Tiba-tiba kemarin, kawan saya bilang menyesal setengah mati. Akibat masalah yang tadinya diceritakan kepada kawannya yang dianggap bisa dipercaya. Ujungnya malah jadi masalah. Karena kawan saya didatangi orang lain, yang mencaci makinya. Padahal dia tidak bercerita apapun kepada orang itu. Tidak ada angin tidak ada hujan, akhirnya kawan saya punya masalah baru dari masalah sebelumnya yang tidak kunjung selesai.
Ada lagi kawan lain lagi. Tiap punya masalah
senangnya cerita ke banyak orang, ke teman-teman dekatnya. Seakan mencari “pembenaran”
ke teman-teman atas masalah yang dihadapinya. Sambil menjelek-jelekkan orang
yang bermasalah dengannya. Niatnya cerita, akhirnya jadi gibah bahkan fitnah.
Terlalu subjektif karena hanya keluar dari mulut satu orang. Akibat bercerita
ke mana-mana, masalahnya nggak kelar-kelar malah jadi bahan gunjingan
teman-temannya sendiri.
Itu hanya contoh, tentang perlunya hati-hati
dalam bercerita alias curhat. Jangan asal curhat, apalagi bila akhirnya cuma jadi
gunjingan orang lain. Sebelum curhat, pikirkan dulu dengan siapa dan apa
dampaknya kalau orang itu tahu? Apalagi pada teman atau orang yang sama sekali
tidak berkepentingan. Psikolog bukan, berpendidikan nggak. Terus apa yang diharapkan?
Ngapain cerita kepada orang-orang yang nggak jelas bila ujung-ujungnya hanya
ditanggapi dengan dingin-dingin saja. Setelah itu kisahnya malah disebarluaskan
dan menjadi bahan gunjingan banyak orang. Tanya ke diri sendiri, memangnya
mereka siapa? Terus, apa mereka nggak punya masalah juga?
Zaman memang makin edan. Curhat kok sama orang. Katanya
punya Allah, tapi nggak mau curhat sama Allah. Ngobrol sama orang sering,
ngobrol sama Allah malah jarang. Maka wajar, kebenaran jadi di bolak-balik menurut
versinya sendiri. Lupa ya, apa yang dianggap benar manusia itu belum tentu
benar di mata Allah. Lalu, siapa yang bisa buktikan bahwa yang keluar dari mulut
kita itu tidak subjektif? Jangan-jangan hanya rekayasa cerita semata, demi
mendapat perhatian orang lain. Jadi untuk apa curhat? Hati-hati, semua yang
keluar dari mulut yang kotor itu akan kembali ke orangnya.
Dulu, orang curhat atau
berbincang itu urusan ibadah. Tidak ada yang dicurhati selain kebaikan.Tidak
ada yang sia-sia, karena di dalamnya membicarakan amal.
Curhat soal kebaikan, berbincang soal perbuatan baik. Lah sekarang, curha kok
jadi kemana-mana? Substansi masalahnya nggak ada solusi. Malah jadi gibahin atau gosip yang
namab-nambahin dosa. Yang curhat stress, yang dicurhati jadi stres. Jadinya,
dialog sesama orang stres dong kalau begitu.
Maka, jangan biasakan
mengadu atau curhat kepada orang tidak kompeten. Apalagi tidak jelas latar
belakangnya, pendidikannya, apalagi pekerjaanya. Lagi pula orangyang diajak
curhat juga stress. Dia juga manusia biasa, bukan apa-apa dan bukan
siapa-siapa. Memangnya siapa dia, penting banget jadi tempat curhat? Curhatlah hanya
kepada Allah SWT, apapun masalahnya pasti diberikan solusi bahkan jadi lebih nyaman.
Banyak yang lupa, tidak
semua yang diketahui harus kita diobrolkan. Tidak semua yang dirasakan harus distatuskan.
Tidak semua masalah yang dialami harus dicurhatkan. Tidak semua hal harus
dibahas dengan orang lain. Jadi, lebih baik lapangkan hati. Lebih baik buka pikiran sebelum mengucap mulut.
Tidak perlu curhat ke
manusia. Barkan apa yang terjadi akan indah pada waktunya. Karena di balik
kesulitan pasti ada kemudahan. Simpan saja sebagian kisah hidup sebagai misteri.
Agar menjadi alat introspeksi diri, agar jadi sarana memperbaiki diri. Biar
tetap menarik untuk diambil hikmahnya bagi diri sendiri. Salam literasi #TBMLenteraPustaka
#TamanBacaan #BacaBukanMaen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar