Harus diakui, saat ini program DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) untuk sektor informal atau DPLK mikro di Indonesia sama sekali belum ideal. Belum ada “ruang” yang memadai untuk mempersilakan kelompok pekerja sektor informal, UMKM atau individual memiliki program DPLK. DPLK mikro masih “jauh panggang dari api”. Karena faktanya saat ini, 80% dari 3,6 juta peserta DPLK yang ada menjadi peserta DPLK akibat diikusertakan perusahaan atau pemberi kerja. Sedangkan yang atas inisiatif personal atau individu hanya 20%.
Berapa seharusnya
angka ideal kepesertaan DPLK individu memang tidak ada yang tahu? Karena
semuanya berlangsung secara alami. Tapi apabila dikaitkan dengan rencana “Roadmap
Dana Pensiun di Indonesia” yang akan fokus mengembangkan dana pensiun untuk
sektor informal, UMKM, dan masyarakat berpenghasilan rendah tentu menjadi soal
yang serius. Karena dana pensiun mikro (DPLK retail) hanya bisa tumbuh
signifikan bila didukung “ruang kemudahan”, baik dalam akses maupun tujuan keuangannya.
Pertanyaaannya,
apakah DPLK mikro atau retail memiliki potensi di Indonesia?
Menurut saya
iya. Karena saat ini dari 136 juta pekerja di Indonesia (BPS, 2022), ada 60%-nya
di sektor informal atau mencapai 81,6 juta pekerja, sisanya 40% ada di sektor formal.
Sebagai ilustrasi “pengandaian” saja, bila 25% saja dari pekerja sektor
informal yang ada (UMKM, pedagang, milenial, dan sebagainya) bisa punya akses
ke DPLK, berarti ada sekitar 20,4 juta pekerja yang ter-cover.
Selanjutnya,
bila dari 20,4 juta pekerja informal tersebut menjadi peserta DPLK dengan iuran
Rp. 50.000 per bulan, maka ada akumulasi dana sebesar Rp. 1,020 trilyun per
bulan atau terkumpul dana sebesar Rp. 12,24 trilyun per tahun. Artinya, bila
pekerja formal tersebut “stay” di DPLK selama 10 tahun, maka akumulasi dananya
mencapai Rp. 146,8 trilyun (belum termasuk hasil pengembangannya). Bila 20
tahun menjadi peserta DPLK, maka akumulasi dananya mencapai Rp. 293,7 trilyun.
Angka yang cukup fantastis dan melampaui capaian aset kelolaan industri DPLK
selama 30 tahun (1992-2022) sebesar Rp. 122 trilyun.
Setelah
berdiskusi dengan beberapa rekan pengelola DPLK dan mengkalkulasi kepesertaan
individu, saat ini di industri DPLK kira-kira ada sekitar 736.000 peserta
individu (sekitar 20% dari total peserta yang 3,6 juta). Ternyata, dari angka tersebut,
sekitar 70% pesert berada di sektor informal dan sisanya 30% peserta di sektor
formal. Realitas ini harusnya bisa “membantah” tentang DPLK individu atau
retail yang dianggap tidak prosfektif. Artinya, ada kok minat atau kemauan individu
di sektor informal untuk memiliki program DPLK.
Hanya saja
memang harus dimaklumi, beberapa karakter DPLK individu yang ada saat ini
biasanya 1) iuran yang disetorkan untuk DPLK tergolong kecil, paling besar Rp.
100.000,-, 2) iuran yang disetor pun besarannya berpotensi tidak tetap setiap
bulannya atau tidak bisa reguler tiap bulan alias “iuran suka-suka” tergantung penghasilan
yang diperoleh setiap bulannya, 3) usia pensiun yang ditetapkan biasanya sesuai
dengan tujuan keuangannya, seperti untuk anak kuliah, untuk umroh atau naik
haji, atau untuk renovasi rumah, dan 4) motif ikut DPLK karena tidak punya
program pensiun untuk hari tua dan simpanan bila ada kebutuhan dana yang
sifatnya mendesak. Suka tidak suka, karakter DPLK individu seperti di atas
masih sangat kental, sehingga regulasi harus lebig fleksibel untuk mengakomodir
peserta DPLK indoividu. Toh, individu tersebut menjadi peserta atas kesadaran
personal akan pentingnya memiliki program DPLK.
Bila DPLK
sektor informal, UMKM atau DPLK mikro ingin dikembangkan di Indonesia, maka patut
“dipikirkan” skema DPLK sektor informal yang memberi “ruang” peningkatan
kepesertaaan DPLK individual, di samping dapat meningkatkan aset kelolaan
industri DPLK yang lebih signifikan ke depan. Bukan hanya “nice to have” DPLK individu
saja. Sektor informal sangat jelas berbeda dengan sektor formal. Siapapun yang
berada di sektor informal atau UMKM, pasti 1) tingkat penghasilannya bersifat
tidak tetap, 2) skala usahanya kecil atau musiman, 3) jenis pekerjaannya
informal atau berusaha sendiri, 4) tidak punya mekanisme administrasi yang
kompleks, dan 5) masih banyak yang tidak punya izin dan tidak punya NPWP. Maka,
perlakuan terhadap DPLK sektor informal berbeda dengan sektor formal. Harus ada
penyesuaian konsep DPLK di sektor informal.
Terus terang,
saya sih masih pecara. Bahwa masa depan dana pensiun di Indonesia, ada di DPLK
(Dana Pensiun Lembaga Keuangan). Dan masa depan DPLK, pada akhirnya ada di
“kepesertaan individu”. Yaitu orang per orang yang dengan sengaja dan mau
mempersiapkan masa pensiunnya sendiri, termasuk pekerja di sektor informal,
UMKM, dan masyarakat berpenghasilan rendah. Maka selain “good will” atau
iktikad baik, DPLK individu atau sektor informal akan efektif dikembangkan bila
semua pemangku kepentingan mau melakukan 1) edukasi yang masif dan
berkelanjutan dan 2) memberi kemudahan akses DPLK melalui digitalisasi pensiun.
Dan saat ini, sudah ada kok yang menjalankan
skema DPLK individual.
Semoga saja suatu
saat nanti di Indonesia. Pedagang gorengan, tukang las, pedagang jamu, driver
ojol, atau pegawai warteg ramai-ramai antusias dan semangat punya DPLK. Sebagai
bagian perencanaan hari tua dan masa pensiun mereka sendiri. Sehingga di
jalan-jalan, ada obrolan di antara mereka, “saldo DPLK elo udah berapa sekarang?”.
Bukan memberi tahu, “sudah belanja apa hari ini?”.
DPLK individu,
sektor informal, atau UMKM pasti bisa, bila mau. Karena kalau bukan kita, mau
siapa lagi yang menyediakan akses untuk sektor informal dan individu punya
DPLK? Salam
#YukSiapkanPensiun #EdukasiDPLK #DanaPensiunMikro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar