Sabtu, 31 Mei 2025

Anak-anak yang Melatih Perilaku dan Pikiran Baik Melalui Buku Bacaan

Bila datang dan berkunjung ke TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor tiap Rabu dan Jumat sore saat matahari jelang terbenam, Anda akan mendapati anak-anak yang membaca buku di bawah sorotan sinar matahari. Senja yang menyinari buku-buku bacaan, yang ada di genggaman tangan anak-anak kampung. Sebuah budaya gemar membaca yang sudah terbentuk di taman bacaan, minimal 8 tahun terakhir.

 

Anak-anak yang membaca di bawah sorotan matahari, tentu bukan untuk dikasihani. Tapi justru mereka jadi contoh pentingnya membangun perilaku dan pikiran baik melalui buku bacaan. Membangun kebiasaan membaca yang mungkin sudah banyak ditinggalkan orang. Kebiasaan melangkahkan kaki ke taman bacaan sebagai “kekuatan baru” di tengah hiruk pikuk dunia digital. Jadi membaca, bukan lagi soal pintar, punya wawasan atau apapun yang indah-indah. Tapi soal adanya alokasi waktu bersama buku secara manual, sebagai penyeimbang aktivitas anak sehari-hari.

 

Aristoteles pernah bilang, kekuatan sejati dari pikiran manusia terletak pada perilaku dan pola pikir yang positif, konsisten, dan berfokus pada hal-hal yang baik. Kebiasaan berpikir baik tidak hanya membentuk cara kita memandang dunia, tetapi juga mengarahkan tindakan kita menuju tujuan yang bermakna. Persis, seperti anak-anak yang rutin datang ke taman bacaan.

 

Pikiran kita itu ibarat tanah. Jika kita menanam benih berupa perilaku dan pikiran positif, seperti membaca buku, optimis, memiliki harapan, dan selalu bersyukur, maka pohon yang tumbuh pasti akan menghasilkan “buah” kebaikan, keberanian, kebahagiaan, dan kesuksesan. Namun, jika tanah itu dipenuhi dengan gulma berupa perilaku fan pikiran negatif, seperti ketakutan dan keraguan, ia akan menghambat pertumbuhan dan membuat pikiran kita rapuh dengan sendirinya.

 

Berpikir baik adalah kebiasaan yang harus dilatih. Perilaku baik pun harus dibiasakan. Maka pilihlah tempat bergaul yang menghadirkan kebaikan, baik perilaku dan pikiran. Batasi diri untuk tidak bergaul dengan semua orang. Karena kualitas diri kita bukan terletak pada seberapa banyak orang mengenal kita. Tapi seberapa kita bermanfaat untuk orang lain atau kebiasaan baik apa yang kita jalankan secara konsisten? Ingat sehebat apapun kita, tidak akan pernah bisa “menyenangkan” semua orang. Apalagi orang-orang toxic (racun), yang matanya hanya pandai menilai orang lain tanpa bisa menilai diri sendiri.


 

Sama seperti seorang atlet yang melatih tubuhnya untuk menjadi kuat, mereka harus melatih pikiran agar menjadi lebih tangguh, punya tekad untuk bersaing dan menang. Latihan dan latihan untuk berprestasi.  Dengan membiasakan berpikir positif dan konstruktif, setiap atlet hanya bisa melihat peluang di balik tantangan. Bukan keluhan di saat latihan. Tidak ada taman bacaan yang baik bila tidak diurus dengan baik. Tidak ada pula penulis buku yang lahir dari “sibuknya pergaulan”. Mereka semua hadir karena mampu mengatur waktu dan terbiasa dengan perilaku dan pikiran yang baik.

 

Sudah pasti, pikiran yang kuat tidak dibangun dalam semalam, melainkan melalui proses panjang. Semakin sering kita memilih untuk berpikir baik, semakin kuat pikiran kita dalam menghadapi tantangan hidup. Semakin berani kita bersikap untuk produktif, semakin dekat tujuan jadi kenyataan. Sebab, kekuatan pikiran bukan hanya tentang seberapa cerdas kita. Tapi bagaimana kita memilih untuk memandang dunia dengan optimisme dan memilih untuk menjadi lebih baik?

 

Belajar dari anak-anak yang membaca di bawah sorotan matahari. Ada pesan penting, bila kita ingin memiliki perilaku dan pikiran yang kuat mulailah dari kebiasaan kecil: bersyukur, melihat sisi baik dari setiap kejadian, percaya pada potensi diri serta membaca buku yang dijadikan kebiasaan. Buku jangan hanya didiskusikan apalagi diseminarkan. Tapi buku harus dibaca, karena tafsirnya bisa menjadi berbeda di antara pembacanya. Selagi masih mau membaca, di situ ada latihan untuk berperilaku dan berpikir yang baik. Sebab, perilaku dan pikiran yang terbiasa baik adalah dasar perolehan kebaikan atas diri kita sendiri di masa depan.

 

Tidak ada ruginya membiasakan perilaku dan pikiran baik, semuanya akan kembali kepada diri kita sendiri. Dan biarkan bila di sekitar kita, masih ada orang-orang yang belum mau baik karena itu tanggung jawab mereka sendiri. Dan ingat, tidak ada teori yang paling benar tentang kebaikan manakala kita tidak “mempraktikkan” kebaikan itu sendiri. Salam literasi! #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #MembacaBuku #SorotanMatahari

 




Cerpen Pensiunan: Gaji Habis, Pensiun Menangis

Pagi itu, Ardi menatap layar ponselnya. Notifikasi gaji sudah masuk ke rekeningnya baru saja muncul. Senyumnya mengembang, hatinya langsung lapang. Sumringah.

“Fix, malam ini kita makan wagyu lagi!” serunya di ruang kantor yang sepi, kecuali Raka, rekan satu timnya.

 

Raka hanya melirik singkat. “Gaji mau langsung lo habisin lagi, Bro?”

“Buat apa disimpan? Hidup dinikmati. Gaji itu buat dibelanjakan, bukan ditabung. Nanti juga anak-anak sukses, bisa urus kita.” Balas Ardi sambil menyender di kursi kerja. Santai, lalu membayangkan liburan ke Bali bulan depan.

 

Raka menghela napas. Ia mengenal Ardi sejak awal kerja di kantor ini, dua puluh tahun lalu. Sama-sama berangkat dari nol. Bedanya, sejak awal Raka menyisihkan sebagian gajinya ke program pensiun kantor, ikut DPLK, dan perlahan membentuk dana cadangan untuk hari tuanya. Ia bukan yang paling kaya di kantor, tapi ia tahu ke mana uangnya pergi.

 


Tahun demi tahun berlalu.

Ardi tetap jadi bintang di kantor. Promosi, bonus, gaya hidup—semua ia kejar. Tapi setiap awal bulan, dompetnya kembali kosong. Tak ada dana darurat, tak ada investasi. Hanya cicilan dan tagihan.

 

Lalu hari itu tiba. Usia 58. Usia pensiun Ardi tiba. Sudah waktunya berhenti bekerja. Kantornya memberikan upacara kecil, beberapa ucapan selamat, dan bingkisan. Ardi tersenyum, tapi dalam hatinya gelisah. Ternyata, puluhan tahun bekerja begini saja, ucap batinnya.

 

Sebulan setelah pensiun, Ardi mulai merasa sesak. Tabungan? Nol. Istri? Mulai khawatir. Anak-anak? Ada yang masih kuliah, ada yang bekerja serabutan. Sementara tagihan tidak ikut pensiun. Biaya hidup berjalan terus, Kepala Ardi mulai puyeng. Entah dari mana, dia harus membayar semasa pensiun. Stres dan gelisah, terus merasuk di pikirannya. Ardi pun mencoba melamar jadi pengajar paruh waktu. Beberapa lamaran dikirim, tidak satu pun membalas. Dia ingin bekerja lagi, apa daya sudah pensiun. Pasti ada Batasan dan kendalanya.

 

Sore itu, Ardi duduk di teras rumah, menatap kosong. Hujan turun perlahan. Di tangannya, secarik undangan reuni kantor. Raka datang menjemput dengan mobil barunya. Senyumannya tenang.

"Lo keliatan capek, Di."

Ardi mengangguk lemah. "Gue dulu salah, Ka. Nggak pernah mikir masa depan. Sekarang, gue baru tahu artinya ‘menabung untuk diri sendiri dihari tua’."

Raka menepuk bahunya. “Belum terlambat buat hidup lebih bijak. Tapi memang, kalau bisa ulang waktu, pasti elo akan mulai lebih awal.”

-----

Ardi mulai menyesali keteledorannya di masa bekerja. Lupa mempersiapkan masa pensiunnya sendiri. Ternyata, hidup bukan hanya tentang hari ini.  Karena suatu hari nanti, kita semua akan bertemu dengan versi tua diri kita sendiri. Pertanyaannya: sudahkah kita siapkan bekal untuk hari tua, saat tidak bekerja lagi?



Jumat, 30 Mei 2025

Jangan Takut

Banyak orang dihantui rasa takut. Takut bersikap, takut bertindak bahkan takut diomongin orang. Akhirnya tidak berbuat apa-apa, tidak melakukan apa-apa kecuali omon-omon. Tidak ada alasan untuk takut, kecuali hanya kepada-Nya.

 

Memang benar, ketakutan itu naluri alami yang berfungsi untuk melindungi kita. Namun, jika terus didengarkan tanpa ditimbang, ia berubah menjadi penghalang. Ia membisikkan kegagalan sebelum kita mencoba, membayangkan bahaya sebelum kita melangkah, dan memaksa kita untuk diam ketika seharusnya kita tumbuh. Hidup dalam ketakutan membuat kita mundur selangkah demi selangkah dari potensi kita yang sejati.

 

Pengalaman saya membuktikan. Saat ingin mendirikan TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Rumah peristirahatan yang dijadikan taman bacaan. Takut keluarga tidak setuju. Takut bisa dapat buku-buku bacaan dari mana? Takut biaya operasional (sekalipun sosial) buat bayar listrik atau wifi dari siapa? Takut tidak ada yang bantu untuk mengelola, sementara saya tinggal di Jakarta? Dan masih banyak lagi ketakutan dan kekhawatiran yang menghantui. Tapi nyatanya setelah dikerjakan dan dijalani, kini sudah berjalan 8 tahun dan Alhamdulillah terus berkembang pesat. Dari jumlah anak-anak yang membaca dan dilayani, dari jumlah relawan, hingga biaya operasional pun tidak masalah. Selalu ada orang-orang baik yang membantu TBM Lentera Pustaka hingga kini.

 


Jangan takut, kecuali hanya pada-Nya. Ternyata, banyak impian tidak pernah lahir bukan karena tidak mungkin, tapi karena terlalu cepat dikubur oleh kekhawatiran. Ketakutan yang membatasi cakrawala kita dan menyempitkan dunia hingga hanya ada ruang untuk keraguan. Padahal, kehidupan yang bermakna bukanlah yang bebas dari rasa takut, tapi yang dijalani meski rasa takut masih ada. Keberanian bukanlah ketiadaan ketakutan, tetapi keputusan untuk tidak dikuasai oleh rasa takut.

 

Jika kita terus membiarkan ketakutan memegang kendali, kita bisa saja hidup lama secara fisik. Tapi jiwa kita telah lama mati; tidak pernah benar-benar mencinta, mencoba, gagal, atau menang. Maka, hiduplah sepenuhnya sesuai potensi dan keberanian yang kita miliki. Dengarkan ketakutan, tapi jangan jadikan ia kompas. Gunakan akal dan hati, dan berjalanlah terus, bahkan jika kakimu gemetar sekalipun.

 

Buang jauh-jauh rasa takut. Dan bila sudah dijalani dengan berani, tidak usah banyak bicara apalagi klarifikasi. Asal hidup di jalan yang lurus, mau berbuat baik dan menebar manfaat, lanjutkan saja. Ingat, kita tidak butuh drama dalam hidup. Karena hidup hanya butuh hati nurani dan akal sehat, berjalan seiring sejalan sampai kapanpun. Jangan takut apapun, jangan takut membaca. Jadilah literat!





Rabu, 28 Mei 2025

Farah Tembus SNBT ke Prodi Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang

Salah satu kebahagiaan orang tua, harus diakui, adalah saat anaknya dinyatakan lolos Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) melalui jalur  Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT).  Diterimanya anak menjadi mahasiswa baru di lingkup perguruan tinggi negeri (PTN) patut disyukuri dan dibanggakan. Karena keberhasilan sang anak menjadi bukti ikhtiar dan proses yang ditempuh mencapai impiannya, mendapat kampus yang sesuai pilihannya.

 

Adalah kebahagiaan yang tidak terhingga, saat pukul 15.25 WIB hari ini (28/5/2025), saat diberi kabar oleh istri bahwa anak bungsi kami, Farah Gammathirsty Elsyarif telah diumumkan dan diterima di Program Studi S1 - Kesehatan Masyarakat di Universitas Negeri Semarang (UNES). Alhamdulillah ya Allah dan tentu menjadi kebahagiaan yang tidak terhingga karena anak saya Farah telah berhasil melewati seleksi yang ketat untuk merebut 253.421 kursi mahasiswa baru PTN dari 860.976. peserta SNBT tahun 2025. Jerih payahnya belajar dan berjuang keras akhirnya memberikan “hasil memuaskan” sehingga bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, universitas.

 

Orang tua mana yang tidak bangga saat impian anaknya terwujud? Pastinya, bangga dan bersyukur bisa berkuliah di kampus pilihannya. Menyusul kedua kakaknya, Fahmi dan Farid menuntaskan misi belajarnya untuk menggapai cita-citanya. (Simak -https://www.kompasiana.com/syarif1970/67662011ed64154b7d3045a3/kepada-farah-gammathirsty-elsyarif-21-desember-2024). Farah sudah mengerjakan bagiannya dengan baik dan luar biasa. Kini sebagai orang tua, tentu hanya mendukung dan memberi semangat untuk menjalani proses perkuliahan di kota lain dan tidak serumah lagi dengan orang tuanya. Hanya harapan dan doa yang bisa dilantunkan orang tua untuk Farah. Agar semuanya mudah dan lancar hingga selesai kuliah nantinya.

 


Kuliah di Program studi S1 - Kesehatan Masyarakat (SKM) berarti akan mempelajari pengetahuan dan keterampilan untuk menangani masalah kesehatan masyarakat, mulai dari pencegahan penyakit hingga promosi kesehatan. Belajar tentang pencegahan dan pengobatan penyakit pada populasi, serta menjaga dan mempromosikan kesehatan masyarakat melalui hubungan antara manusia dan lingkungan, kesehatan di suatu wilayah, hingga kesehatan di lingkungan kerja, termasuk ilmu gizi, manajemen kesehatan, epidemiologi, kesehatan lingkungan, promosi kesehatan, biostatistik, dan lain-lain.

 

Selamat Nak atas keberhasilannya lolos SNBT tahun 2025, Abi Ibu Kak Fahmi Kak Firda Kak Farid dan Aleen bangga banget sama kamu. Insya Allah, kita semua akan mendampingi dan menemani perjuangan Farah selama kuliah hingga selesai nanti, Rileks dan jalani semua apa adanya. Sekali lagi selamat dan kita semua bangga sama Farah. Love you Farah, calon mahasiswa S1 Kesehatan Masyarakat UNES!

 


Senin, 26 Mei 2025

Paradoks di Taman Bacaan

Mengajak anak-anak membaca di kampung-kampung itu ada pasang surutnya. Semua bilang membaca penting, tapi ternyata kok pada nggak mau membaca. Persis seperti orang pintar bilang, katanya minat baca di Indonesia sangat rendah. Tapi diminta sediakan akses baca di banyak tempat nggak pernah terjadi. Apa bisa ada minat baca tanpa tersedia akses bacaan? Itulah yang disebut paradoks literasi.

 

Begitu juga jadi relawan di taman bacaan. Katanya kita sibuk sehingga tidak punya waktu untuk berkiprah secara sosial. Tapi di sisi lain, kita punya begitu banyak waktu ngobrol atau ngobrol berlama-lama di kafe sekalipun manfaatnya rendah. Kita cerita tentang taman bacaan begini begitu. Tapi taman bacaan yang didirikan sendiri pun nggak diurus dengan semestinya. Paradoks selalu ada di taman bacaan. Itu sebabnya, siapapun harus hati-hati dalam segala hal. Paradoks itu ada.

 

“Banyak orang ingin berhasil dan sukses tapi nggak mau menjalani proses dan rintangannya”. Kalimat itu menggambarkan paradoks umum dalam perjalanan hidup manusia. Bahwa kita maunya cepat berhasil tapi prosesnya ditinggalkan. Sama seperti kita cenderung lebih fokus pada kekurangan dan target yang belum tercapai, daripada menghargai apa yang sudah berhasil kita lewati. Paradoks sejatinya bisa menjadi dorongan untuk terus berkembang, tapi juga bisa menjadi jebakan yang membuat kita merasa tidak pernah cukup. Sekali lagi, hati-hati dengan pikiran kita sendiri.

 

Paradoks pasti terjadi, karena standar yang kita tetapkan selalu bergeser seiring waktu. Ketika satu tujuan tercapai, muncul tujuan lain yang tampaknya lebih tinggi. Setelah begini, pengen begitu. Kita jarang berhenti sejenak untuk menyadari bahwa versi diri kita yang sekarang mungkin adalah impian versi diri kita yang dulu. Ketidak-sadaran ini bisa membuat kita kehilangan rasa syukur dan kepuasan atas pencapaian yang sah. Sudah saatnya, kita jalani setiap proses dengan konsisten tanpa perlu pengen begini pengen begitu.

 


Seperti mengabdi di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Setiap Minggu, saya bolak-balik Jakarta-Bogor. Hanya untuk mengurus dan memastikan 15 program yang ada berjalan sesuai tujuannya. Prosesnya dijalani, dan mendengar apa yang dikatakan pengguna layanan TBM sebagai umpan balik. Berkoordinasi dengan wali baca dan relawan. Agar keberadaan taman bacaan memang sesuai dengan tujuan didirikannya. Tanpa perlu ingin begini begitu. Asal taman bacaan diurus dengan baik, selebihnya saya serahkan kepada Allah SWT.

 

Maka penting di TBM Lentera Pustaka untuk menjaga keseimbangan. Tetap berproses dan bergerak maju tanpa melupakan pencapaian apapun yang sudah ada. Bersyukur atas apa yang sudah diraih tapi tetap menjalani segalanya sepenuh hati. Karena keberhasilan itu bukan berarti berhenti berjuang. Melainkan memberi ruang bagi diri sendiri dan perangkat di taman bacaan untuk menghargai proses, belajar dari yang sudah, dan melanjutkan perjalanan dengan kekuatan yang lebih besar. Agar paradoks diubah jadi motivasi perbuatan bukan mengeluhkan keadaan.

 

Paradoks di taman bacaan, sebuah paradoks literasi. Jalani saja prosesnya. Itu sudah lebih dari cukup. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #BacaBukanMaen

 



Cerpen Pensiunan, Pak Darto Terluka Saat di Hari Tua

Pak Darto adalah pegawai administrasi di sebuah instansi pemerintah. Selama 35 tahun, ia datang paling pagi, pulang paling sore. Tak pernah korupsi, tak pernah titip absen. Ia dikenal sebagai pegawai teladan, sederhana, jujur, dan pekerja keras. Selama bekerja Pak Darto, tidak neko-neko. Semuanya serba lurus-lurus saja.

 

Setiap bulan, gajinya pas-pasan, tapi ia selalu menafkahi istri dan tiga anaknya dengan cukup. Ia tidak pernah liburan mewah, tidak punya rumah besar, dan hingga pensiun pun, motornya masih motor lama yang ia beli cicilan belasan tahun lalu.

 

Sebagai pegawai negeri, Pak Darto selalu percaya, "Nanti kalau pensiun, negara pasti urus kita." Namun kenyataan kini, tak seindah harapannya.

 

Tahun pertama pensiun. Begitu pensiun di usia 58, Pak Darto yang dikenal lurus saat bekerja menerima uang pensiun bulanan yang hanya sepertiga dari gajinya dulu. Sekitar Rp. 1.800.000 per bulan. Awalnya ia tidak keberatan, toh anak-anaknya sudah besar. Tapi ternyata, biaya hidup naik jauh lebih tinggi dari yang dia kira. Obat tekanan darahnya mahal, listrik dan sembako makin mahal, dan istri pun mulai sakit-sakitan.

 

Merasa uang pensiunnya sama sekali tidak cukup untuk biaya hidup bulana. Pak Darto, pernah mencoba melamar jadi petugas keamanan dan admin paruh waktu, tapi tidak banyak perusahaan yang mau merekrut orang seusianya. Maklum, sudah tua dan pensiun. Hari ke hari, Pak Darto semakin bingung. Harus bagaimana lagi? Dari mana dia bisa mencari uang tambahan untuk untuk biaya hidup di masa pensiunnya?

 

Kenapa hidup PakDarto jadi susah di masa pensiun? Karena dulu saat bekerja, Pak Darto yakin uang pensiunnya dari negara cukup. Sama sekali tidak memperhitungkan inflasi dan kondisi ekonomi yang bisa pasang-surut. Pak Darto dulu tidak pernah ikut program pensiun tambahan. Ia tidak punya tabungan yang cukup, karena gajinya selalu habis untuk kebutuhan bulanan. Tidak punya asuransi kesehatan tambahan. Tidak ada investasi. Tidak ada perencanaan keuangan apalagi ikut dana pensiun.

 


Sebagai pegawai yang jujur dan lurus, Pak Darto hanya punya uang pensiun dari negara yang makin tidak cukup. Rumah sederhana yang sudah tua. Dan anak-anak yang sibuk berjuang dengan keluarganya masing-masing.

 

Waktu terus berputar. Tidak terasa kini usia Pak Darto sudah menginjak 65 tahun, Pak Darto masih harus bekerja menjaga warung kecil di depan rumahnya. Setiap sore, ia duduk sendiri sambil menghitung recehan, mengenang masa mudanya yang penuh dedikasi di kantorya. Sambil membatin dalam hatinya, “Saya kerja 35 tahun untuk negara. Tapi saya lupa memikirkan hidup setelahnya, saat tiba masa pensiun." Pak Darto merasakan betul, saat kerja lurus namun saat pensiun terluka.

----

Kisah Pak Darto bisa terjadi pada siapapun. Karena memang  tidak ada jaminan orang yang bekerja di masa muda akan tetap punya uang di masa tua. Saat kerja bisa saja beli ini beli itu tapi begitu pensiun sudah tidak punya gaji lagi, mau dari mana uangnya? Pak Darto bukan soal kurang kerja keras saat bekerja. Tapi tidak punya perencanaan pensiun yang matang. Kerja keras seumur hidup tidak menjamin masa pensiun tenang. Hanya dana pensiun yang bisa membuat tenang menjalani hari tua. Maka siapkan dana pensiun sejak dini, mumpung masih ada waktu. Salam #YukSiapkanPensiun #EdukasiDanaPensiun #DPLKSAM



Membaca Itu Untuk Apa?

Ada yang menganggap membaca untuk pintar. Itu salah banget. Karena membaca sejatinya untuk bebas. Bebas dari keterkungkungan zaman, bebas dari larangan orang dewasa. Dan bebas dari pengaruh apalagi intimidasi orang lain. Tanpa perlu disuruh oleh guru atau siapapun, membaca saja.

 

Di Indonesia, terkadang aneh. Anak-anak yang berisik malah disuruh diam. Anak yang suka menggambar dianggap tidak fokus. Anak yang duduk di belakang katanya tidak punya harapan. Anak yang rajin membaca buku, malah disebut “sok pintar”. Terlalu banyak label negatif untuk anak-anak di Indonesia. Maunya anak itu rajin, pintar, bisa bahasa Inggris dan nilai rapor-nya bagus. Kiat sering lupa, dunia  itu tidak dibentuk oleh manusia yang hebat. Tapi dunia, sering kali maju karena dikisahkan oleh mereka yang sempat tersesat tapi tidak menyerah pada keadaan.

 

Buku “The Adventure of Tom Sawyer”, jelas memberi pesan. Sukses atau berhasil itu tidak dimulai dari sekolah atau perpustakaan. Justru lebih banyak dimulai dari sungai, gunung, kebun atau jalanan. Bahkan pada kenakalan dan pelarian pun ada “jalan” untuk sukses walau tanpa perlu diceritakan. Tom Sawyer itu tidak berprestasi tapi ia punya satu hal yang sekolah sering lupakan “rasa ingin tahu”.

 


Anak-anak di manapun. Secara realitas pasti ingin bebas. Bebas dari nasihat orang tua yang itu-itu saja, bebas dari kondisi rumah yang mengekang, bahkan bebas dari sekolah yang terlalu banyak aturan. Karena itu, membaca itu untuk bebas. Bebas dalam berpikir, bebas secara batin, dan bebas berekspresi. Bebas mau baca buku apa saja.

 

Seperti di TBM Lentera Pustaka, anak-anak pun bebas mau membaca buku apa saja. Bebas untuk mencari tahu apapun versi dirinya sendiri. Bebas membuat pengalamannya tanpa campur tangan orang tua. Toh pada akhirnya, anak-anak akan paham tentang kebaikan, kebenaran, dan tanggung jawab sesuai pemahamannya. Membaca itu proses untuk mencapai kebebasan.

 

Jadi, tidak usah terlalu banyak harapan tentang membaca. Sediakan saja tempat membaca yang asyik dan menyenangkan. Toh, nanti anak-anak akan datang dengan sendirinya, sesuai kemauannya. Sebab membaca itu bukan untuk menjadikan anak sebagai orang terbaik. Tapi untuk jadi manusia yang bebas dan tidak mudah dibentuk oleh keadaan. Mampu bertahan hidup di masa depannya sendiri, bukan masa depan kita!

 

Minggu, 25 Mei 2025

Arti Seliter Beras dalam Pemberantasan Buta Aksara di Bogor?

Selain kegiatan membaca buku, kelas prasekolah, dan motorbaca kelling, TBM Lentera Pustaka memiliki program GEBERBURA (GErakan BERantas BUta aksaRA) untuk memberantas buta aksara di kalangan ibu. Tiap Minggu siang pukul 13.30-15.00 WIB, selalu ada 5-9 kaum ibu yang belajar baca tulis dengan penuh ketekunann dan diajar langsung oleh para relawan.

 

Alhamdulillah, salah satu tradisi yang dipertahankan di GEBERBURA adalah memberi "hadiah" seliter beras (terkadang mie instan) untuk para ibu yang rajin datang dan belajar baca tulis. Hadiah seliter beras ini digagas langsung oleh pendiri TBM Lentera Pustaka, Dr. Syarifudin Yunus, M.Pd. dan seorang dosen FBS Unindra. Tujuannya sederhana, agar para ibu GEBERBURA tetap semangat dan termotivasi untuk selalu belajar baca-tulis. Maklum, kegiatan belajar berantas buta aksara bersifat nonformal, tidak ada kewajiban untuk hadir toh para ibu buta akasara pun sibuk di rumah. Maka, seliter beras bisa jadi "pemikat" untuk tetap datangbelajar.

 

Saat ini, program GEBERBURA TBM Lentera Pustaka menjadi tempat belajar 9 kaum ibu warga belajar. Memang, memberantas buta aksara memang pasang-surut, dengan segala kendalanya. Tapi TBM Lentera Pustaka dengan didukung para relawan yang mengajar hingga kini masih terus berproses dan aktivitas belajar baca tulis tetap berjalan. (simak pula: https://www.youtube.com/watch?v=_USSmScL2YQ&t=19s). Jangankan mengenal huruf, awalnya kaum buta aksara tidak tahu tanggal dan tahun kelahirannya sekalipun tetap punya KTP. Tidak kenal huruf, tidak bisa mengeja kata-kata. Maka pelajaran pertama mereka adalah menulis nama dan membuat tanda tangan. Dan kini, mereka sudah bisa mengeja kata dan menulis walau belum lancar.

 


Untuk menjaga semangat dan motivasi, warga belajar kaum buta aksara selalu diberikan seliter beras atau mie instan setelah belajar. Agar tetap datang belajar baca tulis. Maklum, belajar di GEBERBURA, tidak ada rapor, tidak ada absen, dan tidak ada kenaikan kelas. Bahkan pemerintah daerah pun ”membiiarkan” kegiatan seperti ini, yang seharusnya di tes untuk bisa memperoleh ”ijazah kejar paket” sesuai maunya negara. Seliter beras yang "ditukar" dengan semangat belajar agar terbebas dari belenggu buta aksara. Apalagi di zaman serba digital seperti sekarang. Selain faktor usia dan kesadaran, faktor motivasi jadi hal penting dalam pemberantasan buta aksara.

 

Hadiah seliter beras di program GEBERBURA TBM Lentera Pustaka pun menjadi sinyal akan pentingnya berbuat baik kepada sesama dalam kehidupan. Termasuk membebaskan kaum buta aksara dari belenggu buta huruf. Sekalipun dianggap sederhana, ikut memberantas buta aksara adalah perbuatan besar yang sangat bermanfaat. Untuk mengangkat derajat dan martabat kaum ibu di mata anak-anaknya. Dari yang tadinya tidak bisa baca-tulis, kini sudah terbebas dari belenggu buta aksara.

 

Di GEBERBURA TBM Lentera Pustaka siapa pun bisa jadi relawan. Untuk ikut membantu kaum buta aksara. Sebagai perwujudan kepedulian sosial, di samping menegakkan aktivitas literasi di bumi Indonesia. Hadiah seliter beras hanya simbol. Bahwa hadiah bukan dilihat dari harganya. Tapi yang penting, seberapa bermanfaat kita untuk orang lain.

 

Tapi maaf, jangan ditanya lagi, berarti nanti datang belajarnya karena seliter beras dong? Itu pertanyaan tidak literat. Ngajar buta huruf nggak, jadi relawan nggak, membantu nggak, tapi banyak tanya? Terus harus gimana dong? Salam literasi #GeberBura #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan



Kenapa Nilai Uang Turun? Bank Sinarmas Ajarkan Pentingnya Menabung Anak-anak Usia Sekolah

Sebagai upaya meningkatkan literasi keuangan anak-anak usia sekolah, Bank Sinarmas menggelar edukasi literasi keuangan kepada 80-an anak Taman Bacaan Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor (25/5/2025). Bertindak sebagai narasumber Syarifudin Yunus, edukator LSP Dana Pensiun yang memaparkan topik “Pentingnya Menabung dan Turunnya Nilai Uang”. Hal ini sejalan dengan imbauan OJK akan pentingnya lembaga keuangan untuk aktif mengkampanyekan pentingnya literasi keuangan melalui berbagai kegiatan.

 

Kegiatan literasi keuangan Bank Sinarmas bagi anak-anak TBM Lentera Pustaka ini dilakukan untuk meningkatkan pemahaman anak-anak usia sekolah tentang menabung, fungsi bank, dan menurunnya nilai yang di masa datang. Melalui kegiatan literasi keuangan yang rutin, Bank Sinarmas bertekad untuk memperkuat kemampuan pengelolaan keuangan sejak dini di anak-anak usia sekolah. Sekaligus untuk meningkatkan penggunaan produk bank seperti Tabungan SIMPEL (SIMpenan PELajar).

 

“Atas inisiasi dan Kerjasama dengan Bank Sinarmas, TBM Lentera Pustaka secara rutin melakukan edukasi literasi keuangan ke anak-anak usia sekolah. Tujuannya agar anak-anak paham cara mengelola uang dan rajin menabung, selain membaca buku. Terima kasih Bank Sinarmas atas dukungannya dalam edukasi literasi keuangan anak-anak taman bacaan” ujar Syarifudin Yunus, eduktor LSP Dana Pensiun di Bogor.

 


Pada kegiatan ini, anak-anak usia sekolah dikenalkan pula sebab kenapa nilai uang turun? Nilai uang menurun biasanya terjadi akibat adanya penurunan daya beli uang atas sebab inflasi. Artinya, jumlah uang yang sama untuk membeli barang/jasa lebih sedikit dari sebelumnya. Contohnya, uang Rp. 10.000 pada tahun 2000 masih bisa membeli makan siang. Tapi saat ini, uang segitu mungkin hanya bisa untuk membeli gorengan dan teh. Sementara untuk membeli makan siang, kurang karena harganya minimal sudah Rp. 20.000. Hal itu terjadi karena nilai uangnya menurun seiring waktu.

 

Dalam kesempatan ini, Bank Sinarmas juga mensosialisasikan pentingnya Tabungan SimPel (Simpanan Pelajar) sebagai salah satu tabungan yang diterbitkan oleh Bank Sinarmas untuk siswa sekolah. Untuk mengajarkan pentingnya menabung sejak dini. Karena dengan SimPel dari Bank Sinarmas, beberapa manfaat bisa dirasakan langsung anak-anak usia sekolah seperti 1) pembukaan rekeningnya mudah, 2) bebas biaya administrasi bulanan, 3) transaksi setor dan tarik dapat dilayani di kantor cabang, dan 4) memperoleh kartu ATM.

 

Dalam edukasi keuangan ini, anak-anak pembaca aktif TBM Lentera Pustaka diberikan pengetahuan dan pemahaman akan pentingnya menabung. Untuk menyisihkan sebagian uang jajan ke tabungan SimPel. Selain untuk membentuk perilaku hemat, menabung juga membiasakan anak-anak bisa lebih bijak mengelola uangnya sendiri. Salam literasi keuangan!

Sabtu, 24 Mei 2025

Cerpen Pensiunan: Menyesal di Hari Tua

Sedari pagi, Pak Darto duduk di bangku taman, menatap jalanan yang ramai dengan tatapan kosong. Di pinggiran kota Jakarta. Dulu, jalanan itu adalah bagian dari rutinitasnya. Setiap pagi, ia berjalan tegap dengan pakaian rapi. penuh semangat menuju kantornya. Senbuah perusahaan ekspedisi yang menjadi tempatnya bekerja selama 28 tahun. Tapi sekarang, yang tersisa hanyalah kenangan.

 

Pensiun. Kata itu masih terasa asing di telinganya. Bagaimana bisa hidup tanpa gaji bulanan? Tanpa tunjangan ini itu? Pak Darto tidak pernah benar-benar memikirkannya. Ia terlalu sibuk bekerja, mengejar karier, dan membesarkan anak-anaknya. Ia lupa mempersiapkan hari tuanya sendiri.

 

Kini, anak-anaknya sudah dewasa dan memiliki keluarga sendiri. Mereka baik, sesekali mengirimkan uang, tetapi Pak Darto tidak mau terus-menerus bergantung kepada anak-anaknya. Ia ingin mandiri, tetapi apa daya? Usianya sudah senja, tidak ada perusahaan yang mau menerimanya bekerja. Pak Darto sudah jadi pensiunan.

 

Setiap hari, Pak Darto datang ke taman kota. Bukan untuk menikmati udara segar, melainkan untuk mencari sisa-sisa rezeki. Ia memungut botol plastik bekas, atau sisa-sisa acara yang bisa dijualnya ke pengepul. Berharap bisa mendapat rezeki di taman kota. Terkadang, ada pejalan kaki yang sedang olahraga merasa iba, lalu memberinya sedikit uang. Tapi itu tidak seberapa dan tentu tidak cukup untuk biaya hidupnya di hari tua.

 

Di rumah, istrinya, Bu Rini, juga merasakan hal yang sama. Mereka harus berhemat,. Tidak jarang Pak Darto dan istrinya mengurangi jumlah makan dalam sehari, bahkan menahan diri untuk tidak membeli apa pun. Tagihan listrik dan air terus datang, menambah beban pikiran mereka setiap bulan. Mereka bingung, apa yang bisa diperbuat menjalani hari tua dalam kondisi ekonomi yang sulit. Mau bagaimana dan harus apa, serba bingung.

 

Pak Darto sering bertanya pada diri sendiri, di mana salahnya? Kenapa hari tuanya jadi seperti ini? Ia merasa telah bekerja keras sepanjang hidupnya, tapi kenapa tidak ada jaminan untuk hari tuanya?


 

Suatu sore, seorang pemuda menghampirinya. Pemuda itu tersenyum dan menyapanya dengan sopan. "Pak, maaf mengganggu. Saya dari komunitas sosial. Kami ada sedikit bantuan untuk para lansia," kata pemuda itu.

Pak Darto terkejut. Ia tidak pernah menyangka akan menerima bantuan yang lumayan banyak. Ada beras sekarung dilengkapi dengan minyak goreng, mie instan, gula pasir, dan banyak lagi. Bahkan di dalam kantong terdapat amplop berisi uang. Air mata Pak Darto tiba-tiba menggenang saat menerima bantuan itu. Ia tidak tahu harus berkata apa.

"Terima kasih, Nak. Terima kasih banyak," hanya itu yang bisa diucapkannya. Pak Darto menerimanya dengan tangan gemetar. Ia merasa ada setitik harapan di tengah kesepian dan kesulitan hidupnya di masa pensiun.

 

Malam itu, Pak Darto dan Bu Rini makan dengan lahap. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka bisa makan kenyang. Mereka berdoa bersama, bersyukur atas bantuan yang diterimanya. Pak Darto sadar, bantuan ity tidak akan bertahan lama. Tapi setidaknya, ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Masih ada orang-orang yang peduli, yang mau membantunya melewati masa-masa sulit di hari tuanyai. Dan itu, cukup untuk membuatnya bertahan hidup.

-----

Hingga suatu hari di senja yang sepi di taman kota. Sambil menatapi air mancur, Pak Darto merenung akan kondisi hari tuanya. Kesulitan masalah keuangan, ingin lepas dari himpitan ekonomi. Daya belinya menurun, dan mengenang ternyata masa bekerja yang tergolong mentereng tidak jadi jaminan untuk bisa hidup tenang di masa pensiun. Sambil menyesalinya, Pak Darto hanya berpikir dalam hati, “Seandainya dulu saat bekerja, dia ikut dana pensiun. Mungkin hidup di hari tuanya tidak sesulit ini”. Ternyata, dana pensiun itu penting untuk hidup di hari tua yang nyaman. “Kerja yes, pensiun oke”, ujar Pak Darto membatin. Salam #YukSiapkanPensiun #SadarPensiun #EdukasiDanaPensiun



Cinta yang Bodoh, Minum Es Teh Manis Berdua Tapi Ditiup Bukan Disedot

Ada yang bertanya, apa itu cinta? Agak sulit menjawabnya. Karena cinta katanya tidak bisa dikatakan tapi bisa dirasakan. Ada lagi yang bilang cinta itu segalanya. Maka tanpa cinta, matilah dia …

 

Jadi begini, mungkin tidak usah berlebihan tentang cinta. Karena cinta itu hanya “tools” untuk menjadikan hidup lebih baik. Maka bila akhirnya karena cinta jadi tidak lebih baik, bahkan jadi nestapa karena cinta, segera tinggalkan cinta itu. Cinta itu terbukti omong kosong bila dijalani dengan idealisme. Pasti frustrasi bila cinta diekspektasi terlalu tinggi. Cinta itu biasa dan waras, tapi mengagumi cinta itu tergolong “tidak waras “.

 

Carl Rogers, psikolog AS menyebut cinta itu bukan sekadar keterikatan emosional atau romantis, melainkan hubungan mendalam antara dua individu yang sadar dan otentik. Jadi, cinta harus sadar bukan “kurang sadar” alias “mabuk cibta’. Karenanya, cinta itu butuh orisinalitas bukan rekayasa atau paksaan. Cinta harus seperti yang dirasa diri sendiri, bukan topeng sosial atau atas ego semata.

 

Rogers mengingatkan siapapun yang bercinta untuk tidak memaksa seseorang agar berubah. Tidak perlu menjadi cocok karena sesuai harapan pasangannya. Justru, cinta itu menerima dan menghargai perbedaan sebagai sesuatu yang memperkaya hubungan. Ini selaras dengan konsep Rogers tentang unconditional positive regard — penerimaan tanpa syarat terhadap orang lain.

 

Cinta itu harus menghormati keunikan masing-masing dan saling membantu untuk berkembang menjadi lebih baik. Jadi, tidak ada tuntutan atau paksaan dalam cinta. Cinta mengalir dan kian dewasa karena kesadaran akan kekurangan dan kelebihan pasangannya. Maka lucu, bila ada yang bercinta. Tapi tidak boleh ini tidak boleh itu. Terlalu banyak aturan, itu bukan cinta tapi penjara.

 

Rogers percaya, melalui terapi klinis”, cinta itu jafi tempat yang subur bagi pertumbuhan pribadi. Ketika dua orang saling mencintai dalam pengertian yang sehat, masing-masing menjadi cermin dan pendukung bagi perjalanan jiwa raga satu sama lainnya yang mencerdaskan. Karena cinta bukan tentang mengekang, melainkan mendorong untuk menjadi versi terbaik dari diri masing-masing. Cinta yang apa adanya, jauh dari ekspektasi ideal dan utopia masing-masing.

 


Sepanjang pengalaman saya 29 tahun bercinta dengan istri, ternyata cinta tidak cukup hanya dengan hati dan perasaan. Tapi harus dikendalikan oleh akal sehat. Maka cinta adalah permainan akal, bukan main perasaan. Cerdas dlama bercinta, namanya.

 

Cinta yang cerdas itu seperti “minum es teh manis” berdua sambil disedot. Tapi cinta berubah jadi bodoh bila “minum es teh manis” berdua tapi ditiup. Begitulah cinta, salam literasi!

Dukung Gerakan Literasi, SMAN 1 Tamansari Gelar Social Fest di Taman Bacaan

Bertajuk ”Berbagi dengan Kebahagiaan”, MPK dan Paskibraka SMAN 1 Tamansari hari ini menggelar kegiatan ”Social Fest” sebagai bentuk kolaborasi dan kepedulian sosial pada lingkungan sekitar (24/5/2025). Acara yang dihadiri 45 siswa SMA Negeri satu-satunya di Kec. Tamansari Kab. Bogor ini, menjadi bentuk aktivitas sosial siswa SMA yang dirancang untuk memberikan dukungan terhadap Gerakan literasi sekaligus menjadi ajang pengabdian sosial secara langsung ke masyarakat.

 

Aksi sosial siswa SMAN 1 Tamansari ini ditandai dengan kegiatan membuat kreativitas bunga dari kawat duri dan bermain games bersama 30 anak Kelas Prasekolah dan TBM dari kelas 1-4 SD. Dengan bimbingan siswa SMA, anak-anak TBM Lentera Pustaka pun mampu menuntaskan karya kreatif berupa bunga. Sebagai apresiasi setiap anak diberikan bingkisann snack dan beras. Turut hadir acara ini wali baca dan relawan TBM Lentera Pustaka, yaitu Susi, Ai, Zhia, Dilla, dan Resa.

 

”Kami dari MPK dan Paskibraka SMAN 1 Tamansari melakukan social fest di TBM Lentera Pustaka untuk berbagi kebahagiaan dengan anak0anak taman bacaan. Selain menumbuhkan kepedulian sosial, momen ini penting untuk memberi ruang bagi siswa dalam berkreasi dalam kegiatan yang positif. Kita mendukung gerakan literasi dan aktivitas membaca di sini” ujar Ketua Panitia Social Fest SMAN 1 Tamansari.

 


Dalam suasana yang semarak, tampak anak-anak TBM Lentera Pustaka begitu antusias dan semarak selama kegiatan social fest berlangsung. Hal ini sekaligus menkjadi bukti kolaborasi antara SMAN 1 Tamansari dengan TBM Lentera Pustaka. Tentu, sangat bagus apabila siswa SMA sudah mau dan berani berkiprah sosial di taman bacaan. Sebagai komitmen untuk membiasakan sikap peduli sosial yang konkret, bukan cuma omon-omon. Karena kegiatab sosial adalah perbuatan bukan Pelajaran.

 

“Atas nama TBM Lentera Pustaka, kami ucapkan terima kasih kepada MPK dan Paskibra SMAN 1 Tamansari atas kegiatan Soscial Fest-nya. Relawan di TBM ini juga banyak alumni SMAN1T. Aksi sosial ini jadikolaborasi yang keren dan bermanfaat untuk anak-anak TBM kami” ujar Susi, wali baca TBM Lentera Pustaka. #SMAN1Tamansari #TBMLenteraPustaka #BaktiSosial