Tiba-tiba saja hari ini, media massa dihebohkan berita viral. Tentang ulah “anak pejabat” pajak yang menganiaya anak di bawah umur hingga masuk rumah sakit. Ditambah lagi tingkah “debt collector” yang membentak-bentak dan memaki polisi saat mau merampas paksa kendaraan seorang selebgram. Ada-ada saja, anak pejabat dan debt collector.
Sebagai masyarakat
awam, saya suka bingung. Kok bisa-bisanya, anak pejabat bertindak semena-mena dan
menganiaya orang lain. Yang pejabat itu kan bapaknya, bukan anaknya. Bertingkah
arogan, sok kebal hukum, dan yang parahnya suka menggunakan kekuasaan bapaknya
untuk intimidasi
dan melawan hukum. Memang tidak semuanya anak pejabat bertindak buruk. Tapi mau
sampai kapan tingkah laku anak pejabat di negeri ini yang arogan model begitu? Apaagi
sok pamer harta, gaya hidup, dan kemewahan. Memuakkan, anak pejabat lakonnya
kayak begitu.
Anak pejabat sering lupa. Pejabat
itu artinya pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting, Alias
pimpinan di satu instansi. Itu berarti, seseorang diangkat jadi pejabat itu
karena prestasi atau keteladanan. Bisa dicontoh anak buah atau mampu jadi
panutan. Tapi kenapa lakon anak pejabat malah sebaliknya? Berarti, ada yang “salah”
dalam menanamkan nilai-nilai tentang pejabat selama ini. Apalagi bila ulah anak
pejabat sampai meruntuhkan integritas dan citra lembaga pemerintahan.
Maka wajar Ibu Menteri
ikut mengomentari soal ulah anak pejabat. Mengecam gaya hidup mewah yang dipertontonkan
ke public sehingga menimbulkan erosi kepercayaan terhadap integritas lembaga
pemerintahan. Bikin reputasi jadi negatif akibat ulah segelintir oknum pejabat
dan keluargaya. Sudah saatnya status dan nilai-nilai anak pejabat itu dibenahi.
Bapaknya yang menjabat kok anaknya yang bertingkah.
Satu lagi soal “debt collector” alias penagih
utang. Bisa jadi ini cerita lama yang belum usai. Berapa banyak orang yang
ketakutan akibat ulahnya? Kasar dan menyeramkan. Selain penuh intimidasi, tidak
jarang penagih utang menggunakan kekerasan fisik maupun verbal. Tunggakan utang
atau apapun, apa tidak bisa diselesaikan dengan cara baik-baik? Kenapa harus
ada intimidasi dan kesan menakutkan? Katanya negara hukum, kenapa hukum tidak
ditegakkan?
Sebagai awam lagi, saya pun pernah “dipakai” nama
dan nomor telepon untuk orang lain yang berurusan dengan pinjol. Saya nggak
tahu kapan meminjamnya, berapa dan untuk apa? Kok bisa-bisanya saya dihubungi
untuk urusan “utang pinjol” orang tersebut? Apa segitu mudahnya orang ber-utang
lalu menyerahkan urusan tunggakan kepada orang lain yang tidak tahu-menahu. Di
mana letak keadilan, di mana hak asasi manusia kalau begitu?
Orang lain yang ber-utang, orang lain yang
menggadaikan. Tapi ujungnya “si pemilik’ yang tidak tahu-menahu yang diuber-uber.
Diintimidasi, diteror, dan lain sebagainya. Mau sampai kapan peradaban semacam
ini terus ada? Siapa yang datang dan mengajukan ke lembaga pembiayaan, maka
dialah yang harus bertanggung jawab. Jangan dilimpahkan kepada orang lain.
Yah, mohon maaf saja, Ini sekadar uneg-uneg. Kok
masih ada model anak pejabat yang berulah arogan dan sok kuasa? Kok bisa-bisa “debt
collector” akhirnya mengintimidasi orang yang tidak tahu-menahu urusan
utang-piutang yang dilakukan saudara, kerabat atau orang lain? Jadi, adil itu
untuk siapa dan bagaimna caranya?
Begitulah nyatanya, tentang anak pejabat dan debt
collector. Kenapa harus viral soal ulah anak pejabat, tingkat debt collector? Pendidikan model apa yang sedang dipertontonkan?Apa sudah tidak ada “berita
baik” di negeri ini? Alhamdulillah saja, saya tidak berhubungan dengan anak
pejabat dan debt collector. Salam literasi peradaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar