Ada benarnya, apa yang disebut dengan “post hoc fallacy” atau keliru logika bila menyimpulkan sebab-akibat hanya berdasarkan urutan kejadian. Apa iya ayam berkokok lalu matahari terbit? Apakah berarti ayam yang menciptakan pagi, atau kita lupa tentang adanya rotasi bumi?
Sama halnya dengan, mana
lebih dulu “minat baca” atau “akses baca”? apa bisa terbentuk minat baca tanpa
disediakan akses bacaan. Jadi, dari mana memulai bahasan gGerakan literasi dan
kegemaran membaca? Karenanya mari kita membahas fakta, membicarakan data
tentang kegemaran membaca. Apakah hari ini minat baca orang Indonesia
berbanding lurus dengan tersedianya akses bacaan? Itulah yang kemudian disebut “appeal
to authority”, seringnya orang meng-klaim pentingnya literasi dan membaca buku
tapi tidak diukung oleh realitas di lapangan.
Mungkin hari ini, tidak
sedikit bahasan literasi dan kegemaran membaca hanya lahir dari ruang seminar
dan diskusi. Literasi yang lahir dari ruang ber-AC wlau hanya sebatas narasi.
Sementara eksekusi dan praktik baik masih mebgalami banyak masalah. Kesannya,
literasi jadi ‘jalan di tempat”. Tengoklah dan ungkapkan data, seberapa konsisten
pegiat literasi itu sendiri berliterasi? Seberapa luas dampak masyarakat yang
bisa meng-akses buku bacaan dalam satu minggu? Otokritis itu yang sangat pantas
jadi “pekerjaaan rumah” banyak pihak.
Secara subjketif, bukan tidak
mungkin hari ini literasi dan gerakan membaca pad yang diajukan oleh pendebat
untuk mendukung pernyataannya tidak relevan dengan di titik “slippery slope”,
sebuah kekeliruan logika. Berangkat dari asumsi kecil yang oleh sebagian orang dianggap
meluncur menjadi “isu besar”. Lagi-lagi, literasi memang harus berbasi fakta
dan data. Sebab tidak ada klaim yang dianggap benar tanpa data.
Literasi bisa jadi “keliru
logika” Manakala kita lebih perrcaya pada narasi yang seolah-olah benar yang ternyata
hanya ilusi. Sebuah pernyataan yang terdengar meyakinkan, penuh emosi, atau
dibungkus dengan apik tanpa konteks, namun struktur logisnya rapuh. Maka ujung dampaknya
pada kebijakan yang salah, seperti perda-perda literasi yang tidak bisa “berjalan
mulus” di level desa. Ironisnya, 9 dari 10 orang secara tidak sadar sedang
menjadi “korban” kekeliruan logika literasi. Akhirnya, literasi “terpaksa”
benar dan bagus di atas kertas, di atas narasi di ruang seminar.
Literasi hari ini, harus
diakui, bisa disaksikan langsung dan menyelinap dalam obrolan santai, pidato
memikat, atau argumen yang tampak rasional. Tapi realitasnya, pola-pola umunya
dapat dikenali. Topiknya bisa dideteksi, seminar dan diskusinya bisa dibuat,
dan rekomendasinya pun ada. Bahkan perdebatannya pun bisa dihadirkan walau
akhirnya tetap “begini-begini saja dan begitu-begitu saja”. Literasi yang berujung
pada “keliru logika”.
Faktanya, tidak ada teori
yang paling benar tentang literasi, bahkan tentang taman bacaan. Semuanya harus
berproses dan memperbanyak konsistensi dalam aksi nyata. Literasi eksekusi,
bukan narasi. Agar tidak keliru logika.
Karenanya, TBM Lentera
Pustaka setelah 8 tahun berdiri tetap fokus pada proses dan eksekusi. Mengubah niat
baik jadi aksi nyata. Bila diskusi sekalipun, harus di taman bacaan. Diskusi
literasi yang “dekat” dengan audiens-nya, berada di objek langsungnya. Taman
bacaan yang tetap komitmen dan konsisten menjalankan literasi dan aktivitas
membaca di “akar rumput”. Membimbing kegiatan membaca anak-anak, mengajar
calistung kelas prasekolah, memberantas buta aksara, bahkan menjalankan motor
baca keliling secara rutin. Termasuk melatih akhlak dan adab anak-anak di taman
bacaan, budaya antre, dan menjadikan taman bacaan sebagai tempat yang asyik dan
menyenangkan.
Maka literasi sejatinya
bicara proses, bicara praktik baik. Apa yang sudah dilakukan pegiat literasi
dan seberapa dampaknya di mata masyarakat? Biarkan masyarakat atau pengguna
layanan yang bicara langsung, agar lebih objektif dan lebih substantif. Sebab
anak-anak taman bacaan, sejatinya hanya dilatih untuk melakukan sedikit hal
yang benar selama mereka tidak melakukan terlalu banyak hal yang salah. Agar tidak
“keliru logika”, itu sudah cukup. Jadi, tetaplah berproses di taman bacaan. Ubah
niat baik jadi aksi nyata … salam literasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar