Negeri ini ramai lagi, gara-gara politisi tidak membolehkan rapat memakai Bahasa Sunda. Masa orang pakai bahasa-nya sendiri tidak boleh. Itu kan gaya bahasa selingkung, hanya berlaku di lingkungannya. Kenapa jadi si politisi yang kebakaran jenggot.Entah apa dasarnya? Anehnya si politisi, kok diam saja saat ada pejabat daerah yang kena OTT KPK. Dikasih amanah oleh rakyat, kok malah korupsi. Si politisi kok diam saja, katanya wail rakyat. Sangat jelas, itu berarti si politisi tidak punya sikap respek.
Respek, memang sikap yang makin
ditinggalkan orang. Respek, sebuah rasa hormat soal apapun dan kepada siapapun. Bila
mau dihormati maka belajar menghormati. Bersedia menghormati orang lain sebelum
minta dihormati. Itulah kehormatan seseorang. Tanpa rasa hormat atau kehormatan
maka sulit untuk bersikap respek. Karena respek pula, cara berpikir positif, kebaikan
bahkan keberkahan dapat tumbuh. Tanpa respek, bisa jadi semua omong kosong.
Sikap respek, faktanya memang kian langka. Apalagi di era
digital dan media sosial. Sikap respek kian dikebiri. Pernah nggak ngobrol sama
orang tapi sambal mainin gawai. Atau nge-chat di WA, sudah dibaca tapi tidak dibalas.
Ditanya tapi tidak dijawab-jawab. Itu pertanda tidak punya respek. Sikap yang
sulit untuk menghormati atau menghargai orang lain. Tapi giliran kepo atau
gibahin seseorang, semua mengaku karena respek.
Di taman bacaan pun sikap respek kian terbelenggu. Sudah tahu
di daerahnya ada taman bacaan, kok hanya mengimbau anak-anak untuk membaca saja
tidak mau. Ehh, malah menampung anak-anak yang tidak mau baca untuk nongkrong
yang tidak karuan. Ada pula orang tua yang malah “melarang” anaknya membaca
buku di taman bacaan. Katanya taman bacaan perbuatan baik. Boro-boro membantu, perhatian
saja tidak. Itu semua jadi bukti, sikap respek kian terkikis. Lalu, bagaimana
mau membangun masyarakat yang literat?
Jadi, sikap respek adalah “hutang terbesar” semua orang. Terlalu
sulit untuk menghormati dan menghargai orang lain. Banyak orang hari ini
hidupnya milih-milih. Bila ada uangnya baru respek, bila tidak ada uangnya ya
peduli amat. Semua diukur dari uang dan materi. Lupa, bahwa hidup bukan soal uang
semata. Tapi ada sosial dan amal perbuatan yang harus dilakukan setiap orang.
Agar hidup seimbang, lahir dan batin. Respek itu untuk dunia dan akhirat.
Respek, bisa jadi kata
yang mudah diucapkan, tapi sulit dilakukan. Banyak orang makin tidak peduli
pada aktivitas sosial dan kebaikan. Termasuk aktivitas taman bacaan dan
literasi pun kian sulit dipedulikan orang lain. Banyak orang apatis terhadap
kebaikan. Maka wajar, saat ini banyak orang saling berbeda pendapat, saling
bermusuhan, dan saling marah. Terlalu mudah menodai harmoni menjadi disharmoni.
Karena tidak punya sikap respek.
Jika ingin dihormati, maka hormatilah
dulu orang lain. Jika ingin dihargai, maka hargailah orang lain. Itulah respek.
Dan respek tidak ada hubungan dengan pangkat dan jabatan. Apalagi status sosial
dan harta. Respek adalah kepribadian, karakter seseorang. Maka siapapun, tidak penting menjadi “perfect”.
Tapi cukup menjadi orang yang “respect”. Seperti kata Les Giblin, “Anda tidak akan bisa membuat orang
lain merasa penting bila diam-diam Anda merasa bahwa orang lain itu bukan
siapa-siapa”.
Seperti buku-buku yang terpajang di rak-rak
taman bacaan, pun tidak pernah meminta untuk dibaca siapapun. Tapi buku hanya
butuh sikap respek pembacanya. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi
#TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar