Gong Xi Fa Cai. Selamat tahun baru Imlek untuk sahabat yang merayakan.
Semoga kita semua diberikan Kesehatan, kelancaran, dan kesejahteraan
selalu. Xin Nian Khuai Le. Doa baik pun pantas diucapkan, Shen Ti Jian Kang (semoga
badan sehat selalu), Shi Shi Shun Li (semoga semua usaha lancar selalu). Lalu dijawab,
Xie Xie (terima kasih) tapi bukan ciee ciee ya.
Semua ada hikmahnya. Selalu ada doa di balik peringatan hari
besar. Ada kultur doa yang lebih kuat daripada event-nya itu sendiri. Bahwa
peringatan itu seremoni. Tapi jauh lebih penting adalah implementasi
nilai-nilai yang ada di dalamnya. Karena sejatinya dalam hidup manusia,
“bungkus tidak lebih penting daripada isinya”. Manusia tidak dilihat dari
bungkusnya tapi isisnya. BUkan omongannya tapi tindakannya. Bukan seberapa
tinggi ilmu dan pangkatnya. Melainkan manfaatnya untuk orang lain.
Seperti di hari Imlek. Ada tradisi angpao atau amplop merah
sebagai bungkus. Tapi isinya uang. Sebagai simbol kepedulian kepada orang lain.
Sebuah transfer kesejahteraan atau energi kepada orang lain. Dari orang yang mampu
kepada orang yang tidak mampu. Dari orang tua ke anak-anak.
Amplop merah hanya symbol sekaligus tradisi. Lambang kebaikan
dan kesejahteraan dalam kultur Tionghoa. Merah berarti kegembiraan, semangat
menuju kebaikan, keberuntungan.
Ini bukan soal ras, bukan pula soal agama. Melainkan soal moral.
Soal ajaran kebaikan yang bisa terjadi pada siapa saja, dan di mana saja. Bahwa sehebat apa pun berjuang keras untuk mencari
angpao (uang). Maka ujungnya jangan lupa untuk dibagikan kepada yang
membutuhkan. Jadi, jangan salah mengikapi uang atau harta. Karena uang bukanlah
segalanya.
Tradisi amplop merah. Berarti jangan salah memperlakukan uang.
Agar tidak terjerembab ke jurang kesombongan apalagi kelalaian untuk peduli.
Sehingga uang dan harta mampu jadi keberkahan bukan kesengsaraan. Karena uang
bukan untuk “dituhankan” melainkan untuk menjadi sarana amal perbuatan yang
bermanfaat.
Zaman begini. Makin banyak orang salah memperlakukan uang atau
harta. Korupsi, jual narkoba, dan bahkan jual beli jabatan jadi bukti cara
pandang salah tentang uang. Kemiskinan dan putus sekolah pun jadi bukti uang pun
bisa memakan korban dan hanya dikuasai orang-orang punya. Uang dan harta,
sekali lagi harus diperlakukan dengan benar. Cara pandang tentang uang dan
harta pun harus benar.
Di luar sana, tidak sedikit orang yang salah dalam memperlakukan
uang. Uang dianggap segalanya. Ada pula yang menjadikan uang sebagai ukuran
status social dan gaya hidup. Uang, harta atau angpao kok “dipertuhankan”. Faktanya,
ada empat tipe manusia bila berurusan dengan uang atau harta:
1. Orang
tidak punya uang tapi kelihatan seperti punya uang. Bungkusnya bagus tapi
isisnya kosong. Kaum yang “lebih besar
pasak daripada tiang”. Jago ilmu seni menyiksa diri. Sering menderita dan jadi
candaan orang lain.
2. Orang
tidak punya uang tapi hidup bersahaja. Kaum
yang pasrah dan apa adanya. Tapi hidupnya tidak tersiksa oleh keinginan. Bahkan
tidak peduli pada penilaian orang lain. Tidak pernah ber-utang apalagi meminta-minta.
Tetap menjaga harga diri, tidak berharap dikasihani.
3. Orang
punya uang dan memperlihatkan uangnya. Lebih senang bergaya hidup mewah.
Sombong dan gemar merendahkan orang lain. Sayangnya, sedikit berbagi dan peduli.
4. Orang
yang punya uang tapi hidup bersahaja. Gaya hidupnya sederhana walau bisa membeli
apa saja. Mampu menahan diri, hidupnya tidak berbiaya tinggi. Soal uang, bukan
tidak bisa melainkan tidak mau sombong. Lebih hebat lagi, bila senang bersedekah
dan amal. Pribadinya lebih kaya daripada uang atau harta yang dimilikinya.
Jadi soal angpao atau uang, “bungkus itu tidak lebih penting
daripada isinya”. Seperti sikap lebih penting daripada fakta. Sikap dalam memperlakukan
uang ternyata lebih penting daripada uang itu sendiri.
Seberapa pun uang yang dimiliki, semuanya hanya titipan. Tinggal
mau dipakai untuk apa dan ke mana dibelanjakan? Karena uang bukanlah segalanya.
Salam literasi #TamanBacaan #PegaitLiterasi #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar