Sudah konsekuensi, zaman canggih ini akhirnya menghasilkan orang-orang yang omong. Lebih banyak bicara daripada kerja. Lebih banyak argumen daripada eksperimen. Mencari sensasi daripada esensi. Karena terlalu banyak omong. Lihat saja di banyak webinar. Zoom meeting, apalagi di TV-TV. Apa saja bisa dibicarakan. Apalagi ditambah sedikit retorika, plus gaya ngomongnya. Woww, kesannya luar biasa. Membius audien lagi mengagumkan, begitulah tukang bicara. Namanya tukang bicara.
Oh ya, jangan lupa. Tukang bicara itu sama artinya dengan
“jago ngomong”. Alias orang yang kerjaannya hanya bicara. Seperti jago bola, orang kerjaannya
main bola. Sering kali, tukang bicara hanya ngomong doang. Segala rupa
diomongin.
Kata tukang bicara. Negara harusnya begini. Agar tidak banjir harusnya
begini-begitu. Ekonomi pasti tumbuh bila begini. Organisasi harusnya dikelola seperti
ini. Pandemi Covid-19 cepat berlalu bila masyarakat begini. Tukang bicara
bilang, “semuanya harus begini, harus begitu”. Seolah semuanya kelar karena
omongan. Seakan masalah apa pun akan rampung bila sudah dibicarakan.
Tukang bicara sering lupa. Tidak ada satu pun masalah di dunia ini yang kelar
karena dibicarakan. Tidak pula ada persoalan rampung karena diomongin. Apalagi
ditambah hoaks, fitnah dan gibah. Karena faktanya, tukang bicara itu ya hanya pandai
bicara. Tapi
tidak pandai berbuat. Ngomong begini-begitu, tapi sedikit sekali dalam
eksekusi. Hingga publik terkecoh. Seolah “apa yang diomong” sama dengan “apa
yang diperbuat. Padahal bisa jadi, semuanya hanya omong kosong.
Jangan banyak omong. Tapi perbanyaklah membaca buku.
Atau setidaknya diam.
Seperti di taman bacaan. Sebagai tempat untuk menghidupkan
tradisi baca. Membangun peradaban anak-anak yang akrab dengan buku. Agar tidak
terlalu mudah berbicara apalagi berkoar-koar. Maka taman bacaan di mana pun. Punya
misi sederhana, “Lebih baik membaca buku atau diam daripada banyak omong dan
berkata-kata tanpa makna”
Sementara di negeri nusantara. Kadang terlalu banyak tukang bicara. Masalah
bukan diselesaikan. Tapi malah diperdebatkan. Banyak diskusi di depan publik,
disorot di media. Konsepnya keren. Orang-orangnya beken. Tapi sayang, itu semua
sebatas tukang bicara, jago ngomong. Tidak jago eksekusi. Maka tiap tahun, masalah
yang sama muncul lagi. Dan tukang bicara ngomong lagi.
Sejatinya, jadi tukang bicara itu baik. Bila diikuti
dengan perbuatan atau tindakan. Apa yang diomong harus dama
dengan yang dilakukan. Bukan sebaliknya. Pandai bicara hanya
untuk mencari kesalahan. Bicara hanya untuk melemahkan orang lain. Lalu ribut dan berisik. Lalu
lupa nasihat hadist “"Yang paling aku takuti atas kamu sesudah aku
tiada adalah orang munafik yang pandai bersilat lidah."
Maka berhati-hatilah. Jangan jadi tukang bicara, hindari banyak omong. Karena
khawatir. Tukang bicara itu makin banyak omong karena mereka sedang
memperjuangkan mimpi-mimpi mereka. Tukang bicara tak lebih dari orang-orang yang
hidup dalam harapan, bukan kenyataan. Mereka yang hidup di “negeri
fantasi" bukan di "negeri realitas".
Tukang bicara, hati-hatilah. Karena zaman now. Makin
banyak orang yang pandai bicara. Tapi praktiknya nol besar. Salam literasi #KampanyeLiterasi
#TBMLenteraPustaka #TamanBacaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar