Seteguk kopi pagi, pasti punya rasa berbeda-beda. Ada yang pekat, ada pula yang hangat. Paht boleh, manis pun tidak masalah. Asal jangan sebatas janji manis di bibir saja. Seteguk kopi pagi, pasti mengundang rasa penasaran yang tidak akan kunjung selesai. Aroma kopi pagi pun dapat diungkapkan ke dalam kata-kata yang indah. Seperti hidup pun hanya permainan kata-kata.
Seteguk
kopi pagi, sungguh tidak pernah memilih siapa yang layak menikmatinya. Kopi
bukan milik orang kaya, bukan pula orang pintar. Pangkat dan jabatan apa saja,
sangat boleh meneguk kopi. Karena di hadapan kopi, siapa pun sama. Tiap manusia
itu sama. Tapi yang membedakan hanya amal perbuatan dan sikapnya dalam memahami
realitas.
Pada
seteguk
kopi
pagi. Entah kenapa? Selalu membuat penikmatnya merasa takjub. Seperti ada rasa
syukur dan riang hati saat meneguknya. Karena seteguk kopi, siapa pun persis
seperti aslinya. Penikmat kopi yang alamiah, orisinal, dan tidak pernah
dibuat-buat. Kopi pagi yang sulit dimanipulasi. Tidak seperti pejabat daerah
yang korupsi dan terkena OTT KPK. Bukan pula seperti politisi yang melarang
berbahasa Sunda. Karena hanya mencari sensasi.
Seteguk kopi pagi itu isinya esensi,
bukan sensasi. Seperti kehidupan anak manusia. Emas ya emas, sampah ya sampah.
Bagaimana mungkin, sampah berubah jadi emas? Bila terjadi pun karena kamuflase
dan manipulasi. Seperti netizen dan kaum yang gandrung media sosial. Saat lepas
dari kopi, banyak orang lupa. Siapa dia sebenarnya? Selain bukan apa-apa dan
bukan siapa-siapa?
Seteguk kopi pagi. Selalu menegaskan
bahwa hidup ada yang suka, ada yang tidak suka. Ada yang kerjanya membenci, ada
pula yang mencintai. Ada yang mencaci ada yang berbagi. Ada yang masih bermimpi
tapi banyak yang sudak beraksi. Semua itu sudah biasa dan sah-sah saja. Seperti
pegiat literasi di taman bacaan. Sekalipun perbuatan baik, taman bacaan pun ada
yang benci ada yang senang. Karena taman bacaan di mana pun, sama sekali tidak
merasa perlu untuk menyenangkan semua orang.
Ada pahit ada manis pada seteguk kopi
pagi. Maka dalam hidup, pro dan kontra sangat lazim terjadi. Penikmat kopi memang
dilatih untuk tidak pernah takut mengambil risiko. Mereka pun tidak pernah mau
terjebak pada masa lalu. Seperti kopi pagi, selalu siap berubah dan tidak takut
gagal. Agar hidup tidak melumpuhkan hati nurani dan akal sehat.
Pada seteguk kopi pagi, tidak ada
yang instan. Semua ada prosesnya. Bahkan rasa pahit tidak pernah iri dan benci
pada rasa manis. Justru pahit dan manis, bercampur jadi satu. Untuk membuat
penikmat kopi kagum dan terheran. Karena sensasinya yang luar biasa. Persis
seperti, rasa takjub manusia kepada Tuhannya. Kagum pada cara Tuhan memberi
rezeki kepada umatnya. Rezeki yang tidak pernah tertukar sedikit pun, tidak pula
bisa dimanipulasi.
Seteguk
kopi pagi selalu mengingatkan. Hiduplah dengan hati nurani bukan hanya lohika. Karena
hidup diikuti kebenaran yang hakiki. Agar selalu mampu menyelaraskan hati, pikiran,
dan perbuatan. Biarkan saja ada orang-orang yang membenci atau iri hati. Tidak
perlu adu argumen dengan orang yang mempercayai kebenciannya sendiri. Hingga
lupa, melihat kebaikan yang ada di dekatnya. Itulah tanda manusia memang tidak
sempurna.
Maka
teguklah kopi pagi sekarang. Jangan berdiam diri. Seperti di pagi hari, ada orang
yang tetap tertidur untuk melanjutkan mimpi. Atau terbangun untuk mewujudkan
mimpi. Kopi, sejatinya tetap menghadirkan sisi pahit yang sulit disembunyikan.
Tapi selalu ada sisi manis yang menghampiri.
Dan
saat meneguk kopi pagi. Siapa pun sama sekali tidak perlu meninggikan hati.
Juga tidak perlu merendahkan orang lain. Agar tetap tenang dan lembut bersama tegukan
kopi. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar