Sebagai pegiat literasi dan setelah berkiprah lebih dari 5 tahun di taman bacaan, saya telah menulis 2 (dua) buku ilmiah tentang taman bacaan dan literasi. Yaitu “Membangun Budaya Literasi dan Taman Bacaan” dan “100 Kisah di Langit Taman Bacaan”. Titik temu dari kedua buku tersebut ada pada kata kunci ”TBM Edutainment", sebuah cara beda dalam mengelola taman bacaan berbasis edukasi dan entertainment (hiburan). Semua orang tahu, membaca buku itu perbuatan yang membosankan. Maka banyak orang malas baca, lebih sopannya “tidak punya waktu untuk membaca”. Karenanya, harus ada cara yang asyik dan menyenangkan dalam membaca buku. Tempatnya asyik, suasananya menyenangkan. Agar tercipta kemampuan daya baca (bukan hanya minat baca) yang bisa ditularkan kepada banyak orang.
Selain
menuturkan realitas pengabdian di taman bacaan, kedua buku karya
Syarifudin Yunus ini dapat dikatakan buku yang paling komprehensif mengupas
literasi dan taman bacaan di Indonesia. Layak menjadi referensi ilmiah bagi
mahasiswa maupun penuis ilmiah terkait bahasan literasi dan taman bacaan.
Karena di dalamnya membahas empat bagian penting di literasi, yaitu 1) praktik
baik taman bacaan, 2) kajian dan riset literasi, 3) TBM Edutainment, dan 4)
tantangan di taman bacaan. Semuanya tersaji dari kisah nyata TBM Lentera
Pustaka yang saya dirikan di kaki Gunung Salak Bogor, saat memilih literasi dan
taman bacaan sebagai jalan hidup.
Buku
setebal 272 halaman terbitan Endnote Press ini menegaskan pentingnya membangun
budaya literasi dan taman bacaan berbasis edukasi dan hiburan. Sebagai obat
“jalan sunyi” pengabdian di bidang literasi. Buku dengan ISBN:
978-623-99780-5-1 ini, menyajikan pengalaman konkret dalam menggerakkan
literasi dan taman bacaan sebagai sentra pendidikan yang dipadukan dengan
hiburan. Itulah yang disebut dengan teori “TBM Edutainment” sebagai model tata
kelola dan pengembangan taman bacaan. Agar lebih diminati dan mengundang daya
tarik anak-anak dan masyarakat. TBM Edutainment mampu menjadikan taman bacaan
sebagai tempat yang asyik dan menyenangkan. Agar spirit literasi untuk semua
dapat terwujud. Tentu, harus didasari oleh komitmen dan konsistensi sepenuh
hati.
Pada
buku ini, disajikan fakta miris realitas taman bacaan di Indonesia seperti:
hanya 20% ruang baca taman bacaan yang memadai, 60% koleksi buku taman bacaan
tidak memadai, 60% taman bacaan yang ada tidak punya dokumen legalitas, dan 70%
taman bacaan yang ada di Indonesia hanya bisa membeli 1 dari 4 buku yang
dibutuhkan. Bukti bahwa rasio kecukupan dana di taman bacaan tergolong
memprihatinkan. Karenanya, gerakan literasi dan taman bacaan bisa lebih berdaya
bila ada kepedulian dan kolaborasi dari berbagai pihak, terutama CSR korporasi
dan keterlibatan komunitas atau relawan. Maka survei di buku ini menyebut, 70% dari TBM atau taman bacaan yang ada terkesan “mati suri”.
Dibilang ada lembaganya tapi tidak ada aktivitasnya. Mungkin, karena taman
bacaan dianggap sebagai kegiatan sosial sehingga cara mengelolanya pun bersifat
sosial. Kadang buka, kadang tutup. Sebagian besar biaya operasionalnya pun keluar
dari “kocek pribadi” pendirinya. Apalagi tidak mendapat dukungan dari pemerintah
daerah setempat, di samping sulit memperoleh donasi buku bacaan. Maka wajarm
tidak sedikit taman bacaan memang “mati suri”.
Kelebihan
dari buku ini, antara lain: 1) menyajikan isi yang komprehensif yang terdiri
dari: 30% praktik baik TBM, 15% kajian dan riset taman bacaan, 15% TBM
Edutainment, dan 40% tantangan dan tips di taman bacaan, 2) bergaya bahasa
berupa esai yang mudah dimengerti, 3) memuat riset dan realitas budaya
literasi, dan 4) menyajikan “teori baru” dalam aktivitas literasi dan taman
bacaan yang disebut “TBM Edutainment”. Kekurangannya terletak pada jenis kertas
“bookpaper” yang kurang memadai dan menempatkan literasi dan taman bacaan
sebagai jalan sunyi pengabdian.
Tentu,
di tengah gempuran era digital yang kian tidak terbendung, setidaknya hadirnya
kedua buku tentang literasi dan taman bacaan ini bisa jadi “angin segar” yang
mencerahkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang literat. Buku ilmiah
tentang literasi dan taman bacaan, di sampig dapat membantu memahami pronblematika
literasi dan taman bacaan. Buku ini bukan hanya berkisah nyata tentang
pengalaman berjuang di taman bacaan. Tapi “menyuruh” pegiat literasi di mana
pun untuk lebih kreatif dan lebih spartan dalam berliterasi. Demi tegaknya
tradisi baca dan budaya literasi masyarakat. Masyaarakat yang punya daya baca
secara konkret, bukan hanya mempersoalan minat baca.
Kata
kuncinya, terletak pada eksekusi dan praktik baik untuk mewujudkan taman bacaan
sebagai tempat yang asyik dan menyenangkan melalui TBM Edutainment. Sebuah cara
beda dalam tata kelola dan pengembangan literasi dan taman bacaan di Indonesia.
Seperti
judul kedua buku ini, ada
"100 Kisah di Langit Taman Bacaan" maka dibutuhkan komitmen dan
konsistensi sepenuh hati dalam "Membangun Budaya Literasi dan Taman
Bacaan". Dan yang terpenting, siapapun saat sudah banyak membaca, jangan
lupa menulis. Literat itu memang berat, salam literasi! #BukuLiterasi
#BukuTamanBacaaan #TBMEdutainment #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar