Rabu, 20 Juli 2022

Literasi Gaya Hidup, Memaknai Citayam Fashion Week

 Citayam Fashion Week lagi viral. Anak-anak muda yang nongkrong di area Dukuh Atas Jl. Jend. Sudirman Jakarta sebagai tempat catwalk. Bak peserta kontes fashion di tempat-tempat mewah. Saking viralnya, mereka disebut remaja SCBD (Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok).

Mungkin Citayam Fashion Week bisa jadi pro kontra. Atau sebagian orang mungkin terheran-heran, kok bisa? Tempat penyeberangan jalan yang diubah menjadi catwalk, berjalan sambil memperlihatkan pakaian yang dikenakannya. Layak disebut model jalanan. Itulah realitas.

Selain sebagai ekspresi diri, Citayam Fashion Week sejatinya telah mempertontonkan tentang “realitas baru” sebagai jati diri anak-anak muda. Bahwa hidup yang bergaya itu tidak harus mahal. Pakaian itu tidak harus mewah. Apalagi merogoh kocek hingga puluhan atau ratusan juta hanya untuk tampil bergaya.



Acungan jempol pantas disematkan kepada anak-anak muda Citayam Fashion Week. Karena hampir semua pakaian yang dipakai dan diperagakan adalah barang-barang murah. Sesuai dengan kantong pribadinya. Dengan uang 30 ribu atau 50 ribu, mereka bisa tampil modis plus berkaca mata. Keren dan sah-sah saja. Bahwa bergaya dan modis itu tidak harus dengan barang mahal. Murah dan apa adanya adalah lebih baik.

Sementara di luar sana. Banyak orang ingin hidup bergaya tapi memaksakan diri. Berjiwa hedonis dan konsumeris. Padahal lebih besar pasak daripada tiang. Pengen hidup bergaya tapi tidak punya uang. Lalu berhutang atau memaksa diri hanya untuk kesenangan sesaat.

Jadi, Citayam Fashion Week harus diapresiasi. Sebagai gerakan moral untuk tampil apa adanya, tanpa perlu barang mahal untuk bisa bergaya. Citayam Fashion Week lebih dari sekadar ekspresi anak muda. Tapi sebagai gerakan untuk mengajak kembali hidup sesuai dengan kemampuannya. Hidup yang apa adanya, bukan ada apanya. Bergaya itu tidak harus mahal. Salam literasi #PegiatLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar