Memang benar keyakinan banyak orang. Bahwa sejarah itu peristiwa alamiah yang mungkin akan terulang kembali. Apa yang dilakukan dulu, bisa jadi akan terulang lagi dan menjadi bagian hidup seseorang di kemudian hari.
Sejarah itu pula yang terjadi
pada saya. 10 tahun lalu, saat saya masih bekerja di perusahaan asuransi jiwa
asing berlogo nuansa merah. Saya dipercaya mengelola aktivitas “mobil pustaka”
sebagai program CSR perusahaan. Seperti foto ini jadi bukti sejarah, tepat 19
April 2011, saya turun langsung memonitor dan membimbing aktivitas membaca
anak-anak di daerah Batu Ampar Condet. Lalu, siapa sangka? Tahun 2017, 6 tahun
kemudian, saya pun mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di rumah
saya sendiri di Desa Sukaluyu di Kaki Gunung Salak Bogor. Dan berjalan hingga
kini, alhamdulillah sejarah memang punya jalannya sendiri.
Kenapa TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak pun tidak
terlepas dari sejarah? Daerah ini bukan tanah kelahiran saya. Sanak saudara pun
tidak ada.. Kali pertama saya menapakkan kaki pada tahun 1989, saat mahasiswa
tingkat I. Bikin kegiatan organisasi di salah satu villa. Lalu bertemu Pak
Icing yang kemudian menjadi bapak angkat saya. Bikin KKN yang diikuti 200 mahasiswa
FPBS UNJ pun di daerah ini. Termasuk pertama kali bertemu dengan perempuan yang
menjadi istri saya dan menjadi ibu dari 3 anak saya pun di kaki Gunung Salak ini.
Saat santunan anak-anak yatim di tahun 1995. Dan setelah 6 tahun menikah, di tahun
2002, saya membangun rumah di Kampung Warung Loa Desa Sukaluyu yang kini
menjadi lokasi TBM Lentera Pustaka.
Apa yang saya mau katakan di sini?
Sungguh, sejarah yang pernah ditapaki seseorang pasti akan berulang. Maka
jangan sekali-sekali melupakan sejarah, begitu kata Bung Karno. Disadari atau
tidak, apa yang terjadi dan dialami seseorang hari ini, sejatinya pasti ada
hubunngannya dengan sejarah hidupnya.
Sejarah itu bukan mitos. Melainkan realitas dan jadi
bagian perjalanan hidup yang memberikan pencerahan. Jadi momen dan tonggak yang
menghubungkan masa
lalu dan masa depan. Maka jangan kesampingkan sejarah. Bila tidak ingin hidup kering
tanpa warna atau hidup tanpa hikmah yang bermanfaat. Maka ukirlah sejarah diri
sendiri, sekecil dan sesederhana apapun.
Seperti
pandemi Covid-19 pun mengulang sejarah. Ternyata, pada 1918, Indonesia juga pernah
mengalami wabah serupa virus corona. Yaitu pandemi flu 1918 atau lebih dikenal dengan “Flu Spanyol”. Saat itu, Flu Spanyol menggoncang dunia
selama 2 tahun dan menelan korban jiwa hingga 50 juta orang. Di Indonesia
sendiri, setidaknya 4 juta orang meninggal dunia (Data Mortality From The
Influenza Pandemic of 1918-19 di Indonesia). Jadi, pandemi Covid-19 pun mengulang
sejarah 102 tahun lalu.
Pembunuhan
Presiden AS pun sejarah yang berulang. Abraham Lincoln,
Presiden AS ke-16 dibunuh tahun 1865. Lalu 98 tahun kemudian, Presiden AS ke-35, John F. Kennedy
dibunuh tahun 1963. Keduanya
ditembak di bagian kepala, insiden terjadi di depan publik, dan terjadi di hari
Jumat. Itulah sejarah nyata.
Bila hari ini, masih ada orang-orang yang melupakan sejarah. Semoga tercerahkan
untuk menghargai sejarah. Agar tidak ujub, tidak sombong apalagi terlalu gampang
“menghilangkan” sejarah. Siapa kita dulu, seperti apa kita sebelumnya? Sungguh,
siapa pun bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa pula. Sungguh, saya dan kita. Mungkin
hanya sepenggal cerita dari perjalanan sejarah yang berulang.
Sejarah adalah waktu. Itulah mengapa, siapa pun harus
menggunakan waktu sebaik mungkin. Untuk melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, yang
dapat memberikan kebaikan untuk banyak orang. Agar terukir sejarah indah,
sejarah baik yang ditinggalkan saat kita meninggal dunia.
Dan ketahuilah, bahwa orang-orang besar sepanjang sejarah adalah
mereka yang lebih banyak bekerja daripada bicara. Bukan ramai di grup WA
atau di media sosial. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #LiterasiSejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar