Selasa, 30 Maret 2021

Literasi Nongkrong, Menjaga Harmoni Bukan Merawat Disharmoni

Zaman begini nongkrong itu sudah jadi gaya hidup. Baik di kota maupun di kampung-kampung. Maka wajar, banyak orang lagi gandrung nongkrong. Di kafe-kafe, di pinggir jalan. Tempat-tempat nongkrong ada di mana-mana. Tingkat konsumsi kopi pun meningkat pesat. pesat. Budaya nongkrong kian marak.

 

Nongkrong atau disebut kongkow atau hang out. Intinya, berkumpul bersama teman di suatu tempat. Anak muda, mahasiswa, orang dewasa, atau ibu-ibu boleh nongkrong. Entah, untuk mengisi waktu luang, mengerjakan tugas atau sekadar silaturahim.  Asal jangan nongkrong untuk ngomongin orang.

 

Sebagai makhluk sosial, tentu nongkrong bisa berdampak positif. Sebagai ruang bercerita dan bertukar pikiran . Saling berbincang sesama teman, di samping mempererat relasi. Nongkrong juga bisa menyegarkan pikiran. Itu sisi positifnya nongkrong.

 

Tapi hati-hati juga. Beberapa kalangan justru menganggap nongkrong pun bisa berdampak negatif. Karena dianggap membuang-buang waktu. Terjebak pada kegiatan yang produktif. Apalagi bila nongkorng cuma sekadar ingin popular atau untuk keperluan medsos. Nongkrong yang buang0buang uang, sementara setiap hari kerjanya mengeluh. Maka ketahuilah, nongkrong itu bukan berkumpul untuk membicarakan yang tidak berguna. Apalagi menambah dosa.


 

Literasi nongkrong, tentu jadi penting. Bila siapa pun bisa menjadikan nongkrong sambil membaca buku. Maka pegiat literasi pun perlu menjadikan taman nacaan sebagai tempat nongkrong, tempat bercengkrama dengan teman sambil minum kopi. Maka nongkrong di taman bacaan pun bisa jadi pembelajaran. Tentang kehidupan, tentang kebaikan.  

 

Maka lebih baik nongkrong. Daripada membenci, mencaci-maki atau berkeluh-kesah. Bila ada yang hari ini masih gemar menghujat atau menyalahkan orang lain, mungkin dia kurang nongkrong. Alias kaum jarang nongkrong. Sehingga berpikir sempit dan gemar mempermasalahkan. Bukan mencari solusi dari masalah.  Jarang nongkrong, jadinya orang lain pasti salah lalu dia sendiri yang benar.

 

Karena basisnya toleransi dan bersikap demokratis. Maka saat nongkrong tidak boleh egois. Harus mampu membangun empati. Jangan bawa-bawa status, apalagi pangkat. Karena nongkrong itu melatih diri untuk menjalin hubungan baik, menjaga keharmonian. Bukan malah mau menang sendiri.

 

Nongkrong, harusnya dilihat sebagai value, sebagai nilai-nilai baik. Bukan melihat orangnya. Agar kita terlatih untuk membiasakan menutup mata terhadap subjek. Dan mulai menghargai isi perkataannya. Sangat salah bila nongkrong dipakai untuk pamer apalagi mempengaruhi orang lain.

 

Maka nongkrong-lah yang positif. Jangan nongkrong yang sia-sia atau berdampak negative. Karena nongrong berarti menjaga harmoni. Bukan merawat disharmoni. Salam literasi #KampanyeLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar