Sabtu, 20 Juli 2024

Literasi Guru Besar, Jangan Panggil Prof!

“Dengan segala hormat, sebagai upaya desakralisasi jabatan profesor, kepada seluruh sahabat, mulai hari ini mohon jangan panggil saya dengan sebutan “prof.” Panggil saja: Fathul, Dik Fathul, Kang Fathul, Mas Fathul, atau Pak Fathul. Insya Allah akan lebih menentramkan dan membahagiakan. Matur nuwun,” demikian tulisan di unggahan akun medsos @fathulwahid_ Kamis (18/7/2024).

 

Salut dan bangga, atas apa yang dinyatakan Pak Fathul Wahid sebagai Rektor Universitas Islam Indonesia (UII). Bahkan, ia menerbitkan surat edaran di lingkungan kampusnya agar seluruh gelarnya tidak dicantumkan di dalam surat resmi kecuali tanda tangan ijazah dan transkrip nilai mahasiswa. Jangan panggil saya profesor, cukup panggil nama saja. Kira-kira begitu maunya Pak Fathul.

 

Sebenarnya sangat sederhana untuk memahami cara berpikir Pak Fathul. Di kalangan perguruan tinggi, profesor itu jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di kampus. Sebutan lain di kampus sebagai guru besar. Maka bila profesor adalah jabatan fungsional tertinggi di kampus, berarti profesor itu bisa dianggap pangkat paling “mentok” sebagai dosen di kampusnya (Silakan cek di UU No. 14/ 2005 tentang Guru dan Dosen).  Jadi profesor ya tetap saja sebagai pegawai kampus, cuma jabatan fungsionalnya yang paling tinggi. Sudah begitu doang. Jadi, profesor itu bukan “status sosial” bukan pula sebutan publik tapi terbatas di kalangan kampus. Mau profesor apapun, bila sudah di luar kampus, ya tetap saja manusia biasa alias orang biasa. Sudah benar, jangan panggil saya profesor cukup Pak Fathul, kira-kira begitu.

 

Hal yang sama di perusahaan swasta di pekerja kantoran. Selain ada jabatan, pasti setiap pegawai punya pangkat kan? Ada yang supervisor, ada yang manajer, ada yang vice president. Itu semua pangkat di kantor atas jabatan yang diembannya. Misalnya, seorang pegawai berpangkat “manajer” yang menjabat sebagai “kepala bagian pemasaran”. Jadi, tidak ada alasan membawa-bawa sebutan pangkat “supervisor”, “manajer” ke ranah publik. Apapun levelnya, itu semua pangkat dan jabatan yang sebatas di lingkungan kantor. Maka profesor pun begitu, sama saja. Oke?

 

Publlik dan kalangan kampus sendiri harus memahami. Bahwa profesor itu jabatan fungsional atau pangkat yang berlaku di kampus. Sama di perusahaan swasta pun ada pangkat dan jabatan. Jadi tidak usah bawa-bawa sebutan profesor atau gelar lainnya ke ranah publik. Dan khusus untuk profesor itu identik 1) seseorang yang punya keahlian dan kepakaran dalam bidang/ilmu tertentu dan 2) posisinya mengajar di kampus. Profesor itu seorang pakar atas ilmunya, guru senior, atau dosen yang gemar meneliti. Lalu sekarang, ada tren pejabat dan politisi mengejar jabatan profesor dengan menghalalkan segala cara. Mari kita bertanya, apa pantas? Jadi, publik atau kampus pun harus sadar. Jangan halalkan segala vcara untuk menyematkan profesor pada seseorang, apalagi yang aspek keahlian atau kepakarannnya secara akademik patut dipertanyakan?

 

Dalam ilmu bahasa, dikenal istilah “gaya selingkung”. Yaitu gaya berbahasa yang terbatas pada satu lingkungan, tidak berlaku di publik. Gaya selingkung pun berkaitan dengan sebutan atau istilah yang terbatas dan disepakati pada satu lingkungan tertentu. Seperti sebutan “Prof” untuk profesor hanya sebatas di kampus. Sama seperti “Ndan” untuk komandan di korps militer, “bos” untuk atasan di kantor, “dok” untuk dokter di rumah sakit atau “capt” untuk captain di profesi pilot. Jadi, sebutan “prof” itu sebatas dan disepakati di lingkungan kampus. Tidak usah dibawa-bawa ke ranah publik. Profesor juga kan masih naik angkutan umum, apa istimewanya?

 

Jujur, saya sangat apresiasi dan mendukung Pak Fahtul yang Rektor UII karena tidak mau dipanggil “prof” atau “profesor”, selain untuk urusan akdemik seperti ijazah dan transkrip nilai mahasiswa. Keputusan Pak Fathul harus dihormati (walau mungkin banyak yang tidak setuju). Tapi permintaan tidak mau dipanggil profesor Pak Fathul harus dilihat sebagai otokritik seorang guru besar dan kampus, atas beberapa alasan berikut:

1.       Perlunya upaya desakralisasi jabatan atau pangkat profesor. Profesor bukan “kasta” melainkan capaian dedikasi ilmiah dan akademik sehingga jangan malah menciptakan jarak sosial atau status di kalangan kampus itu sendiri.

2.       Profesor sebagai capaian akademik di kampus, bukan malah jadi status sosial yang kini diburu banyak orang (apalagi di luar kampus) sehingga menghalalkan segala cara untuk meraih gelar profesor atau pengen dipanggil “Prof”, sangat kerdil sekali bila hanya sebatas itu.

3.       Profesor itu justru melekatkan seseorang terhadap tanggung jawab ilmiah untuk berkontribusi secara keilmuan dan selalu melantangkan kebenaran ilmiah. Bahkan ada tanggung jawab sosial seorang profesor untuk mengkritisi kebijakan pemerintah atau publik secara objektif, bukan malah menjadi status biar dianggap keren.

4.       Siapapun yang bergelar profesor landasannya moral, bukan material apalagi hanya untuk popularitas. Profesor itu hidupnya di kampus, bukan lebih banyak di luar kampus. Profesor sebagai jalan moral, bukan jalan material.

5.       Profesor itu amanah besar untuk menjunjung tinggi ilmu yang bisa dimplementasikan ke masyarakat, bukan untuk kepentingan status individu. Sama sekali tidak relevan tanggung jawab akademik dibawa-bawa ke ranah publik, apalagi hanya untuk sebutan atau dokumen seperti kartu nama.

 

Jadi, jangan panggil lagi profesor, Cukup panggil Pak atau Bu! Agar tidak ada jarak sosial antara orang kampus dengan rakyat jelata. Ilmu dan pemilik ilmu itu harus lebih egaliter, lebih membumi agar lebih banyak manfaatnya kepada umat. Untuk apa jadi profesor, hanya untuk keren-kerenan di publik. Terima kasih Pak Fathul, salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #BacaBukanMaen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar