Bukan hanya buku, tapi guru ...
Tiap
tanggal 25 November, Indonesia memperingati Hari Guru. Sementara angka
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari United Nations Development Programme
(UNDP) tahun 2016, Indonesia meraih angka 0,689, berada di peringkat 113 dari
188 negara. Maka tidak salah, kita mempersoalkan kualitas guru? Guru, masihkah
digugu dan ditiru?
Agak sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Apalagi jika diukur dari kualitas anak didik. Maraknya kekerasan di sekolah, pelecehan
seksual, hingga lingkungan sekolah yang belum ramah anak dan berbagai
problematika yang dihadapi dunia pendidikan semakin tidak dapat dipisahkan dari
peran guru. Guru dapat digugu apabila layak menjadi sosok yang dapat percaya. Guru pantas ditiru apabila mampu menjadi sosok yang dapat diteladani siswanya.
Ada banyak indikator untuk menempatkan guru sebagai sosok
yang layak digugu dan ditiru. Tergantung cara pandang kita tentang guru. Namun,
setidaknya ada
dua indikator untuk mengukur kualitas guru, yaitu kompetensi dan sikap. Seharusnya, guru dapat digugu
karena kompetensinya. Guru dapat ditiru karena sikapnya. Guru tidak hanya
menjalankan tugas mengajar di depan kelas. Guru dituntut untuk mampu
mengembangkan kemampuan dan kecerdasan siswa secara komprehensif, baik
intelektual, emosional, dan spiritual. Bahkan guru kini, dianggap menjadi sosok
sentral dalam membentuk karakter siswa.
Pada kenyataan ini, siapapun yang menjalankan profesi
sebagai guru harus memiliki kepekaan terhadap berbagai realitas dan dinamika
kehidupan. Guru tidak hanya dituntut agar mampu melakukan transformasi ilmu dan
pengetahuan kepada siswa semata.
Tapi guru juga harus memiliki tanggung jawab yang besar dalam meningkatkan
kualitas pendidikan. Merencanakan pelajaran dengan baik, mengajar secara optimal,
dan mampu mengevaluasi hasil belajar secara objektif menjadi agenda penting
profesi guru. Harus diingat, kualitas guru tidak dinilai dari gelar sarjana
yang dimilikinya atau bahkan kelulusan program sertifikasi yang diperolehnya.
Kualitas guru pada dasarnya tercermin melalui kualitas siswa atau anak didik
yang dihasilkannya.
Guru semakin memiliki peran sentral karena dianggap
sebagai ujung tombak pencapaian tujuan pendidikan. Pada UU No. 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah 1)
mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, 2) mengembangkan
kesehatan dan akhlak mulia dari peserta didik, dan 3) membentuk peserta didik
yang terampil, kreatif, dan mandiri. Tujuan ini menjadi isyarat bahwa guru
merupakan garda terdepan yang menentukan kualitas pendidikan nasional, tentu
dengan segala masalah dan realitas yang dihadapinya. Dalam orientasi belajar, guru harus mampu mengoptimalkan proses
pembelajaran di kelas,
yang tidak hanya terbatas pada
kemampuan kognitif siswa tetapi juga
afektif dan psikomotor. Intinya, guru harus lebih kreatif dalam mengajar.
Kompetensi Guru
Indikator
guru layak digugu adalah kompetensi yang dimiliki. Guru yang kompeten harus memahami problematika belajar. Belajar bukanlah proses untuk menjadikan siswa sebagai “ahli” pada disiplin
ilmu tertentu. Belajar adalah proses agar siswa dapat menemukan potensi dan
jati dirinya terhadap disiplin ilmu. Dengan belajar, siswa seharusnya mendapat
ruang yang lebih besar untuk
menambah “pengalaman”. Siswa lebih membutuhkan ‘pengalaman” dalam belajar,
bukan “pengetahuan”.
Dalam
konteks inilah, guru harus memiliki kompetensi yang cukup dalam proses
pembelajaran. Proses belajar-mengajar dengan sistem top-down yang masih dipraktikkkan guru di kelas harus dihilangan.
Anggapan siswa tidak memiliki pengetahuan dan guru berkuasa membentuk siswa
sesuai keinginannya sangat tidak tepat. Guru ibarat “teko” dan siswa ibarat
“gelas” sama sekali tidak benar. Karena sistem top-down yang masih diterapkan di sekolah akan menghasilkan manusia
yang hanya dapat memenuhi kebutuhan zaman. Sedangkan untuk menciptakan generasi
yang kritis dan kreatif menjadi terabaikan.
Guru
yang kompeten adalah guru yang dapat mengubah kurikulum pembelajaran menjadi
unit pelajaran yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Kelas sebagai ruang
sentral interaksi guru dan siswa harus dibuat bergairah. Kurikulum tidak
semestinya mengungkung kreativitas guru dalam mengajar. Kurikulum, yang katanya
sudah memadai harus benar-benar dapat diwujudkan dalam praktik kegiatan
belajar-mengajar yang optimal, tidak hanya menjadi simbol dalam memenuhi target
pembelajaran.
Kesan
pembelajaran di sekolah saat ini hanya mengarah pada penguasaan materi pelajaran
harus dapat diubah menjadi kompetensi siswa. Guru sebaiknya menjadi sosok yang
tidak dominan di dalam kelas. Cara mengajar guru yang sekadar duduk di depan
kelas atau bertumpu pada ceramah menjadi bukti kurangnya kompetensi guru. Penciptaan suasana belajar yang dinamis,
produktif, dan profesional harus menjadi spirit bagi para guru. Dengan
demikian, guru memang pantas menjadi sosok yang dapat membentuk kepribadian
siswa yang kokoh, baik secara intelektual, moral, maupun spiritual. Pentingnya
kompetensi guru ini juga ditegaskan dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen,
yang menyatakan “guru harus memiliki kompetensi pedagogis, profesional, sosial,
dan kepribadian.”. Sekali lagi, guru layak ‘digugu” apabila memiliki kompetensi
yang dapat dipercaya.
Sikap Guru
Sikap
adalah indikator guru agar pantas
ditiru. Sekalipun sibuk mengurus sertifikasi atau kesejahteraan, guru harus
memiliki sikap bangga dan patriotrik terhadap profesi yang dipilihnya. Masih banyak guru
yang bersikap kurang positif terhadap mata pelajaran yang diajarnya. Bangga mengajar mata pelajaran yang
menjadi spesialisasinya adalah sikap guru yang utama. Sikap bangga inilah yang
akan menjadikan guru lebih bergairah dalam mengajar. Siswa pun akan
lebih tertarik dalam belajar. Maka
sikap dalam mengajar adalah
keteladanan siswa terhadap mata pelajaran yang diikutinya.
Proses
pembelajaran di kelas yang monoton dan membosankan, harus diakui lebih banyak
disebabkan oleh lemahnya sikap guru dalam mengajar. Siswa yang malas mengikuti
pelajaran tertentu lebih banyak dipengaruhi oleh sikap guru yang acuh terhadap
mata pelajarannya sendiri. Kondisi ini menjadikan siswa tidak bergairah, under estimate saat mengikuti pelajaran di
kelas. Konsekuensinya, siswa tidak memiliki kesadaran dan pemahaman akan
pentingnya mata pelajaran yang diajar guru tersebut.
Berawal dari sikap ini pula, pada
gilirannya guru enggan mengikuti “peningkatan keprofesian berkelanjutan (PKB)”.
Upaya pengembangan diri guru yang tidak optimal jelas menjadi penghalang guru
untuk menjadi guru profesional. Rendahnya minat dan kemampuan publikasi
ilmiah adalah masalah serius. Maka, karya inovatif yang dihasilkan guru pun
tidak memadai. Semua itu bersumber pada sikap guru yang terbilang ‘malas”
meningkatkan keprofesian berkelanjutan.
Upaya
membenahi sikap guru dalam mengajar menjadi sangat penting. Sikap guru
merupakan cerminan kualitas dan profesionalisme guru dalam proses pembelajaran.
Oleh karena itu, beberapa indikator penting bagi guru untuk membenahi sikap dalam
mengajar antara lain: 1) memiliki orientasi pembelajaran yang bersifat praktis,
bukan teoretik, 2) menjadkan belajar sebagai sarana siswa memperoleh pengalaman, 3) berorientasi pada kompetensi
siswa, 4) mampu menyederhanakan
materi pelajaran, dan 5) memiliki metode pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Jika
demikian, guru pantas ‘ditiru” apabila memiliki sikap dalam pembelajaran yang
dapat diteladani.
Sebagai penutup, guru yang layak digugu
dan ditiru pada dasarnya pasti dapat direalisasikan. Sejauh dilandasi kompetensi
dan sikap guru yang positif dalam mengajar. Maka guru, memang pantas digugu dan ditiru siswanya. Oleh karena itu, guru harus melibatkan
hati dalam mengajar, tidak cukup hanya pikiran. Kompetensi dan sikap guru
adalah agenda penting profesi guru saat ini dan di masa mendatang. Caranya,
guru harus lebih membuka diri untuk terus belajar, kreatif dalam mengajar, dan
menyetarakan pengetahun dan cara
mengajar. Selamat Hari Guru Nasional !