Siapapun yang merasa jadi bos atau atasan. Bahwa tidak ada pegawai resign – mengundurkan diri karena kerja keras atau over workload. Dalam kenyataannya, pegawai regisn karena bos-nya terlalu “bossy”. Atasan yang memerintah secara subjektif dan mendominasi orang lain secara berlebihan. Bos yang arogan dan mengabaikan pendapat orang lain. Apalagi bos yang “baru kemarin” tapi secara subjektif kerjanya menyalah-nyalahkan sistem yang sebelumnya. Saat seorang pemimpin arogan dan subjektif, maka siapapun yang paham pasti akan “pergi”.
Tegas dikatakan,
tidak ada pegawai yang resign karena kerja keras atau over workloag. Tapi
karena tidak dihargai, tidak didengar, dan akhirnya malas kerja bareng atasan
yang subjketif dan tidak kompeten. Jangan lupa, vanyak pegawai sanggup kerja
keras, lembur atau berada di tekanan kerja. Tapi selama merasa usahanya
dihargai, kontribusinya diakui dan ada tujuan yang jelas maka kerja berat bukan
masalah utama. Kerja Keras bisa diterima asal bermakna.
Pegawai di mana
pun, pasti akan “pergi” (minimal berpikir untuk resign) saat merasa kerjanya tidak
dianggap. Mulai merasa lelah karena atasan kerjanya mencari kesalahan orang
atau masa lalu, masukan diabaikan, dan kritik hanya satu arah. Apalagi atasannya
belum teruji benar atau tidaknya (jam terbangnya juga belum seberapa?), maka di
titik itulah pegawai akan lelah bukan
fisik tapi harga diri. Dan akhirnya resign, dengan berbagai alasan dan yang
penting menghindar dari bos yang “bossy”.
Semua orang
tahu dan paham, masalah di dunia kerja itu bukan beban. Orang jarang resign
karena kerjaanya banyak. Tapi orang akan resign karena arogansi bos, atasan
yang subjektif, standarnya ganda, dan bahkan janji yang tidak ditepati. Banyak
yang merasa jadi bos atau atasan lupa, bahwa di mata pegawai hubungan lebih penting
dari jabatan. Siapapaun bisa bertahan di kantor sekalipun pekerjaannya berat.
Tapi orang sulit bertahan pada atasan
yang merendahkan, lingkungan yang toksik, dan kepemimpinan yang arogan. Tolong
dicatat dan dipahami ya para “pemuja” jabatan!
Di banyak
organisasi, tuntutan extra hours atau kerja berat sering dijadikan “kambing
hitam” sebagai penyebab orang resign atau tingginya turnover. Padahal,
realitanya lebih sederhana. Selama bos-nya asyik, atasannya kompeten, hasil
kerja diapresiasi, kompensasi dicukupi, dan jenjang kariernya ada, siapapun akan
tetap bertahan. Bahkan saat capek, saat workload berat sekalipun. Sejujurnya, yang
bikin orang pergi bukan kerja keras. Yang bikin orang resign adalah kerja keras
di bawah arogansi dan subjektivitas si bos. Atasan yang tidak jelas mau dibawa
ke mana organisasinya?
Di dunia kerja, beban kerja bisa dinegosiasikan. Tapi rasa dihargai itu
non-negotiable. Sebab, karier tanpa arah kerja tanpa kenyamanan itu pelan-pelan
mematikan motivasi. Kalau orang per orang mulai merasa tidak dihargai, Lelah dalam
ketidak-jelasan pasti atu per satu pergi. Jadi, jangan buru-buru menyalahkan orang
lain. Lebih baik introspeksi diri dan perbaiki organisasinya.
Pesannya
sederhana. Sekarang ini banyak orang resign karena ingin meninggalkan atasannya,
bukan pekerjaannya. Menghindari bos yang arogan dan subjektif, atasan yang
tidak tahu cara menghargai orang lain. Karena itu, kepemimpinan bukan soal
memberi tugas, melainkan memberi makna dan sikap saling menghargai. Apalagi
kerja di kantor yang tidak memberi jaminan Sejahtera di hari tua, tidak punya
dana pensiun!
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar