orang lain.

 

Yah, mohon maaf saja, Ini sekadar uneg-uneg. Kok masih ada model anak pejabat yang berulah arogan dan sok kuasa? Kok bisa-bisa “debt collector” akhirnya mengintimidasi orang yang tidak tahu-menahu urusan utang-piutang yang dilakukan saudara, kerabat atau orang lain? Jadi, adil itu untuk siapa dan bagaimna caranya?

 

Begitulah nyatanya, tentang anak pejabat dan debt collector. Kenapa harus viral soal ulah anak pejabat, tingkat debt collector? Pendidikan model apa yang sedang dipertontonkan?Apa sudah tidak ada “berita baik” di negeri ini? Alhamdulillah saja, saya tidak berhubungan dengan anak pejabat dan debt collector. Salam literasi peradaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar