Dibandingkan negara-negara lain di dunia, tingkat literasi anak-anak dan orang dewasa di Indonesia tergolong rendah. Sebut saja, alokasi waktu membaca orang Indonesia per hari rata-rata hanya 30-59 menit. Masih kurang dari satu jam. Sedangkan, jumlah buku yang dibaca tuntas per tahun rata-rata hanya 5-9 buku (Perpusnas, 2017). Sementara standar UNESCO meminta agar waktu membaca tiap orang sekitar 4-6 jam per hari. Sementara masyarakat di negara maju rata-rata menghabiskan waktu membaca 6-8 jam per hari. Anehnya, orang Indonesia mampu menghabiskan waktu 5,5 jam sehari untuk bermain gawai atau gadget.
Laporan
“Skills Matter” dari OECD (2016) menyebut tingkat literasi orang dewasa di Indonesia
berada pada posisi terendah dari 40 negara yang mengikuti program ini. Hanya 1%
orang dewasa di Jakarta yang memiliki tingkat literasi yang memadai (Level 4
dan 5); mengintegrasikan, menafsirkan,
dan mensintesis informasi dari teks yang panjang dan hanya 5.4% orang dewasa di
Jakarta memiliki tingkat literasi pada level 3, yaitu dapat menemukan informasi
dari teks yang panjang. Itu artinya, orang dewasa hanya terbiasa dengan bacaan
dan informasi yang pendek. Bukan buku bacaan.
Ternyata, kemajuan zaman dan teknologi canggih tidak berbanding lurus
dengan meningkatnya kebiasaan membaca orang. Era digital dan revolusi industri
4.0 pun tidak menjamin tegaknya budaya literasi di Indonesia. Bahkan orang
makin kaya pun belum tentu makin peduli pada budaya literasi. Justru
sebaliknya, di era serba digital dan revolusi industri
ini, faktanya makin banyak orang malas membaca, makin malas menulis. Perilaku
baca makin terpinggirkan, budaya literasi kian dikebiri.
Bisa jadi,
orang Indonesia hari ini lebih suka berceloteh di media sosial atau menonton
TV. Maka wajar bila hoaks dan ujaran kebencian kian marak. Memang, agak sulit
mengajak orang Indonesia untuk menadikan budaya literasi sebagai gaya hidup. Membangun
tradisi baca, bisa jadi “jauh panggang dari api”.
Memangnya
kenapa bila tingkat literasi masyarakat rendah?
Jujur,
sebenarnya agak fatal bila tingkat literasi suatu bangsa rendah. Masyarakat
yang tidak literat cenderung percara pada informasi yang salah, hoaks, bahkan
gemar merendahkan orang lain. Masyaralat yang tidak literat itu berarti sulit memahami
realitas, di samping tidka punya kesadaran untuk mencari solusi dari setiap
masalah yang timbul.
Setidaknya,
ada 6 (enam) dampak fatal bila tingkat literasi rendah, yaitu:
1.
Kebodohan masyarakat yang tidak berujung
dan terus-menerus.
2.
Tingkat produktivitas manusia yang rendah
jadi sebab sulit untuk maju.
3.
Mudahnya pendidikan berhenti atau masih
tingginya angka putus sekolah anak.
4.
Kemiskinan yang tidak terobati bahkan makin
meluas.
5.
Kriminalitas dan premanisme yang meninggi
jadi sebab tidak tertib masyarakat.
6.
Sikap bijak yang gagal menyeleksi setiap informasi
dan perilaku berkomunikasi yang emosional dan penuh sentimen.
Maka sebagai solusi, pemerintah atau masyarakat harus memberi ruang
lebih besar kepada taman bacaan masyarakat (TBM). Perlu dibuka taman bacaan yang lebih banyak. Harus
ad akepedulian terhadap aktivitas membaca dan Gerakan literasi yang ada di
taman bacaan. Taman bacaan adalah ujung tombak untuk mengkampanyekan tradisi
baca dan budaya literasi di kalangan anak-anak dan masyarakat. Apalagi di
tengah gempuran era digital.
“Terus
terang, tradisi baca dan budaya literasi masyarakat Indonesia makin ke sini
makin memprihatinkan. Zaman makin canggih tapi orangnya makin jauh dari buku
bacaan. Hoaks makin marak. Jadi bukti tingkat literasi kita rendah. Untuk itu,
taman bacaan masyarakat harus diberi peran lebih besar. Untuk menghidupkan
tradisi baca dan budaya menulis. Jangan biarkan gawai merampas hidup anak-anak
kita. Siapapun harus peduli terhadap gerakan literasi” ujar Syarifudin Yunus, Pendiri
dan Kepala Program TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor.
TBM Lentera Pustaka
yang terletak di kampung Warung Loa Desa Sukaluyu Kab. Bogor data ini memiliki 70-an
anak pembaca aktif yang terancam putus sekolah akibat kemiskinan. Dengan
alokasi waktu membaca 3 kali seminggu (Rabu-Jumat-Minggu), kini tiap anak mampu
membaca 5-8 buku per minggu per anak. Padahal sebelumnya, anak-anak itu sama
sekali tidak punya akses buku bacaan. Berbekal koleksi lebih dari 3.800 buku,
TBM Lentera Pustaka bertekad terus menggalakkan tradisi baca dan budaya
literasi pada anak-anak dan masyarakat. Selain aktivitas taman bacaan, TBM
Lentera Pustaka pun memiliki program GEBERBURA (GErakan BERantas BUta aksaRA)
yang diikuti 11 ibu-ibu buta huruf, di samping membina 10 anak yatim sebagai
binaan agar tetap bisa melanjutkan sekolah.
Jadi
apapun kondisinya. Tradisi baca dan budaya literasi harus tetap tegak di bumi
Indonesia. Apapun masalah yang dihadapi bangsa hari ini, intinya bertumpu pada
masalah literasi. Karena itu, siapapun harus ikut peduli mengatasi masalah
literasi di Indonesia. Salam literasi #TamanBacaan #LiterasiMasyarakat
#TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar