“Dengan segala hormat, sebagai upaya desakralisasi jabatan profesor, kepada seluruh sahabat, mulai hari ini mohon jangan panggil saya dengan sebutan “prof.” Panggil saja: Fathul, Dik Fathul, Kang Fathul, Mas Fathul, atau Pak Fathul. Insya Allah akan lebih menentramkan dan membahagiakan. Matur nuwun,” demikian tulisan di unggahan akun medsos @fathulwahid_ Kamis (18/7/2024).
Salut dan
bangga, atas apa yang dinyatakan Pak Fathul Wahid sebagai Rektor Universitas
Islam Indonesia (UII). Bahkan, ia menerbitkan surat edaran di lingkungan kampusnya
agar seluruh gelarnya tidak dicantumkan di dalam surat resmi kecuali tanda tangan
ijazah dan transkrip nilai mahasiswa. Jangan panggil saya profesor, cukup
panggil nama saja. Kira-kira begitu maunya Pak Fathul.
Sebenarnya sangat sederhana untuk memahami cara berpikir Pak
Fathul. Di kalangan perguruan tinggi, profesor itu jabatan
fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di kampus. Sebutan lain di
kampus sebagai guru besar. Maka bila profesor adalah jabatan fungsional
tertinggi di kampus, berarti profesor itu bisa dianggap pangkat paling “mentok”
sebagai dosen di kampusnya (Silakan cek di UU No. 14/ 2005 tentang Guru dan Dosen).
Jadi profesor ya tetap saja sebagai pegawai
kampus, cuma jabatan fungsionalnya yang paling tinggi. Sudah begitu doang. Jadi,
profesor itu bukan “status sosial” bukan pula sebutan publik tapi terbatas di
kalangan kampus. Mau profesor apapun, bila sudah di luar kampus, ya tetap saja
manusia biasa alias orang biasa. Sudah benar, jangan panggil saya profesor
cukup Pak Fathul, kira-kira begitu.
Hal yang sama di perusahaan swasta
di pekerja kantoran. Selain ada jabatan, pasti setiap pegawai punya pangkat
kan? Ada yang supervisor, ada yang manajer, ada yang vice president. Itu semua
pangkat di kantor atas jabatan yang diembannya. Misalnya, seorang pegawai berpangkat
“manajer” yang menjabat sebagai “kepala bagian pemasaran”. Jadi, tidak ada
alasan membawa-bawa sebutan pangkat “supervisor”, “manajer” ke ranah publik. Apapun
levelnya, itu semua pangkat dan jabatan yang sebatas di lingkungan kantor. Maka
profesor pun begitu, sama saja. Oke?
Publlik dan
kalangan kampus sendiri harus memahami. Bahwa profesor itu jabatan fungsional
atau pangkat yang berlaku di kampus. Sama di perusahaan swasta pun ada pangkat
dan jabatan. Jadi tidak usah bawa-bawa sebutan profesor atau gelar lainnya ke
ranah publik. Dan khusus untuk profesor itu identik 1) seseorang yang punya
keahlian dan kepakaran dalam bidang/ilmu tertentu dan 2) posisinya mengajar di kampus. Profesor itu seorang
pakar atas ilmunya, guru senior, atau dosen yang gemar meneliti. Lalu
sekarang, ada tren pejabat
dan politisi mengejar jabatan profesor dengan menghalalkan segala cara. Mari
kita bertanya, apa pantas? Jadi, publik atau kampus pun harus sadar. Jangan halalkan
segala vcara untuk menyematkan profesor pada seseorang, apalagi yang aspek keahlian
atau kepakarannnya secara akademik patut dipertanyakan?
Dalam ilmu bahasa, dikenal istilah “gaya
selingkung”. Yaitu gaya berbahasa yang terbatas pada satu lingkungan, tidak berlaku di publik. Gaya
selingkung pun berkaitan dengan sebutan atau istilah yang terbatas dan disepakati pada satu lingkungan tertentu. Seperti
sebutan “Prof” untuk profesor hanya sebatas di kampus. Sama seperti “Ndan”
untuk komandan di korps militer, “bos” untuk atasan di kantor, “dok” untuk
dokter di rumah sakit atau “capt” untuk captain di profesi pilot. Jadi, sebutan
“prof” itu sebatas dan disepakati di lingkungan kampus. Tidak usah dibawa-bawa
ke ranah publik. Profesor juga kan masih naik angkutan umum, apa istimewanya?
Jujur, saya sangat apresiasi dan
mendukung Pak Fahtul yang Rektor UII karena tidak mau dipanggil “prof” atau “profesor”,
selain untuk urusan akdemik seperti ijazah dan transkrip nilai mahasiswa. Keputusan
Pak Fathul harus dihormati (walau mungkin banyak yang tidak setuju). Tapi
permintaan tidak mau dipanggil profesor Pak Fathul harus dilihat sebagai
otokritik seorang guru besar dan kampus, atas beberapa alasan berikut:
1.
Perlunya upaya
desakralisasi jabatan atau pangkat profesor. Profesor bukan “kasta” melainkan capaian
dedikasi ilmiah dan akademik sehingga jangan malah menciptakan jarak sosial
atau status di kalangan kampus itu sendiri.
2.
Profesor sebagai capaian
akademik di kampus, bukan malah jadi status sosial yang kini diburu banyak
orang (apalagi di luar kampus) sehingga menghalalkan segala cara untuk meraih
gelar profesor atau pengen dipanggil “Prof”, sangat kerdil sekali bila hanya
sebatas itu.
3.
Profesor itu justru
melekatkan seseorang terhadap tanggung jawab ilmiah untuk berkontribusi secara
keilmuan dan selalu melantangkan kebenaran ilmiah. Bahkan ada tanggung jawab
sosial seorang profesor untuk mengkritisi kebijakan pemerintah atau publik secara
objektif, bukan malah menjadi status biar dianggap keren.
4.
Siapapun yang bergelar
profesor landasannya moral, bukan material apalagi hanya untuk popularitas. Profesor
itu hidupnya di kampus, bukan lebih banyak di luar kampus. Profesor sebagai
jalan moral, bukan jalan material.
5.
Profesor itu amanah besar untuk menjunjung tinggi ilmu yang bisa
dimplementasikan ke masyarakat, bukan untuk kepentingan status individu.
Sama sekali tidak relevan tanggung jawab akademik dibawa-bawa ke ranah publik,
apalagi hanya untuk sebutan atau dokumen seperti kartu nama.
Jadi, jangan panggil lagi profesor, Cukup panggil Pak atau
Bu! Agar tidak ada jarak sosial antara orang kampus dengan rakyat jelata. Ilmu
dan pemilik ilmu itu harus lebih egaliter, lebih membumi agar lebih banyak manfaatnya
kepada umat. Untuk apa jadi profesor, hanya untuk keren-kerenan di publik. Terima
kasih Pak Fathul, salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #BacaBukanMaen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar