Agak kaget juga, ketika ada yang bertanya. Saya hidup sendiri dan tajir (kaya), apa saya masih perlu dana pensiun? Kan saya tidak punya anak atau pasangan? Pertanyaan seperti ini mungkin lazim sifatnya. Tapi jarang ada yang mau mengemukakan. Karena terkesan tidak etis.
Hidup sendiri
atau tidak menikah tentu karena alasan pribadi. Bisa karena keyakinan personal
atau agama, ingin menjaga kebebasan dan otonomi, bahkan tidak mau ribet. Apapun
alasannya harus dihormati. Apalagi bila kaya alias tajir, atau hartawan dan
crazy rich. Beberapa tokoh besar, faktanya memilih hidup sendiri Nikola
Tesla dan Isaac Newton, filsuf seperti Plato dan Ludwig Wittgenstein. Ada pual ulama
seperti Imam Nawawi dan Rabiah Al Adawiyah yang dikenal dengan ajaran cinta dan
pengabdiannya kepada Allah, dan Karimah al Marwaziyyah seorang ulama perempuan
periwayat hadis. Begitu pula dengan Ratu Elizabeth I, Ratu Inggris yang dikenal
sebagai "Virgin Queen" dan Clara Barton.
Kembali ke
pertanyaaanya, bila hidup sendiri dan tajir secara keuangan, apa perlu dana
pensiun? Secara ringkas, jawabnya tetap perlu. Meskipun hidup sendiri, dana
pensiun tetap penting untuk memastikan kemandirian finansial dan diversifikasi
kekayaan. Diversifikasi kekayaan itu penting untuk mengurangi risiko dan
meningkatkan potensi keuntungan investasi. Diversifikasi juga membantu
menjaga stabilitas portofolio dan memberikan fleksibilitas dalam menghadapi kondisi
keuangan makro. Maka jelas, dana pensiun memang tidak hanya untuk mereka yang
berkeluarga.
Bagi orang
kaya atau kaum tajir, dana pensiun bukan lagi soal perencanaan keuangan untuk
hari tua. Melainkan pemenuhan aspek psikologis untuk memastikan ketenangan
pikiran dan rasa aman secara personal. Bahlan lebih dari itu, dana pensiun bisa
menjadi “kendaraan” yang pas untuk mewujudkan semangat filantropi. Sebuah tindakan
cinta kasih dan kedermawanan kepada sesama manusia untuk tujuan sosial dan
kemanusiaaan. Bahkan selain uang, filantropi juga dapat diwujudkan dalam bentuk
pemberian waktu, tenaga, dan pikiran untuk membantu sesama secara sukarela. Dana
pensiun yang pada akhirnya ditujukan untuk membantu orang lain dan memecahkan
masalah sosial melalui sumbangan kepada organisasi amal atau sosial.
Dana pensiun
untuk tujuan kemanusiaan, yang nantinya dimanfaatkan untuk perbaikan kehidupan masyarakat
seperti pengentasann kemiskinan, menekan angka putus sekolah anak, Kesehatan masyarakat,
konservasi alam dan lingkungan, atau taman bacaan masyarakat. Melalui filantropi,
peserta dana pensiun yang hidup sendiri namun tajir dapat berkontribusi untuk
menciptakan perubahan sosial yang positif dan bermanfaat.
Ada pepatah “kekayaan tidak dibawa
mati”, begitulah spirit filantropi. Untuk menyiapkan donasi atau sumbangan
sosial sepeninggal kita. Dana pensiun untuk filantropi menjadi praktik baik
dalam memberi, berbagi, dan berempati terhadap sesama. Karena prinsipnya, kita
mencari uang dari apa yang kita dapatkan. Tapi kita membangun kehidupan dari
apa yang kita berikan kepada sesama.
Di kalangan
tokoh terkemuka, semangat filantropi sudah dijalankan hingga saat ini. Mereka
aktif terlibat dalam kegiatan amal dan memberikan sumbangan untuk kepentingan
sosial. Di Indonesia, kita mengenal Eka Tjipta Wijaya, Tahir, Chairul
Tanjung, atau TP Rachmat. Di dunia, ada nama-nama seperti Bill Gates,
Warren Buffett, dan MacKenzie Scott yang dikenal karena kegiatan filantropis-nya.
Kini, spirit filantropi jadi “kesadaran baru” untuk membantu masyarakat yang
membutuhkan dan mengurangi kesenjangan sosial.
Jadi,
sekalipun hidup sendiri dan tajir, dana pensiun tetap diperlukan. Untuk mendukung
semangat filantropi si peserta dana pensiun yang tajir dan hidup sendiri.
Istilahnya, meninggalkan warisan untuk umat. Sehingga akhirnya, di hari tua,
menjadi kaum tajir yang dikenal karena kedermawanannya.
Dana pensiun
untuk kaum tajir, kenapa nggak? Salam #YukSiapkanPensiun #EdukasiDanaPensiun #DPLKSAM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar