Saat ditanya tentang apa sih yang disebut manusia yang literat? Maka saya menjawab sederhana, manusia yang literat itu lebih fokus pada karya dan perbuatan, bukan pada rencana dan omongan belaka. Literat karena punya sikap, bukan hanya bersandar atas fakta. Bersikap realistis dan selalu berkomitmen untuk mengerjakan yang baik dan bermanfaat. Itulah manusia yang literat!
Literasi,
tentu bukan hanya sial baca dan tulis. Tapi juga soal sikap untuk tidak
memusingkan apapun yang dikatakan orang lain tentang kita. Toh, orang lain itu
tidak akan menolong kita di saat kita susah atau terjatuh. Orang lain pun tidak
akan pernah memberi makan kita saat kelaparan. Siapapun yang literat, pasti tidak
akan mampu mengontrol omongan orang lain, karena ia hanya bisa mengontrol dirinya
sendiri. Karena memang faktanya, di sekitar kita, banyak orang yang pandai menilai
orang lain. Tapi terlalu bodoh untuk menilai dirinya sendiri.
Di saat tertentu, bersikap bodo amat pun bisa disebut literat.
Apalagi terhadap hal-hal yang tidak penting dan tidak bermanfaat dalam hidup
kita. Tetap jadi diri sendiri dan bersikap apa adanya sekalipun orang lain
tidak menyukainya. Bodo amat pada orang-orang yang benci dan tidak suka pada
kita. Karena sejatinya, kita tidak perlu menyenangkan semua orang. Jadi, bila
ada orang-orang yang tidak suka biarkan saja. Itu urusan mereka, bukan kita.
Sebagai contoh, saat kita berbuat baik di taman bacaan. Hanya
membimbing anak-anak yang membaca buku, mengajar kaum buta aksara, mengajar calistung
anak-anak kelas prasekolah, hingga menjalankan motor baca keliling ke
kampung-kampung. Semua aktivitas sosial itu baik dan bermanfaat. Tapi pada
orang-orang yang iri dan benci, pasti mereka tidak suka. Maunya mereka, taman
bacaan sepi dan tidak punya aktivitas. Tapi bila sebaliknya, taman bacaan kita ramai
dan aktivitasnya banyak. Pasti orang-orang yang tidak suka bermunculan.
Anak-anak yang membaca pasti literat, sementara anak-anak yang jadi penonton
pasti tidak literat. Semaunya jelas contohnya di taman bacaan. Itu terjadi di Taman
Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor.
Maka untuk menjadi manusia literat. Belajarlah untuk tidak
lagi mempermasalahkan sesuatu yang di baliknya memiliki banyak alasan. Jangan
banyak omong bila tidak mampu melakukannya. Jangan banyak keluh-kesah bila
tidak mampu mencari solusinya sendiri. Lebih baik acuhkan omongan orang-orang
yang ingin terlihat sok perhatian dan sok bijak tapi pada akhirnya bisa merusak
perasaan. Cukup, tanggapi seperlunya saja ocehan orang lain yang tidak memiliki
arti dan tidak punya manfaat apa-apa.
Kata Abu Ali Al-Hasan bin Ahmad RA, “Saat rasa takut (kepada
Allah) telah menetap di hati, lisan tidak akan berbicara kecuali apa yang
bermanfaat baginya." Bila semuanya diniatkan baik dan ikhtiarnya bagus,
maka apapun kerjakanlah, Sehingga mampu menjadi ladang amal kita. Satu hal yang
harus terus diingat, jalani saja hidup kita dengan apa adanya, sebagaimana mestinya.
Literat itu bukan tentang apa yang terjadi pada diri kita.
Tapi bagaimana kita bersikap terhadap hal-hal yang penting. Selalu bersedia berbuat
baik dan menebar manfaat di mana pun dan kapan pun. Selalu mau mendengarkan
kata hati dan akal sehat, bukan untuk mengikuti jejak orang lain. Maka
penting bercermin pada diri sendiri agar mengerti apa yang harus dilakukan.
Bukan karena orang lain, baru mau melakukannya.
Jadi,
manusia literat itu fokusnya pada diri sendiri, bukan pada orang lain. Untuk selalu
memperbaiki diri melalui karya dan perbuatan baik. Bukan hanya bisa mengomentari
hidup orang lain. Literat itu membuat siapapun sadar. Bahwa hidup itu Tuhan yang menentukan, kita yang menjalankan, tapi orang
lain yang memberikan cibiran. Ketahuilah, jika kita peduli dengan apa
yang dikatakan orang lain maka di situ kita akan makin sulit membuat keputusan
sendiri. Jadilah literat! #BacaBukanMaen #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar