Di sebuah desa kecil bernama Sukaluyu, anak-anak tumbuh bersama angin yang sejuk, ladang yang luas, dan langit yang bersih dari polusi. Di antara mereka, ada seorang anak bernama Anisa, umur dua belas tahun, berkulit sawo matang, dan selalu membawa buku ke mana pun ia pergi, bahkan saat membantu ibunya ke ladang sekalipun.
Anisa bukan anak yang pandai dalam
berhitung atau cepat dalam lari. Ia sering tertinggal dalam pelajaran
matematika dan selalu gugup saat disuruh maju ke papan tulis. Tapi ada satu hal
yang membuatnya berbeda dan bersinar di mata teman-temannya: ia gemar membaca.
Taman Bacaan Lentera
Pustaka
Suatu sore yang gerimis, Anisa
berteduh di bawah sebuah pohon tua di pinggir jalanan desa. Ia tak sengaja
melihat papan kayu hitam bertuliskan: TAMAN BACAAN LENTERA PUSTAKA.
Buku adalah jendela, dan kamu adalah pemilik kuncinya.
Anisa penasaran. Ia berucap salam dan membuka pintu pagar taman bacaan itu. Seorang
lelaki tua, berkacamata pun membuka pintu.
"Masuklah, Nak. Kau basah. Dan di
sini banyak dunia menunggumu," kata Pak Syarif.
Di dalam, Anisa melihat ratusan buku
tersusun di rak-rak kayu: novel anak, komik sains, kisah rakyat, buku tentang
luar angkasa, dan sejarah Indonesia. Matanya berbinar, hatinya senang.
Sejak hari itu, Anisa datang setiap
hari Rabu, Jumat, dan Minggu. Ia membaca tanpa lelah, kartu bacanya pun penuh.
Tidak kurang 20-30 buku per Minggu habis dibacanya. Ia mencatat hal-hal menarik
dari bacaan, dan menempelkan kutipan favorit di dinding kamarnya.
Buku mengubah Anisa. Di sekolah, ia
mulai berani bertanya. Ia mengerti kenapa hujan turun, bagaimana tanaman
bernapas, dan mengapa orang harus jujur. Ia bahkan membantu teman-temannya
mengerjakan PR dengan cerita-cerita dari buku.
Tapi bukan hanya pengetahuan yang ia
dapat. Anisa juga belajar berimajinasi. Ia menulis cerita tentang sepeda yang
bisa bicara, tentang nenek yang menyimpan bintang di dalam toples, dan tentang
seorang anak kecil yang menyelamatkan kampungnya dari kekeringan hanya dengan
membaca buku tua tentang pengairan.
Pak Syarif membacakan cerita-cerita Anisa
dan kawan-kawannya di sore hari, di kebun baca yang asri dan menyenangkan.
"Setiap kata yang kau tulis, Anisa,
adalah benih yang akan tumbuh," ucap Pak Syarif.
Hampir tidak pernah lupa. Anisa selalu
ke taman bacaan. Ia duduk sendirian di kebun baca dengan buku-bukunya yang
sudah habis ia baca ulang tiga kali. Ia rajin datang dan wajahya selalu
tersenyum sehabis membaca buku. Seakan ada sinar terang di pikirannya, ada optimisme
manatap masa depannya.
Suatu sore, Anisa pun menulis di tembok
kebun baca:
TAMAN BACAAN LENTERA
PUSTAKA – BACANYA GRATIS, PULANGNYA BAWA ILMU
Anak-anak dari kampung lain pun berdatangan.
Ada yang dulunya malu membaca. Ada yang ternyata suka puisi. Ada empat anak
baru yang tidak pernah ke taman bacaan sebelumnya.
Setiap datang, Anisa selalu membaca
dan mencatat pesan dari buku yang dibacanya.. Ia bahkan membuat sistem
“gantungan kunci pembaca”, siapa yang membaca 20 buku seminggu, boleh
menggantung namanya di tembok kebun baca.
Sebulan kemudian, Pak Syarif pun
datang. Ia terkejut melihat puluhan anak duduk melingkar, mendengarkan Anisa
membacakan kisah. Ia tertawa, menepuk pundak Anisa.
“Sekarang aku tahu,” kata Pak Syarif,
“tembok ini tak cuma kokoh sebagai dinding, tapi juga mampu menyebarkan ilmu.”
Anisa tersenyum. Di tangannya ada buku
kosong, halaman pertama berjudul:
“Taman Bacaan Tembok
Ilmu” – oleh Anisa, si Anak Pembaca
-----
Cerita pendek ini
membuktikan anak-anak yang gemar membaca dan cinta buku bisa mengubah cara
berpikirnya untuk masa depan. Akses buku seperti taman bacaan bisa menciptakan
dampak besar untuk mimpi anak-anak., di
samping punya potensi menjadi agen perubahan literasi, bahkan sebelum mereka
dewasa. Taman bacaan menjadi ruang tumbuh bersama anak-anak di tengah gempuran
era digital. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #CerpenLiterasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar