Agak susah mencari cara untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia. Terpaksa kurikulum digonta-ganti, akhirnya mebuang waktu untuk format kurikulum yang pas hingga efektivitas hasil pembelajaran. Temuan Program Penilaian Siswa Internasional (PISA) mengungkap bahwa 70 persen siswa usia 15 tahun di Indonesia memiliki keterampilan yang rendah dalam membaca dasar dan menerapkan konsep matematika. Belum lagi soal Kurikulum Merdeka yang tidak tuntas dijalankan. Ditambah soal kompetensi guru yang masih jadi “pekerjaan rumah”. Belum lagisola takutnya guru mendidik siswa, akibat sering diadukan ke polisi. Itu hanya sebagain potret pendidikan di Indonesia kini.
Urusan pendidikan di era Presiden Prabowo pun diubah. Tadinya
hanya 1 kementerian, sekarang dipecah jadi 3 kementerian (Dikdasmen,
Diktisaintek, dan Kebudayaan). Digaungkan pula mmodel pendidikan “deep learning”
sebagai orientasi pendidika yang menekanakn pembelajaranuntuk pemahaman
mendalam dan aplikasi pengetahuan, termasuk AI (Artificial Intellegence).
Belajar, katanya bukan sekadar hafalan tai harus mendorong siswa untuk aktif
terlibat dalam proses pembelajaran dan memecahkan masalah nyata. Sangat
ideal sekali.
Sungguh, mencari cara untuk membenahi dunia pendidikan di
Indonesia memang tidak mudah. Dunia pendidikan makin dihadapi tantangan besar.
Belum lagi mencari cara yang pas untuk merespons era digital. Berharap adanya
kualitas pendidikan di Indonesia bisa jadi masih angan-angan. Terlalu banyak
batu sandungannya, membuat dunia pendidikan terus-menerus jadi polemik. Mulai
dari soal kekerasan di sekolah, kurikulum, kualitas guru, model pembelajaran,
hingga korupsi di dunia pendidikan.
Suka tidak suka, ikhtiar memajukan Pendidikan di Indonesia harus
terus didengungkan. Pendidikan yang mampu merespons otomatisasi, digitalisasi,
dan kecerdasan buatan adalah harga mati. Maka hanya pendidikan berbasis
kompetensi, kreativitas, dan karakter yang kuat yang bisa mengimbangi laju era
digital dan revolusi industri.
Tokoh revolusioner antiapartheid dan mantan Presiden Afrika
Selatan, Nelson Mandela, pernah berkata,
"Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat Anda gunakan untuk
mengubah dunia." Bila setuju pernyataan itu, maka kita berharap di era
Presiden Prabowo Indonsia bisa membawa
kemajuan bagi bidang pendidikan secara signifikan. Pendidikan bukan lagi
sekadar seremoni atau formalitas, tapi tawuran, geng motor hingga kekerasan
masih menghantui dunia pendidikan di Indonesia. Terus, mau dibawa kemana dunia
Pendidikan kita?
Tiap tanggal 2 Mei, kita peringati Hari Pendidikan Nasional. Saya pun iap
Hardiknas selalu membuat catatan kritis dunia Pendidikan. Harapannya, agar bisa
jadi momentum semua pihak untuk berpikir ulang tentang cara memajukan
pendidikan Indonesia. Pendidikan harus dipandang sebagai ikhtiar kolektif
seluruh bangsa. Pendidikan tidak bisa dipandang sebagai sebuah program semata.
Semua elemen masyarakat harus terlibat untuk membenahi dan memajukan dunia
pendidikan. Masyarakat harus merasa memiliki dunia pendidikan, pemerintah harus
memfasilitasi, dunia bisnis harus peduli, pendidik dan anak didik harus
menyadari makna pendidikan yang sebenarnya. Deschooling society, kata Ivan
Illich.
Mungkin saat ini, “rasa memiliki” terhadap duniapendidikan harus
dikampanyekan lagi. Sense of belonging di dunia pedidikan, agar semua pihak
punya rasa yang terhubung, diterima, dan diakui untuk memajukan dunia
pendidikan. Pendidikan menjadi “gerakan” yang bertumpu pada rasa memiliki dari
semua pihak terhadap masa depan Pendidikan, bukan sekadar "program"
yang dianggap sebagai kegiatan dan tanggung jawabnya terbatas pada para
pelaksana pendidikan. Tapi, semua pihak harus mau dan bersedia menjadi bagian
dari ikhtiar untuk menyelesaikan problematika pendidikan.
Hingga kini, saya sudah 31 tahun mengajar dan mendidik di
Universitas Indraprasta PGRI. Sebagai kontribusi dan catatan kritis terhadap
dunia pendidikan, saya pun punya tanggung moral untuk ikut berkontribusi dalam memajukan
pendidikan di Indonesia. Apa dasarnya, karena pendidikan adalah esensi
kehidupan yang lebih baik di masa depan. Tanpa pendidikan, apapun dan siapapun
akan hampa dan sulit untuk membangun peradaban yang baik. Karena itu, sebagai
rekomendasi terhadap pemerintah di Hari Pendidikan Nasional, beberapa pikiran
untuk membenahi pendidikan di Indonesia menjadi penting diprioritaskan, yaitu:
1.
Pembelajaran berbasis penguatan
karakter siswa, tidak lagi bertumpu pada kecerdasan kognitif semata. Belajar
yang mampu menanamkan integritas dan membangun spiritualitas siswa sebelum
belajar.
2.
Pengembalian tradisi belajar dan
budaya akademik guru sebagai bagian untuk meningkatkan kompetensi dan kemampuan
mengajar yang sesuai perkembangan zaman dan teknologi. Guru jangan sibuk dengan
administrasi dan kepangkatan semata.
3.
Perbaikan infrastruktur dan teknologi Pendidikan
yang lebih baik dan adaftif, termasuk kecerdasan buatan yang menjadi bagian
dari kurikulum.
4.
Kepemimpinan sekolah dan kampus yang
mendukung peningkatan kualitas SDM secara lebih konlret, dengan memperharikan
kesejangan antara harapan dan kenyataan di lapangan, termasuk melibatkan
profesional dan kolaborasi dengan dunia usaha.
5.
Perbaikan kebijakan, prosedur, dan
pendanaan yang efektif dan efisien di dunia Pendidikan, pemanfaatan anggaran
pendidikan pun lebih efisien dan akuntabel.
Ke depan, pendidikan semestinya dipandang sebagai ikhtiar
kolektif. Agar ada kesadaran akan makna pendidikan yang lebih berdaya guna dan
upaya bersama untuk menyelesaikan problematika pendidikan. Semua elemen
masyarakat harus terlibat dalam proses dan dinamika Pendidikan yang terjadi.
Unutk menjaga Marwah penddiikan yang se Karena pendidikan bukan sekadar
program, melainkan gerakan moral bersama untuk memajukan harkat dan martabat
bangsa.
Di sisi lain, orientasi Pendidikan bukanlah mengejar kesempurnaan
melainkan kesetaraan. Praktik dan perilaku belajar harus didorong untuk
membangun kesetaraan, di samping kerjasama antar siswa. Belajar bukan sarana
untuk mencapai nilai tinggi, melainkan untuk membangkitkan gairah siswa dalam
belajar. Kegiatan belajar bukan bergantung pada “kunci jawaban”, tetapi
bertumpu pada “pengertian”. Proses dalam belajar, bukan menuntut hasil belajar.
Proses agar siswa berani bertanya dan tidak takut salah. Karena dengan cara
itu, siswa akan mampu mengeksplorasi potensi diri, di samping dapat memacu
kreativitas dalam belajar. Hingga berujung pada integritas dan karakter
personal, sebagai buah dari belajar. Agar tidak lagi “tahu sedikit tentang
banyak hal, tetapi tidak tahu banyak tentang satu hal”. Selamat Hari Pendidikan
Nasional!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar