Kamis, 24 Maret 2022

Pegiat Literasi Taman Bacaan Ingatkan 4 Dampak Buruk Anak yang Sering Menonton TV

Era digital itu tidak selalu baik untuk anak-anak usia sekolah. Apalagi di masa pandemi Covid-19 begini. Banyak anak-anak yang menghabiskan waktu di rumah untuk menonton TV atau main gawai. Sekalipun PTM (pembelajaran tatap muka) sudah kembali normal, lalu siapa yang bisa menjamin anak-anak tidak lagi menonton TV? Budaya menonton TV inilah yang harus jadi perhatian banyak pihak.

 

Menonton TV bukan hanya hiburan. Tapi menonton TV pun butuh literasi. Studi Nielsen (2018) menyebut orang Indonesia mampu menghabiskan waktu menonton TV rata-rata 5 jam setiap harinya. Sementara main ponsel rata-rata 6 jam per hari. Sementara membaca buku atau berita hanya sekitar 55 menit. Artinya menonton TV dan main gawai lebih dominan dibandingkan membaca buku. Tapi sayang, tidak ada studi yang mengungkap. Berapa lama rata-rata orang Indonesia doyan ngomong? Atau membuang waktu untuk hal yang sia-sia, seperti bergunjing atau gosip?

 

Sekalipun datanya relatif sudah lama, Dr. Taufik Ismail (1996) pernah meneliti soal rendahnya minat baca di kalangan pelajar Indonesia. Mulai dari level SD hingga SMA. Selama 12 tahun sekolah, pelajar di Indonesia hamper tidak pernah membaca buku. Alias tidak ada satu buku yang utuh dibaca. Sementara di Jerman dan AS lulusan SMA rata-rata mampu membaca 32 buku, di Belanda rata-rata 30 buku, di Jepang anak-anak pelajar membaca 15 buku, di Swiss 15 buku, di Rusia 12 buku, di Brunei 7 buku, dan di Singapura 6 buk. Lalu, anak-anak pelajar Indonesia di mana?

 

Sementara perilaku membaca kian dikebiri, justru menonton TV kian digemari. Banyak orang lupa, menonton TV pun bisa berdampak buruk. Bila tidak mau dibilang berbahaya. Sebuah studi menyebut, menonton TV dua jam sehari saja dapat membuat orang merasa gelisah. Apalagi anak-anak usia sekolah, risiko depresinya pun sangat besar. Bisa mengalami gangguan ansietas. Sebauh keadaan tegang yang berlebihan atau tidak pada tempatnya.

 


Di Harian Media Indonesia, saya pun pernah menulis artikel tentang krisis spiritual yang ditimbulkan akibat menonton TV. Setidaknya, ada 4 (empat) krisis spiritual yang dialami seseorang akibat gemar menonton TV:

1.    Krisis informasi akibat melimpahnya informasi yang diterima tanpa ada eksekusi sehingga jadi sebab bingung dan imajinasinya terganggu,

2.    Krisis imajinasi sosial akibat banyaknya fantasi sosial yang ditayangkan tanpa mau lakukan aktualisasi diri di dunia nyata.

3.    Krisis budaya akibat ajaran gaya hidup TV yang merusak adab dan kebiasaan penontonnya sehingga menjadi inspirasi perilaku yang menyimpang.

4.    Krisis identitas akibat pengaruh tayangan yang tidak sesuai dengan realitas sehingga jkadi sebab goyah identitas, rapuhnya spiritual.

 

Bahkan di era yang kompetitif sekarang, banyak orang merasa hidupnya tidak berharga. Mudah frustrasi dan tidak percaya diri akibat sering menonton TV. Hidup yang kamuflase dan lebih gemar membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Hampir semua penonton TV ingin hidupnya bahagia. Tapi sayang, abuannya bukan diri sendiri melainkan orang lain. Ujungnya, jadi manusia yang pesimis dan berpikir negatif dalam hidup.

 

Berangkat dari realitas tontonan TV itulah, taman bacaan dan pegiat literasi dapat mengambil peran untuk menghidupkan kegemaran membaca buku anak-anak. Agar tidak terlindas dari dampak buruk menonton TV atau bermain gawai. Taman bacaan harus memainkan peran untuk mengimbangi perilaku menonton TV dengan membaca buku. Spirit itulah yang mendasari Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak untuk meyelematkan masa depan anak-anak usia sekolah melalui buku bacaan. Agar terbentuk kebiasaan membaca buku sehari-hari, sebagai penyeimbang aktivitas menonton TV atau gawai.

 

Karena hari ini, menonton TV bukan lagi jadi media yang mendidik tapi menghardik. Maka tetaplah membaca buku, kapan pun dan di mana pun. Salam literasi. #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar