Perilaku membaca di era post truth bisa jadi berada di titk nadir. Ketika media sosial dan teknologi digital “berhasil” mengacaukan kebenaran. Sesuatu yang viral dianggap lebih penting daripada kualitas informasi dan etika. Kebenaran substansi kini tidak lagi difasilitasi. Etika tanpa flexing jadi nomor dua. Selamat datang di era post truth.
Era post truth, boleh
dibilang telah melampaui kebenaran itu sendiri. Ketika fakta-fakta objektif dan
realitas tidak lagi berpengaruh
dalam membentuk opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi. Maka
wajar, di era post truth, orang tidak lagi mencari kebenaran dan fakta.
Melainkan afirmasi dan konfirmasi atau dukungan atas keyakinan yang
dimilikinya. Maka konsekuensinya, muncul di dekat kita adalah kepura-puraan,
hoaks, fenomena dusta, bahkan ilusi.
Agak menyeramkan sih. Opini berkembang
jadi bias, siapapun boleh membenci, Silakan menyerang. Narasi dibuat untuk
mendeskreditkan orang per orang. Siapapun yang mampu menghadirkan “cerita” yang
afirmatif pasti mampu mengambil hati dan perasaan publik. Di saat yang sama,
maka kebenaran dan fakta pun menjadi tidak penting lagi. Karena siapapun bisa
membuat sendiri informasi melaui media sosial, di samping dapat diakses di mana
pun. Di era post truth, perilaku membaca wajar kian terpinggirkan. Post
truth, cukup dicirikan dengan malas membaca tapi cerewet di media sosial. Selagi
bisa eksis, maka post truth dapat dikatakan berhasil.
Sebutlah,
nasib sial membaca di era post truth. Ketika kegemaran membaca kalah
dibandingkan narasi kebencian dan hoaks yang ditebarkan. Ketika aktivitas literasi
dan taman bacaan tidak lagi penting ketimbang pamer gaya hidup mewah. Membaca buku
dianggap tidak asyik. Kalah asyik dibandingkan gawai atau media sosial. Kini, membaca
dan literasi antara ketinggalan atau ditinggalkan. Boro-boro membaca jadi gaya
hidup, jadi hobi saja sudah tidak dilirik lagi. Maka wajar, siapapun saat
disuruh duduk dan membaca buku. Buru-buru menjawab "elo aja yang baca,
abis itu ceritain gue".
Membaca
makin sial nasibnya. Karena susah eksis di era post truth. Taman bacaan kian
sulit bertahan. Aktivitas literasi justru makin tergusur dan terpinggirkan. Di
sekolah, membaca hanya dijadikan tugas untuk membuat ringkasan. Di kampus,
membaca pun cuma jadi bahan untuk diskusi kelompok atau mengisi waktu dosen
yang tidak datang. Di lembaga yang kredibel pun, tidak sedikit membaca dan
literasi hanya dijadikan “anak tangga” untuk menapak jenjang yang lebih tinggi.
Membaca dan literasi hanya jadi seremoni, bukan esensi.
Sulit
dibantah. Minat baca yang rendah adalah sebuah keniscayaan. Dr. Taufik Ismail
(1996) pernah meneliti rendahnya minat baca di kalangan pelajar Indonesia.
Mulai dari level SD hingga SMA. Selama 12 tahun belajar di sekolah, pelajar di
Indonesia rata-rata tidak pernah membaca buku alias nol buku. Sementara di
Jerman dan AS, lulusan SMA rata-rata membaca 32 buku. Sementara pelajar di Belanda
membaca 30 buku, Jepang 15 buku, Swiss 15 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura
6 buku, dan Malaysia 6 buku. Di era post truth, membaca bisa jadi bukan hanya
bernasib sial. Tapi mendekati “takdir buruk” bila tidak mau dibilang “menemui
ajal”.
Di
era post truth, kebiasaan membaca memang kian langka. Taman bacaan sebagai
jalan hidup pun dianggap aneh. Literasi yang gagal mengambil hati dan perasaan publik.
Itulah tantangan terberat pegiat literasi di era post truth. Selain
harus “menghidupkan” aktivitas literasi dan taman bacaannya tapi harus “mencari
jalan” sendiri untuk tetap bertahan di era yang lebih cenderung afirmatif
daripada faktual. Hingga sebutan “malas membaca buku tapi cerewet di media
sosial” menjadi paripurna.
Era
post truth kadang aneh. Katanya, membaca itu senjata melawan lupa. Tapi
nyatanya, tidak sedikit orang yang punya senjata untuk lupa membaca. Banyak
orang sudah lupa. Bahwa ilmu tanpa baca sama seperti bercinta tanpa tutur kata.
Itulah nasib sial membaca di era post truth. Mau gimana lagi? Salam
literasi #PegiatLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar