Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Namun kini, mencari sosok guru ideal semakin sulit. Hasil survei saya Juli 2020 pun menyebut 7 dari 10 siswa mengalami masalah saat pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pendemi Covid-19. Kegiatan belajar-mengajar pun dinilai tidak efektif. Bisa jadi, kondisi ini akibat guru hanya menjadikan PJJ sebagai pengganti tatap muka di kelas. Tanpa mau menyederhanakan kurikulum.
Sebagai renungan, dunia pendidikan pun mencari sosok guru ideal.Ditambah lagi, pemerintah melalui SKB 4 Menteri mulai memperbolehkan sekolah-sekolah melakukan pembelajaran tatap muka mulai Januari 2021. Guru-guru pun takut sekolah-sekolah berpotensi menjadi klaster baru peluran Covid-19. Pro-kontra menyelimuti dunia pendidikan Indonesia. Sementara para siswa sudah rindu sekolah, PJJ pun tidak efektif, dan guru-guru bingung bila harus belajar tatap muka. Jadi, seperti apa sosok guru yang ideal itu?
Guru ideal adalah harapan semua guru, bahkan siswa. Tapi hari ini, guru yang ideal bisa jadi “jauh panggang dari api”. Sejatinya, sosok guru ideal dianggap mampu menguasai materi pelajaran dan mampu mengelola kelas dengan optimal. Guru yang memiliki wawasan luas lagi kreatif dan inovatif. Berbasis nilai-nilai karakter yang positif, guru ideal akhirnya mampu mencapai tujuan melalui proses belajar yang menarik dan menyenangkan. Sayangnya, sosok guru ideal masa kini mungkin masih sebatas dambaan.
Guru ideal, kata kuncinya bisa jadi pada kompetensi dan kualitas. Selain kompetensi pedagogik, guru juga dituntut harus memiliki kompetensi kepribadian, sosial, dan profesional dalam menjalankan tugas pengajaran. Secara kualitas, kualifikasi guru yang setara sarjana harus dipenuhi. Agar memiliki kualifikasi akademik yag sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya. Suka tidak suka, guru aktif dan terlibat dalam program peningkatan kompetensi pembelajaran (PKP). Untuk menambah pengetahuan dan keterampilan dalam pengembangan profesi guru. Karena sejatinya, guru adalah subjek yang mampu memecahkan masalah pembelajaran di kelas, bukan menjadi bagian dari masalah. Maka guru yang ideal, harusnya lebih kreatif dan inovatif dalam mengajar.
Diskursus tentang guru yang ideal, bisa dikatakan “tak lekang oleh waktu”. Apalagi di masa pembelajaran digital dan jarak jauh akibat pandemi Covid-19. Guru bukan hanya ujung tombak kecerdasan dan karakter siswa. Namun jadi andalan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Namun sayang, dari 4,1 juta guru di Indonesia saat ini, masih ada 25% guru yang belum memenuhi syarat kualifikasi akademik dan 52% guru belum memiliki sertifikat profesi keguruan.
Bahkan nilai rata-rata nasional Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2017 lalu, ada 70 persen guru belum memiliki kompetensi dasar, masih di bahwa nilai standar yang dipersyaratkan yaitu 75. Hanya 30 persen guru yang memiliki kompetensi yang memadai. Konsekuesninya, angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dari United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2019 pun hanya 0,707, berada di peringkat ke-111 dari total 189 negara.
Bila tujuan pendidikan, menuurt UU No. 20/2003, adalah 1) mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, 2) mengembangkan kesehatan dan akhlak mulia dari peserta didik, dan 3) membentuk peserta didik yang terampil, kreatif, dan mandiri. Maka jawabnya ada di tangan guru. Guru harus mampu berhadapan dengan segala masalah dan realitas Pendidikan. Di tetap mampu mengoptimalkan proses pembelajaran di kelas, yang tidak hanya terbatas pada kemampuan kognitif siswa tetapi afektif dan psikomotor. Guru harus lebih kreatif dalam mengajar, itulah sosok guru yang ideal.
Guru Ideal
Guru ideal harusnya mampu mengatasiproblematika belajar. Guru yang kompeten dalam menjalankan kegiatan proses belajar mengajar (PBM), di samping mau menyesuaikan diri dengan dinamika peradaban dan zaman. Guru ideal, sejatinya tidak menjadikan belajar sebagai proses untuk mencetak siswa sebagai “ahli”. Tapi belajar adalah proses agar siswa dapat menemukan potensi dan jati dirinya. Belajar bukan hanya pengetahuan namun memperkaya pengalaman siswa.
Guru sebaiknya menjadi sosok yang tidak dominan di dalam kelas. Agar pembelajaran di sekolah bukan hanya menyajikan kurikulum dan penguasaan materi pelajaran semata. Tapi mampu mengubah siswa menjadi kompeten sesuai dengan potensi dirinya. Penciptaan suasana belajar yang dinamis, produktif, dan profesional harus menjadi spirit guru yang dieal. Sehingga implikasinya, guru mampu menjadi fasilitator dalam membentuk kepribadian siswa yang kokoh, baik secara intelektual, moral. Maka guru ideal, bukan hanya memiliki kompetensi pedagogis, namun kompetensi profesional, sosial, dan kepribadian. Agar guru memang layak ‘digugu”.
Proses belajar-mengajar dengan sistem top-down yang masih dipraktikkan guru di kelas harus dihilangkan. Karena sistem belajar top-down hanya dapat menghasilkan manusia yang cerdas. Tapi gagal menciptakan generasi yang berkarakter, kritis lagi kreatif. Guru yang ideal harus dapat mengubah kurikulum pembelajaran menjadi unit pelajaran yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Kelas yang bergairah dan belajar yang penuh energi. Bahkan guru harus mampu “melawan” kurikulum yang mengungkung kreativitas guru dalam mengajar.
Guru di era digital memang harus berbebah dan berubah. Agar sosok guru yang ideal hadir di kalangan siswa sehari-hari. Beberapa indikator penting sosok guru yang ideal, antara lain: 1) bertumpu pada orientasi pembelajaran yang bersifat praktis, bukan teoretik, 2) mengakomodasi belajar sebagai sarana siswa untuk memperoleh pengalaman, 3) berorientasi pada kompetensi siswa, 4) mampu menyederhanakan materi pelajaran, dan 5) memiliki metode pembelajaran yang menarik dan menyenangkan.
Sejalan dengan itu, guru yang ideal pun harus mampu menggunakan model pembelajaran inovatif, seperti alat peraga, metode, dan strategi mengajar yang efektif dan bersifat student-centered. Guru yang memiliki semangat mengaja, bukan hanya sibuk mengurus administrasi dan tunjangan lalu meninggalkan jam mengajar. Karena profesi guru itu sepanjang hayat, bukan hanya satu semester atau satu tahun. Dan yang terpenting, guru yang ideal pun harus menjadi teladan siswa. Seperti ungkapan “digugu dan ditiru”. Guru yang mampu menjadi contoh baik bagi siswa. Karena menerapkan nilai-nilai karakter yang baik.
PBM di kelas yang monoton dan membosankan, harus diakui lebih banyak disebabkan oleh lemahnya sikap guru. Siswa yang tidak bergairah, under estimate saat mengikuti pelajaran di kelas adalah tantangan guru ke depan. Maka sosok guru yang ideal saat ini harusnya bukan lagi dambaan. Namun harus direalisasikan. Dengan cara meningkatkan kompetensi, kualitas, dan sikap guru menjadi lebih baik.
Guru yang ideal. Adalah sosok yang mampu menjadikan belajar dan pendidikan untuk melahirkan harapan; bukan pesimisme dan umpatan yang terus-menerus. Selamat Hari Guru!