Saat membaca novel Salah Pilih karya Nur St. Iskandar menyimpulkan apapun pilihan kita pasti punya akibat. Dan pada akhirnya, akal sehat dan hati nurani harus menjadi acuan dalam memilih dan mengambil keputusan. Maka jangan terjebak pada omongan atau penampilan seseorang, bila akhirnya salah pilih. Jangan salah pilih orang, jangan salah pilih pemimpin di organisasi.
Seperti yang terjadi di suatu organisasi yang saya
pernah ikuti. Ternyata, benar-benar "salah pilih" ketuanya. Hal itu
dinyatakan banyak anggotanya. Karena dianggap arogan dan subjektif dalam
mengambil keputusan. Sekalipun dapat diperdebatkan, namun realitas salah pilih
mulai dirasakan banyak orang. Karena ternyata, pemimpin yang terpilih hanya
berkutat pada hal-hal yang subjektif. Hanya mengurus orang bukan organisasi.
Entah, mau di bawa kemana organisasinya dan apa misi yang akan diembannya.
Selagi saya masih berada di organisasi itu pun,
sudah terlihat arogansi dan subjektivitas si oknum salah pilih tersebut.
Senangnya mempersoalkan orang bukan tujuan organisasi. Hingga lupa, sebenarnya
dia sendiri mau bawa ke mana organisasinya? Dia lupa, bahwa apapun organisasi
yang dipimpinnya sekarang adalah "buah karya" orang-orang yang peduli
dan mengurus di masa sebelumnya. Di situlah letak arogansi si oknum salah pilih
di organisasi tersebut.
Lebih jelas lagi, ketika si oknum salah pilih
sebagai ketua berniat menyingkirkan orang yang tidak disukainya, lalu membuat
posisi baru. Tapi dalam klausul-nya dinyatakan "posisi baru tersebut tidak
diperkenankan mengeluarkan pendapat atau pernyataan mewakili organisasinya di
manapun". Padahal itu fungsi Litbang dan Publikasi. Si oknum salah pilih
melanggar azas demokrasi, melakukan pembungkaman terhadap orang-orang yang
tidak disukainya. Si oknum hidup di demokrasi tapi pikiran dan perilakunya
sangat tidak demokratis. Lucu sekali, hari gini masih berkutat dengan anti
demokrasi.
Berangkat dari realitas salah pilih pemimpin,
memang jalan terbaik adalah mengambil sikap tegas untuk mengundurkan diri.
Menjauh dari pemimpin yang arogan dan subjektif. Menghindari kepemimpinan
toxic, yang hanya menguras energi, menggerus harga diri, dan mengabaikan
sinergi. Kepemimpinan yang hampa dan kamuflase semata.
Pada dasarnya, setiap masa ada orangnya. Dan setiap
orang pun ada masanya. Tapi penting untuk mengambil hikmah ke depan
"jangan salah pilih pemimpin organisasi". Apalagi pemimpin yang
jelas-jelas mengabaikan etika dan hati nurani. Antara yang diucap dan diperbuat
berbeda jauh.
Dan patut direnungkan, sejatinya kebenaran bukan
dilihat dari jumlah seberapa banyak orang mempercayainya, melainkan atas dasar
mutlak apakah sesuatu itu benar adanya atau tidak. Jangan salah pilih!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar