Riset “We Are Social” (2022) merilis rata-rata orang Indonesia menghabiskan 3 jam 23 menit sehari untuk mengakses media sosial. Datanya, 70% penduduk Indonesia tercatat sebagai pengguna aktif media sosial. Sekitar 171 juta orang akti di medsos. Wajar bila Indonesia masuk “10 besar” bangsa paling aktif di medsos. Jempol dua untuk Indonesia.
Katanya lagi, WhatsApps (WA)
jadi medsos yang paling digemari, mencapai 88,7%. Sangat pantas bila gibah,
gosip, hoaks, bahkan fitnah makin digemari. Tanya saja pada tiap orang, berapa
banyak ikut grup WA? Banyak positifnya apa negatif? Terus, diikuti Instagram
84,8% dan Facebook 81,3%. Sementara TikTok ada di 63,1% dan Telegram 62,8%. Itu
hanya data saja biar tidak hanya jadi pengguna.
Tapi soalnya bukan itu. Soal
relasi medsos dan netizen sebagai pengguna aktif medsos. Pertemuan indah antara
medsos yang lapar dan netizen yang mampu dikenyangkan oleh medsos. Sebuah
konspirasi yang jadi sebab medsos salah pakai dan netizen merasa “boleh apa
saja” di medsos. Apalagi netizen negara +62, sudah dikenal galak-galak, agresif
dan semau-maunya. Terlalu gampang mencaci-maki tanpa tahu masalahnya. Mudah
menghujat atas nama kepedulian. Seperti yang dialami istri Indra Bekti saat
menggalang dana untuk biaya perawatan suaminya. Pokoknya asal modal benci,
semua bisa dilakukan netizen. Makanya dibilang netizen “maha benar”. Biar nggak
pernah kasih makan, nggak pernah sekolahin. Netizen memang hobi membuat orang
lain atau publik figur “merana”. Literasi sebagai praktik baik, kadang berdiri di
antara laparnya medsos dan kenyangnya netizen.
Hebatnya netizen, untuk urusan makanan, fashion,
kosmetik, dan kendaraan bisa memilih dan memilah. Tapi giliran di medsos,
tiba-tiba gagal memilih dan memilah informasi atau berita. Netizen yang rakus
informasi, kenyang berita. Makin kepo, nggak peduli, bahkan hoaks dan gibah pun
jadi incaran. Medsosnya lapar, netizennya kenyang. Hanyut pada medsos, hobby
mem-bully orang lain di dunia maya. Jadilah seperti sekarang, tanpa mampu
menjadikan medsos lebih bermanfaat.
Laparnya medsos, kenyangnya netizen. Hari-hari ke
depan, bisa jadi akan semakin buas. Apalagi informasi ada di mana-mana. Bila
perlu informasi dan berita dibuat sendiri. Lalu sebarkan di medsos. Oleh
siapapun, atas motif apapun. Sikap cek dan ricek makin “jauh panggang dari
api”. Apapun yang penting sebarkan dulu, benar atau tidak itu belakangan.
Itulah pentingnya literasi media sosial. Agar mampu
medsos sebagai ladang amal, untuk kebaikan yang bermanfaat. Netizen pun harus
lebih elegan, nggak hanya reaksi tanpa tahu informasi sebenarnya. Hanya
literasi media sosial yang bisa mengingatkan bahwa medsos dan netizen harus
sama-sama bijak. Tahu dan bisa memilah dan memilih informasi yang layak dibaca
dan bahkan ditulis. Dan dimulai dari diri sendiri, bukan dari orang lain
apalagi pemerintah.
Media sosial itu ada bukan untuk menjatuhkan. Netizen
eksis bukan untuk menyesatkan. Jadilah literat dalam ber-medsos dan
ber-netizen.
Jadi menurut Anda, medsos dan netizen bagaimana?
Masih lapar atau sudah kenyang? Salam literasi #PegiatLiteraai #TamanBacaan
#TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar