Bila ada negeri yang tergolong doyan kisruh, mungkin salah satunya ya Indonesia.
Kisruh, alias berisik dan dibikin ramai. Urusan vaksin Covid-19 dibikin kisruh. Banjir akibat hujan pun jadi rebut. Ada partai memecat kader-nya karena persoalan internal pun jadi ricuh. Bahkan soal Nikita Mirzani pun, negeri ini bisa heboh. Itulah realitas negeri yang doyan kisruh.
“Kalau bisa dipersoalkan, kenapa didiamkan?” mungkin begitu slogan negeri doyan kisruh.
Agak pantas pula. Hasil survei menyebut “Indonesia tergolong negara paling berisik di dunia”. Netizen-nya Indonesia bisa jadi paling popular sekaligus paling ganas. Maklum, pengguna media sosial-nya pun sudah menembus angka 160 juta orang. Soal apa saja dibikin berisik. Hoaks dipercaya. Ujaran kebencian disebarkan. Fakta pun dibolak-balik. Gemar kisruh, gemar kebingungan dan kacau balau. Entah, kok gemar pada aktivitas yang tidak bermanfaat. Membuang-buang waktu untuk hal yang sia-sia dan tidak produktif.
Banyak orang lupa. Kisruh, ricuh, dan berisik itulah awal mula konflik terjadi. Akibat berbeda pendapat. Akibat salah menggunakan saluran komunikasi. Akibat gagal mengelola masalah. Hingga akhirnya, semua orang “membenarkan” pikirannya sendiri. Adu argumen sambil mempertontinkan “kepintaran” dan ego di ruang publik. Maka kisruh berubah jadi konflik.
Di negeri kisruh, pada orang-orang doyan konflik. Media sosial bukan digunakan untuk nasihat. Atau promosi kebaikan. Tapi medsos dipakai untuk mempublikasikan emosi dan kebencian. Curcol urusan yang tidak penting. Masalah bukan diselesaikan. Malah di-ekspose ke ruang publik. Aneh, orang-orang itu. Aturan hanya berlaku di atas kertas. Etika hanya berlaku di ruang-ruang religius. Alhasil, setiap perbedaan hanya bisa diselesaikan dengan cara-cara kisruh. Marah-marah, ngotot dan emosi. Entah, di mana benarnya cara-cara itu? Sama sekali tidak literat.
Ini soal literasi kisruh, literasi konflik.
Maaf ya, bukan anti kisruh atau anti konflik. Kisruh itu boleh, konflik pun silakan. Karena kisruh atau konflik bagian dialektika. Sebuah cara untuk memikirkan masalah, cara melihat persoalan. Dinamika untuk menuju perubahan yang baik. Yang penting jangan kisruh karena tidak sika pada orangnya. Jangan ber-konflik untuk perkara yang tidak jelas. Kisruh bukan sensasi tapi esensi. Sehingga siapa pun yang terlibat kisruh, tetap berpijak pada akal sehat dan hati nurani. Dan jangan pernah kisruh untuk mencapai “kesempurnaan”. Karena itu tidak mungkin.
Kisruh atau konflik itu wajar. Tapi jangan mempertontonkan ke publik. Apalagi karena sentimen atau rasa benci. Sehingga semua hal diskisruhkan, dipertengkarkan. Kisruh jadi hobby, konflik jadi bahaya laten.
Seperti di taman bacaan. Maka anak-anak pun bukan hanya membaca. Tapi diajarkan untuk bersikap bijak. Saat berebut buku, saat mencari tepat duduk untuk baca. Bisa saja bertengkar atau berselisih. Tapi jangan libatkan emosi atau amarah. Karena esensinya “membaca buku”. Bukan berebut atau cari tempat duduknya. Jadi, kisruh atau konflik pun harus literat. Buka nasal kisruh, asal konflik saja.
Ketahuilah, kisruh atau konflik. Dalam tafsir disebut “jidal”, sebutan untuk orang-orang yang suka bertengkar, gemar ksiruh. Senang mempertontonkan perselisihan.Sungguh tidak ada manfaatnya. Bila ada masalah, maka selesaikan dan cari solusi terbaiknya. Bukan berisi di media sosial. Atau bertengkar tidak jelas juntrungan.
Di dunia literasi. Kisruh atau konflik itu hanya tumbuh karena ketidaktahuan dan kecurigaan. Saat kebenaran bertengkar dengan prasangka. Maka tetaplah berpijak pada akal sehat, akhlak, dan etika. Agar kisruh tidak berubah jadi musuh. Agar konflik tidak menodai toleransi dan harmoni.
Sungguh, selalu ada cara untuk meraih kebenaran dengan cara yang apik. Ada cara mencapai perubahan baik dengan cara yang ciamik. Dan yang terpenting, bila tidak sama kenapa tidak boleh berbeda? Agar siapa pun, tidak lagi bermukim pada kisruh pada konflik. Salam literasi #KampanyeLiterasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar