Kemarin di Surabaya, ada guru memukul siswa di kelas. Sebelumnya, ada siswa yang memukul guru karena ditegur main gawai di kelas. Itu bukti pendidikan sudah kehilangan karakter. Pendidikan yang kian jauh dari adab dan akhlak. Karena selama ini, pendidikan terlalu bertumpu pada logika, pada otak manusia.
Sangat
salah bila pendidikan dipersepsi untuk membentuk siswa jadi pintar. Pendidikan,
hampir lupa bahwa belajar bukan untuk meraih nilai yang tinggi. Bukan pula agar
mampu menjawab pertanyaan yang sulit. Tapi pendidikan atau belajar adalah untuk
“mempertahankan semangat berprestasi, semangat kebaikan pada setiap orang” agar
mampu bertahan hidup dalam beragam tantangan. Karena itu, karakter menjadi kata
kunci dalam pendidikan.
Maka
sangat salah, bila belajar atau sekolah targetnya jadi pintar. Apalagi ditambah
embel-embel menyerahkan tanggung jawab rumah kepada sekolah. Di zaman begini,
orang pintar itu sudah banyak. Tapi orang-orang berkarakter itulah yang makin
langka. Jadi pendidikan harusnya untuk membangun karakter siswa, sekaligus
guru. Belajar itu pijakannya adalah “kebaikan dan kelembutan”. Itu berarti,
tidak boleh terjadi di sekolah apa yang disebut “kekerasan, kemarahan atau
kebencian”. Belajar harus terbebas dari akhlak dan perilaku buruk.
Sayangnya,
zaman makin maju makin canggih. Justru pendidikan karakter makin diabaikan. Sekolah
hanya mengejar kurikulum dan target pembelajaran. Sementara karakter siswa kian
diabaikan. Anehnya, negara dan dunia pendidikan terlalu percaya pada pendidikan
formal. Ruang kelas dianggap segalanya. Padahal di masa pandemi Covid-19
begini, sekolah sendiri kebingungan mengurus dirinya sendiri. Sementara ruang
belajar di masyarakat, seperti taman bacaan sudah terlalu lama dibiarkan tidak
berkembang. Pendidikan nonformal dianggap “marjinal”. Sehingga tidak diurus
dengan serius. Negara lupa, bahwa pendidikan yang partisipatif itu ada di pendidikan
nonformal.
Sebagai
contoh saja, apa yang dilakukan di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera
Pustaka di kaki Gunung Salak. Sekalipun bersifat nonformal, setelah berjalan 5
tahun ini, kini TBM Lentera Pustaka mampu menjalankan 12 program literasi, seperti:
1) TAman BAcaan (TABA) dengan 130 anak usia
sekolah dari 3 desa (Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya) yang terbiasa membaca 3-8
buku per minggu per anak, 2) GEBERBURA (GErakan
BERantas BUta aksaRA) dengan 9 warga belajar, 3) KEPRA (Kelas PRAsekolah)
dengan 26 anak, 4) YABI (YAtim BInaan) dengan 14 anak yatim yang disantuni dan
4 diantaranya dibeasiswai, 5) JOMBI (JOMpo BInaan) dengan 8 jompo usia lanjut, 6)
TBM Ramah Difabel dengan 3 anak difabel, 7) KOPERASI LENTERA dengan 33 ibu-ibu
anggota, 8) DonBuk (Donasi Buku), 9) RABU (RAjin menaBUng), 10) LITDIG
(LITerasi DIGital), 11) LITFIN (LITerasi FINansial), dan 12) LIDAB (LIterasi
ADAb). Tidak kurang dari 250 orang menjadi penerima layanan literasi TBM
Lentera Pustaka setiap minggunya.
Berbekal model “TBM Edutainment”, TBM Lentera
Pustaka pun mengembangkan kegiatan literasi berbasis edukasi dan entertainment.
Sebuah cara untuk menjadikan taman bacaan sebagai sentra pemberdayaan masyarakat
yang menyenangkan, bukan hanya tempat membaca buku semata. Bersamaan dengan
itu, berbagi program literasi yang dijalankan pun menekankan pada pembentukan
karakter anak-anak. Mulai dari memberi salam, cium tangan, antre, nilai
kearifan local dan membaca bersuara. Ada pula salam literasi, doa literasi, dan
senam literasi. Taman bacaan yang mengembalikan peran karakter dalam pendidikan.
Maraknya
kekerasan di sekolah, sudah sepatutnya dunia Pendidikan “kembali ke khitah”
untuk memprioritaskan pendidikan karakter. Proses belajar yang mengharamkan: 1)
adanya perilaku kekerasan dalam belajar, apapun bentuknya dan dari siapapun, 2)
tumbuhnya paham radikalisme dan intoleransi sekecil apapun, dan 3) pelanggaran
terhadap etika dan sopan santun dalam praktik kehidupan sehari-hari. Karena
itu, sangat penting untuk pendidikan hari ini. Tidak boleh ada sama sekali pengaruh
politik terhadap dunia pendidikan. Tidak boleh ada “permainan kotor” politik masuk
ke sekolah atau kampus.
Maka
ke depan, pendidikan harusnya fokus pada pendidikan karakter. Membangun adab
dan akhlak semua insan pendidikan. Bukan hanya guru dan siswa, tapi orang tua
dan masyarakat. Pendidikan sebagai inkubator kebaikan, kebajikan dan kematangan moral. Untuk
lebih berkepribadian dan berwatak dalam kehidupan. Pendidikan yang memberdayakan akhlak baik
dalam kegiatan belajar. Bukan kekerasan atau caci maki atas kebencian atau
ketidak-senangan.
Sungguh,
pendidikan bukan proses membagikan kepusingan, apalagi menjelaskan kerumitan. Tapi
Pendidikan adalah cara sederhana menebar kemudahan yang ber-akhlak. Maka kembalikan
belajar ke pendidikan karakter. Agar tidak ada lagi guru atau siswa yang melakukan
kekerasan.
Terkadang,
kasihan dunia pendidikan di negeri ini. Sudah terlalu banyak diskusi dan
seminar tentang teori-teori untuk memajukan pendidikan. Tapi di saat yang sama,
mereka sendiri yang mengabaikan arti penting pendidikan karakter. Salam
literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar