Era digital itu tidak selalu baik untuk anak-anak usia sekolah. Apalagi di masa pandemi Covid-19 begini. Banyak anak-anak yang menghabiskan waktu di rumah untuk menonton TV atau main gawai. Sekalipun PTM (pembelajaran tatap muka) sudah kembali normal, lalu siapa yang bisa menjamin anak-anak tidak lagi menonton TV? Budaya menonton TV inilah yang harus jadi perhatian banyak pihak.
Menonton TV bukan hanya hiburan. Tapi menonton TV pun butuh
literasi. Studi Nielsen (2018) menyebut orang Indonesia mampu menghabiskan
waktu menonton TV rata-rata 5 jam setiap harinya. Sementara main ponsel
rata-rata 6 jam per hari. Sementara membaca buku atau berita hanya sekitar 55
menit. Artinya menonton TV dan main gawai lebih dominan dibandingkan membaca
buku. Tapi sayang, tidak ada studi yang mengungkap. Berapa lama rata-rata orang
Indonesia doyan ngomong? Atau membuang waktu untuk hal yang sia-sia, seperti
bergunjing atau gosip?
Sekalipun datanya relatif sudah lama, Dr. Taufik Ismail (1996)
pernah meneliti soal rendahnya minat baca di kalangan pelajar Indonesia. Mulai
dari level SD hingga SMA. Selama 12 tahun sekolah, pelajar di Indonesia hamper tidak
pernah membaca buku. Alias tidak ada satu buku yang utuh dibaca. Sementara di
Jerman dan AS lulusan SMA rata-rata mampu membaca 32 buku, di Belanda rata-rata
30 buku, di Jepang anak-anak pelajar membaca 15 buku, di Swiss 15 buku, di
Rusia 12 buku, di Brunei 7 buku, dan di Singapura 6 buk. Lalu, anak-anak
pelajar Indonesia di mana?
Sementara perilaku membaca kian dikebiri, justru menonton TV
kian digemari. Banyak orang lupa, menonton TV pun bisa berdampak buruk. Bila
tidak mau dibilang berbahaya. Sebuah studi menyebut, menonton TV dua jam sehari
saja dapat membuat orang merasa gelisah. Apalagi anak-anak usia sekolah, risiko
depresinya pun sangat besar. Bisa mengalami gangguan ansietas. Sebauh keadaan
tegang yang berlebihan atau tidak pada tempatnya.
Di Harian Media Indonesia, saya pun pernah menulis artikel
tentang krisis spiritual yang ditimbulkan akibat menonton TV. Setidaknya, ada 4
(empat) krisis spiritual yang dialami seseorang akibat gemar menonton TV:
1. Krisis
informasi akibat melimpahnya informasi yang diterima tanpa ada eksekusi
sehingga jadi sebab bingung dan imajinasinya terganggu,
2. Krisis
imajinasi sosial akibat banyaknya fantasi sosial yang ditayangkan tanpa mau lakukan
aktualisasi diri di dunia nyata.
3. Krisis
budaya akibat ajaran gaya hidup TV yang merusak adab dan kebiasaan penontonnya
sehingga menjadi inspirasi perilaku yang menyimpang.
4. Krisis
identitas akibat pengaruh tayangan yang tidak sesuai dengan realitas sehingga
jkadi sebab goyah identitas, rapuhnya spiritual.
Bahkan di era yang kompetitif sekarang, banyak orang merasa
hidupnya tidak berharga. Mudah frustrasi dan tidak percaya diri akibat sering
menonton TV. Hidup yang kamuflase dan lebih gemar membanding-bandingkan diri
dengan orang lain. Hampir semua penonton TV ingin hidupnya bahagia. Tapi sayang,
abuannya bukan diri sendiri melainkan orang lain. Ujungnya, jadi manusia yang
pesimis dan berpikir negatif dalam hidup.
Berangkat dari realitas tontonan TV itulah, taman bacaan dan
pegiat literasi dapat mengambil peran untuk menghidupkan kegemaran membaca buku
anak-anak. Agar tidak terlindas dari dampak buruk menonton TV atau bermain
gawai. Taman bacaan harus memainkan peran untuk mengimbangi perilaku menonton TV
dengan membaca buku. Spirit itulah yang mendasari Taman Bacaan Masyarakat (TBM)
Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak untuk meyelematkan masa depan anak-anak
usia sekolah melalui buku bacaan. Agar terbentuk kebiasaan membaca buku
sehari-hari, sebagai penyeimbang aktivitas menonton TV atau gawai.
Karena hari ini, menonton TV bukan lagi jadi media yang mendidik
tapi menghardik. Maka tetaplah membaca buku, kapan pun dan di mana pun. Salam literasi. #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar